Sejumlah Menteri Berbicara (1) :
REPUBLIK TIDAK MENGENAL PUTRA MAHKOTA[1]
Jakarta, Merdeka
Sejumlah menteri berbicara tentang kepemimpinan Pak Harto, dan Presiden Indonesia masa depan. Mereka juga berbicara kenapa Pak Harto tidak memiliki Putra Mahkota. Hal menarik ini adalah bagian kecil yang terdapat dalam buku baru (1996) Manajemen Presiden Soeharto: Penuturan 17 Menteri.
Buku unik (meminjam istilah Mendikbud Prof Dr. Wardiman Djojonegoro) ini diterbitkan oleh Yayasan Bina Generasi Bangsa dengan Ketua Panitia Setya Novanto, dan penyunting Riant Nugroho Dwidjowijoto. Berikut cuplikan dari buku tersebut:
Jenderal TNI : Feisal Tanjung, Panglima ABRI
Pak Harto adalah manusia biasa yang tentunya mustahil untuk hidup 1000 tahun lagi. Oleh sebab itu, perihal Presiden Indonesia di masa depan, tidak menjadi persoalan apakah ia berasal dari ABRI atau bukan. Bahkan Pak Harto sendiri pernah mengemukakan bahwa Presiden tidak harus dariABRI.Yang terpenting ialah segala sesuatunya diproses dan dilaksanakan sesuai ketentuan konstitusi. Dan putra-putri bangsa terbaik,siapapun dia, apapun Jatar belakangnya, berhak memimpin bangsa ini.
Bagi ABRI, sebagaimana yang ditekankan oleh Pak Harto maka kader pemimpin nasional tersebut haruslah memenuhi kriteria pokok yakni terjamin loyalitasnya kepada Pancasila dan UUD 1945, terjamin visi dan wawasan kebangsaannya, serta terjamin tekad dan semangatnya untuk melanjutkan pembangunan di atas jiwa, semangat dan nilai-nilai Orde Baru.
Ir Sarwono Kusumaatmadja, Menteri Negara Lingkungan Hidup
Kemudian, kenapa Presiden tidak menunjuk putra mahkota? Buat apa? Republik tidak mengenal putra mahkota. Saya juga membenarkan sikap beliau untuk tidak memberikan petunjuk atau arahan seolah-olah Pak Harto memilih si A, si B, menjadi putra mahkota beliau. Itu bukan urusan beliau, melainkan urusan orang banyak. Dan kalau misalnya sudah ada tanda orang itu dikesankan sebagai putra mahkota maka orang itu akan diganggu. Beliau berkali-kali mengatakan, tidak ada putra mahkota, itu terserah MPR. Itu bukan basa-basi. Itu betul, keluar dari lubuk hati beliau. Beliau mengetahui, sekali memberikan kesan mempersiapkan pengganti, segera akan merusak koordinasi, kelja sama, dan menciptakan disharmoni dalam pemerintahan.
Tradisi kita tidak mengganggu proses manajemen. Tradisi yang kita punyai sekarang ini masih tradisi kerajaan. Tradisi yang “mengajarkan” bahwa putra mahkota itu selalu diirihatikan orang lain. Indonesia adalah republik sehingga kita tidak tahu siapa pengganti beliau. Jadi, kita harus percaya kalau kejadiannya mendasar, kalau perlu kita sanggup memilih orang baru. Sebelum itu terjadi buat apa dibicarakan.
Saya malas membicarakan suksesi karena itu bukan isu. Jadi, katakanlah dalam Sidang Umum nanti Pak Harto akan berkenan maka beliau akanjadi lagi. Pada saatnya kalau kita tidak bisa menempuhjalan itu, sudah pasti sudah ada orang lain. Jangan kuatir. Siapa orangnya saya tidak tahu. Apakah saya perlu tahu? Ya tidak. Pada saatnya akan diurus soal itu.
Terus kita bertanya, yang kenai Pak Harto dulu siapa? Praktis tidak ada, Sama dengan di Mesir. Waktu Nasser meninggal, diganti Anwar Sadat, semua orang bilang, beliau bakalan tidak tahan dalam waktu enam bulan. Dia bukan kaliber Nasser. Ternyata tidak terbukti? Sama saja ketika Anwar Sadat ditembak, digantikan Husni Mubarak. Semua bilang tidak akan tahan. Ternyata ia bertahan sampai hari ini.
Di Indonesia saya ambil contoh Kosgoro. Kebetulan saya anggota Kosgoro.
Semua orang bilang kalau Mas Isman meninggal, Kosgoro akan bubar. Nyatanya, diganti Pak Martono, diganti Pak Prapto, masih eksis Kosgoro sebagai organisasi, ndak ada masalah. Itu makanya saya malas membicarakan suksesi, non isu.
Bagi saya, Pak Harto adalah figur yang progresif dan up to date. Hanya masalah yang dihadapi kini adalah bagaimana caranya supaya kesenjangan generasional jangan mengganggu. Bagaimana mengatasi itu. Beliau harus punya informasi tentang semua orang yang mampu untuk mengisi berbagai jabatan yang memerlukan kemandirian ini.
Sekarang, apakah semua itu bisa diselesaikan dengan ngotot, supaya beliau bisa digantikan dengan orang yang baru? Apa sih jaminannya orang baru itu mampu? Apakah itu bisa dijamin dengan beliau menunjuk putra mahkota? Yang benar saja. Apakah kita perlu takut dengan masa depan bangsa Indonesia dengan kepemimpinan yang Baru? Tidak perlu tala.it. Saya yakin bahwa bangsa ini cukup besar untuk melanjutkan pembangunan, siapapun yang jadi Presiden.
Saya kira, kalau kita ikuti saja apa yang menjadi garis besar beliau, Insya Allah kita akan selamat. Pak Harto tidak pernah bembah. Yang perlu bembah,jajaran pembantunya, baik tingkat kabinet sampai para gubernur. Kalau Pak Harto sendiri reaksinya terhadap suatu peristiwa itu masih sangat cepat, dan pilihan strateginya jitu. cuma, masalahnya mampukah para pembantu ini menerjemahkan pandangan beliau, dengan catatan tetap ada juga soal generation gap ini?
Sumber : MERDEKA (09/12/1996)
____________________________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVIII (1996), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal 44-46.