Arif, Bijaksana dan Rendah Hati (Bagian 2)[1]
Penyelesaian Kasus Proyek Besi Baja PT Krakatau Steel
JB Sumarlin [2]
Sebagaimana dimaklumi, pabrik baja Cilegon dimulai pembangunannya pada tahun 1962 dengan bantuan Rusia. Pabrik ini direncanakan berkapasitas 100.000 ton dan akan menghasilkan besi beton, besi profil, bahan baku kawat, dan kawat. Pembangunan terhenti pada tahun 1966 sebagai akibat adanya pemberontakan G-30-S/PKI.
Pemerintah melihat pentingnya proyek besi baja Cilegon itu bagi pengembangan industri baja khususnya dan industri dalam negeri pada umumnya. Untuk itu pada tahun 1970 dibentuk sebuah perusahaan negara, yaitu PT KS yang diberi tugas untuk melanjutkan pembangunan proyek baja Cilegon dan mengembangkan industri baja nasional dalam arti luas. Mengingat keterbatasan keuangan negara pada waktu itu, maka pada tahun 1971 pemerintah menugasi Pertamina untuk menangani proyek baja PT KS. Pelaksanaan proyek semula berjalan lancar, namun kemudian terjadi hal yang menjadi sumber permasalahan selanjutnya Pada tahun 1973, pembangunan industri baja Cilegon ini telah diperluas dengan ditingkatkannya kapasitas produksi baja dari rencana semula 0,5 juta ton per tahun menjadi 2 juta ton pertahun. Nilai kontrak perluasan ini seluruhnya berjumlah kira-kira US$2,4 milyar. Dari jumlah ini, kontrak dengan tiga perusahaan Jerman Barat saja telah mencakup lebih dari DM5 milyar.
Menjelang akhir tahun 1974 dan selanjutnya pada kuartal I tahun 1975, Pertamina mengalami kesulitan keuangan sehubungan dengan komitmen-komitmennya dengan berbagai pihak di luar negeri, dan ini mempengaruhi langsung pelaksanaan pembangunan pabrik baja tersebut. Pelaksanaan proyek yang sangat penting dan strategis tersebut diancam kemacetan. Oleh karena Pertamina maupun PT KS adalah BUMN, maka pemerintah juga dianggap ikut bertanggungjawab terhadap utang-utang luar negeri mereka.
Bapak Presiden Soeharto sendiri baru mengetahui adanya masalah kemacetan pembangunan proyek tersebut pada permulaan bulan April 1975. Bapak Presiden kemudian menugasi Menteri/ Sekretaris Negara Sudharmono dan saya sendiri untuk meminta penjelasan langsung dari Direktur Utama Pertamina. Tugas ini kami laksanakan dengan menemui Direktur Utama Pertamina di kediamannya sekitar sore hari. Kami berdua memperoleh penjelasan dari Direktur Utama Pertamina bahwa perluasan proyek baja Cilegon tersebut didasarkan atas studi kelayakan yang disusun oleh sebuah perusahaan Jerman, yang juga merupakan kontraktor/ supplier utama peralatan perluasan pabrik PT KS.
Menyadari betapa pentingnya kelangsungan pembangunan proyek besi baja ini bagi perekonomian kita, maka Bapak Presiden pada tanggal 17 April 1975 membentuk suatu tim yang dipimpin oleh Menteri PAN/Wakil Ketua Bappenas (yaitu saya sendiri), dengan Sekretaris Ir. T Ariwibowo dari Departemen Perindustrian (sekarang Menteri Muda Perindustrian). Tim dibantu oleh pejabat-pejabat dari Departemen Keuangan, Perindustrian, Bank Indonesia, Bappenas, dan beberapa ahli lainnya. Tim bertugas untuk meninjau kembali secara menyeluruh program dan pelaksanaan pembangunan proyek baja Cilegon termasuk proyek-proyek prasarananya dan sekaligus mengadakan perundingan kembali dengan seluruh kontraktor supplier PT KS;
Berdasarkan penelitian yang dilakukan secara cermat terungkap lebih lanjut kelemahan-kelemahan cara pembangunan proyek tersebut. Selain tanpa adanya persetujuan pemerintah, perluasan pembangunan proyek tersebut juga tanpa dilandasi dengan studi kelayakan yang memadai, dan pelaksanaannya tanpa tender, tanpa negosiasi, tanpa ada jaminan pembiayaan yang pasti, tanpa ada perencanaan dan cara pembayaran yang tertib dan efisien. Studi kelayakan yang ada dibuat oleh supplier peralatan fasilitas pabrik, sehingga obyektivitasrtya kurang dapat dipertanggungjawabkan. Pembayaran uang muka dan pelaksanaan kontrak tidak disertai adanya jaminan yang lazim, dan tahap-tahap pembayaran tidak dikaitkan dengan kemajuan pelaksanaan proyek. Disamping itu juga tidak ada perencanaan yang jelas mengenai lingkup pekerjaan proyek. Akhirnya yang juga sangat memberatkan ialah bahwa seluruh proyek tersebut dibiayai dengan tunai dari keuangan Pertamina, tanpa persetujuan pemerintah.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian sementara, terungkap bahwa kontrak-kontrak pengadaan menunjukkan tanda-tanda adanya harga kontrak yang kurang wajar serta lingkup pekerjaan yang berlebihan. Oleh karena itu dalam melakukan renegosiasi kontrak, kami diberi petunjuk-petunjuk lebih lanjut oleh Bapak Presiden yang intinya antara lain sebagai berikut: (1) pembayaran kepada para kontraktor I supplier hanya dapat dilakukan setelah dicapai kata sepakat mengenai negosiasi harga kontrak dan lingkup pekerjaannya; (2) diutamakan penyelesaian pembangunan pabrik Tahap I yaitu dengan kapasitas 0,5 juta ton besi baja per tahun beserta fasilitas prasarana pendukungnya; (3) diusahakan agar sekecil mungkin adanya denda-denda pembatalan kontrak; dan (4) bersamaan dengan itu agar dijajaki pula kemungkinan pencarian sumber pembiayaan dengan syarat-syarat yang tidak memberatkan, berupa kredit ekspor dari Jerman, karena sebagian besar fasilitas pabrik dan prasarananya bersumber dari supplier Jerman dan pembangunannya juga dikerjakan oleh kontraktor Jerman.
Perundingan kembali mengenai renegosiasi kontrak proyek PT KS ini mula-mula berjalan sangat tidak lancar karena para kontraktor/supplier PT Krakatau Steel tersebut selalu berpendirian bahwa “kontrak mereka adalah kontrak yang sah” dan mereka sudah mulai melaksanakan pembangunan sesuai dengan kontrak. Para supplier/kontraktor ini umumnya bersikap kurang bersahabat dan ingin menang sendiri. Berbagai cara telah pula dilakukan oleh para kontraktor / supplier agar pemerintah Indonesia mengizinkan PT KS dan Pertamina untuk membayar jumlah-jumlah yang telah ditentukan dalam kontrak. Sementara itu, dalam setiap perundingan dengan para kontraktor / supplier tersebut, tim tetap berpegang pada petunjuk-petunjuk Bapak Presiden.
Nampaknya mereka kemudian menyadari bahwa dalam masalah PT KS ini, Bapak Presiden benar-benar bersikap tegas konsisten. Maka akhirnya renegosiasi dengan para kontraktor / supplier·dapat menghasilkan kata sepakat, yang intinya ialah bahwa harga keseluruhan perkerjaan yang telah dikontrakkan yang semula bernilai US$2.423 ,6 juta, diturunkan menjadi US$1.636,6 juta. Ini berarti penghematan sebesar US$787 juta. Sementara itu pelaksanaan pembangunan Tahap I, yaitu dengan 0,5 juta kapasitas produksi besi baja, dapat dilanjutkan beserta prasarana pendukungnya.
Penghematan-penghematan ini diperoleh antara lain dengan cara: (1) menurunkan harga kontrak tanpa menurunkan volume pekerjaan maupun kualitasnya; (2) menurunkan volume pekerjaan untuk disesuaikan dengan kebutuhan yang wajar; dan (3) membatalkan kontrak-kontrak pekerjaan yang tidak diperlukan atau menunda pelaksanaannya. Pekerjaan yang dibatalkan/ ditunda antara lain; mencakup pembangunan pabrik steel slab, pabrik hot strip dan pabrik pellet besi, waduk-waduk tambahan, tempat-tempat rekreasi, hotel, rumah-rumah mewah, dan lain sebagainya.
Penghematan juga diperoleh dari penelitian kembali pekerjaan yang belum dikontrakkan sebesar US$687 ,4 juta menjadi US$321 ,3 juta, atau penghematan lagi sebesar US$366 juta. Jumlah seluruh penghematan yang diperoleh dengan demikian adalah US$ 787 juta + US$366 juta, sehingga mencapai US$1.153 juta.
Untuk mendukung kelanjutan pelaksanaan pembangunan proyek tersebut, maka dalam bulan Desember 1975 pemerintah mengusahakan kredit ekspor dari Jerman. Semula pemerintah Jerman sangat berkeberatan untuk mempertimbangkan pinjaman tersebut karena kontrak sudah dimulai dan bahkan sudah dilaksanakan. Hal seperti itu dianggap sebagai sesuatu yang kurang wajar. Namun pada akhirnya Pemerintah RI berhasil meyakinkan Pemerintah Jerman bahwa kredit itu diperlukan untuk membantu membayar kontrak-kontrak tersebut. Demikianlah maka pada tanggal 9 Juli 1976 ditandatangani perjanjian kredit antara Pemerintah RI dan Kreditanstalt Fur Wiederaufbau (KFW), yang berjumlah DM1.175,1 juta.
Dalam mengakhiri uraian saya mengenai masalah PT Krakatau Steel ini, saya ingin menekankan bahwa konsistensi dan keteguhan pendirian Pak Harto dalam menghadapi masalah ini telah memberikan kekuatan moral yang sangat besar kepada team, dan saya pribadi. Petunjuk-petunjuk beliau memberikan jalan keluar yang terbaik bagi penyelesaian masalah. Kita juga melihat di sini jalan “renegosiasi” yang telah dipilih oleh Pak Harto dalam menangani/ memecahkan kemacetan proyek PT KS ini merupakan pendekatan dan sikap yang realistis dan pragmatis yang mengacu pula pada pertimbangan-pertimbangan kepentingan jangka panjang. Sebenarnya kontrak tersebut dipandang tidak wajar, yaitu ada unsur tricky dealings. Kebijaksanaan yang telah diambil oleh Bapak Presiden, pada akhirnya ternyata telah menghasilkan pemecahan yang optimal dan pelaksanaan proyek yang penting ini tidak perlu terhambat terlalu lama. (Bersambung)
***