Keluarga Berencana, Masalah Peka

Keluarga Berencana, Masalah Peka [1]

Pada permulaan tahun 1970 Lembaga Keluarga Berencana saya lebur menjadi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Dengan ini masalah-masalah yang berhubungan dengan keluarga berencana sepenuhnya menjadi tanggungjawab pemerintah dan dilaporkan secara langsung kepada saya, sebagai presiden.

Untuk itu diperlukan usaha yang agak panjang. Tiga tahun sebelumnya saya menandatangani Deklarasi Kependudukan PBB bersama-sama para pemimpin dunia lainnya. Dengan itu secara resmi kita mengakui hak-hak untuk menentukan jumlah dan jarak kelahiran sebagai hak dasar manusia, dan juga pentingnya pembatasan jumlah penduduk sebagai unsur perencanaan ekonomi dan sosial. Pada pidato kenegaraan 16 Agustus 1967, saya mengemukakan pernyataan mengenai sanksi negara dan agama terhadap keluarga berencana itu. Saya kemukakan bahwa Indonesia harus memberikan perhatian yang serius terhadap usaha-usaha pembatasan kelahiran, dan melaksanakannya sesuai dengan ide perkumpulan keluarga berencana. Cara ini, saya pandang dapat dibenarkan oleh etika agama dan etika Pancasila.

Sebagai langkah pendahuluan dibentuklah Panitia Ad Hoc Keluarga Berencana yang memberikan nasihat kepada pemerintah dan mewakili Indonesia dalam mengadakan transaksi dana-dana bantuan luar negeri bagi pelaksanaan keluarga berencana. Panitia itu menganjurkan agar pemerintah memprakarsai program keluarga berencana tingkat nasional, dan memusatkan perhatian pada usaha penyebaran alat-alat kontrasepsi di Jawa dan Bali. Strategi pelaksanaan keluarga berencana akhirnya diterima di kedua pulau ini. Kepadatan penduduk di kedua pulau ini memang yang merupakan masalah penduduk di Indonesia.

Tetapi dengan ini tidaklah berarti bahwa rencana kita meng nai Keluarga Bahagia itu berjalan lancar. Pikiran-pikiran yang menentang dari sementara golongan agama muncul. Tantangan utama muncul pada awal pelaksanaan program keluarga berencana itu. Karena itu prioritas utama diberikan untuk mendapat dukungan para pemimpin agama. “International Planned Parenthood Federation” (IPPF) pun mensponsori pelaksanaan konferensi mengenai Keluarga Berencana dan Pembangunan Nasional yang berlangsung di Indonesia di tahun 1969. Saya memberikan pengarahan dalam kesempatan itu. Dalam pada itu tentu saja saya mesti membuat larigkah-langkah yang hati-hati. Ini masalah yang peka dan tidak gampang. Ini menyangkut keyakinan sekian banyak orang dan berakar panjang ke belakang, sementara kita harus melakukan pembangunan.

Pada tahun fiskal 1970/1971 pemerintah Indonesia mulai memberikan bantuan sebesar I,3 juta dollar AS untuk program keluarga berencana tingkat nasional, diimbangi dengan bantuan para donor asing sebesar lebih dari 3 juta dollar AS. Bantuan ini meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 1976/1977 bantuan biaya yang digunakan untuk program Keluarga Berencana sebesar 28,5 juta dollar AS dan pada tahun 1977/1978 naik lagi menjadi 34,3 juta dollar AS.·

Memang, saya berpendapat, bahwa kelahiran perlu terus kita kendalikan melalui peningkatan dan perluasan pelaksanaan program nasional keluarga berencana. Sedangkan tingkat kematian, terutama tingkat kematian bayi dan anak, diharapkan dapat menurun dengan cepat berkat bertambah baiknya taraf kesejahteraan sebagai hasil kemajuan pembangunan dan pelayanan kesehatan serta penyuluhan yang juga akan makin luas.

Strategi program Kependudukan dan Keluarga Berencana menuju tahun 1990 ialah tercapainya jumlah penduduk yang serasi dengan pembangunan. Diperkirakan jumlah penduduk saat itu nanti akan berkisar antara 170,3 juta dan 181,1 juta, dengan hasil medium sekitar 176,6 juta jiwa. Dibandingkan dengan hasil sensus penduduk tahun 1980 (147,5 juta jiwa) berarti satu kenaikan rata-rata sebesar 1,8% setahun.

Sungguh, masalah ini merupakan salah satu masalah kita yang terpenting yang harus ditangani bersama, oleh seluruh masyarakat, oleh pria dan wanita, dengan bijaksana dan sungguh-sungguh. Jika hal ini sampai lepas dari kendali kita, ia akan menghabiskan hasil pembangunan yang kita usahakan dengan susah payah.

Direktur Eksekutif UNICEF James P. Grant memuji Indonesia karena dinilainya telah berhasil menekan tingkat kematian bayi dan telah melakukan berbagai upaya lainnya dalam rangka menyejahterakan kehidupan anak-anak di tanah air. Grant mengemukakan, apa yang telah dilakukan pemerintah Indonesia itu hendaknya bisa dijadikan contoh bagi negara-negara lain yang tingkat kematian bayinya masih tinggi.

Keadaan di negeri kita sebelum dimulainya Repelita III menggambarkan, tingkat kematian bayi di Indonesia masih mencapai 100 per-1000 kelahiran. Tetapi pada awal Pelita IV angka itu telah menurun lagi menjadi 70 per-1000. Diperkirakan, pada tahun 1990 nanti angka kematian bayi di negeri kita bisa ditekan lagi menjadi 50 per-1000. Itu yang kita harapkan.

Memang saya sendiri turun tangan dalam hal ini. Saya mesti turun ke lapangan menangani masalah ini. Dan tak boleh bosan, tak boleh jenuh. Sampai-sampai saya dan istri saya meminumkan sendiri cairan polio kepada beberapa bayi dalam rangka menggalakkan program imunisasi di tanah air. Itu usaha saya, usaha kita bersama, dalam mengatasi masalah yang sangat pokok di negeri ini.

Melalui kerja keras oleh semua pihak, program KB dapat memasyarakat bahkan membudidaya. Program KB diterima oleh sebagian besar masyarakat yang tinggal di desa-desa melalui PKK, organisasi ibu-ibu untuk peningkatan kesejahteraan keluarga, mereka berusaha untuk menyukseskan KB, mereka menyadari manfaatnya ikut KB. Lambat laun mereka dapat meninggalkan motto “Banyak anak banyak rezeki” dan mengganti dengan motto “Keluarga kecil bahagia. Dua anak cukup. Laki-laki perempuan sama saja.”

Anak muda tidak mau ketinggalan. Mereka bertekad menunda perkawinan dan tidak tergesa-gesa mempunyai anak. Para pemimpin agama, para ulama memegang peranan penting. Berdasarkan kaidah agama yang dianut, merek memberikan motivasi suksesnya KB lestari. Peserta KB lestari diberi penghargaan sebagai “Prajurit Pembangunan”. Diberi bintang KB lestari 10 tahun dan 16 tahun. Secara simbolis penyerahan penghargaan pada suami-istri di Istana Negara. Karena yang dituju adalah keluarga sejahtera, maka mereka yang memerlukan diberi kemudahan untuk memperoleh Kredit Candak Kulak (KCK), Kredit Investasi·Kecil (KIK) dan juga bibit tanaman keras, kelapa misalnya, dan beasiswa untuk mengikuti pendidikan kejuruan.

Kemudian, sekian waktu kemudian, saya meminta supaya melaksanakan program keluarga berencana itu dengan tekun melalui cara-cara yang digunakan itu tanpa perlu ikut-ikutan aborsi seperti yang banyak dilakukan di negara-negara lain sekarang ini. Aborsi bertentangan dengan agama.

Ingat, pelaksanaan program KB di Indonesia jangan sampai melakukan aborsi dan cara-cara lain yang tidak sesuai dengan kepribadian dan agama yang kita anut, semata hanya karena mau mengejar nomor urut. Yang penting hasilnya. Dan apa yang dicapai saat ini pun sudah bagus, karena tanpa aborsi pun Indonesia sudah bisa sejajar dengan Singapura, Korea Selatan dan lain-lain.

***



[1]     Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta, tahun 1982, hal 240-243.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.