Puisi Kemanusiaan Ibu Tien
Tanggal 14 November 1985, pada peringatan 40 tahun berdirinya FAO (Organisasi Pangan Dunia) PBB, Presiden Soeharto berdiri di hadapan forum FAO yang dihadiri para tokoh dunia di Roma, untuk menjelaskan, sekaligus berbagi pengalaman atas keberhasilan Indonesia mencapai swasembada beras. Di depan sidang itu Presiden Soeharto menyatakan bahwa sebagai ungkapan rasa syukur bangsa Indonesia, dan sebagai ungkapan simpati para petani Indonesia kepada sesama petani yang sedang bergumul dalam perjuangan memperbaiki nasib, maka para petani Indonesia secara gotong-royong dan sukarela berhasil mengumpulkan gabah sebanyak 100.000 ton. Ia mengungkapkan, Para petani Indonesia telah memintanya untuk menyerahkan gabah itu kepada FAO, untuk selanjutnya diteruskan kepada saudara-saudara mereka dengan keluarganya yang mengalami kelaparan di berbagai kawasan, khususnya di benua Afrika.
Hadirnya kegembiraan itu tidak justru membuat sikap batin Ibu Negara, Ibu Tien Soeharto, terlena. Konon naluri kemanusiaannya justru tergetar atas munculnya berbagai tragedi kemanusiaan oleh sebab bencana alam, sebagaimana kelaparan yang terjadi di Afrika, yang pada saat itu disumbang oleh para petani Indonesia itu. Ibu Tien justru berfikir jangka panjang, bahwa bencana alam bisa datang kapan saja, termasuk di Indonesia. Gempa bumi, banjir, kekeringan panjang, tak mustahil melanda Indonesia dan oleh karena itu harus diantisipasi. Ibu Tien begitu tergetar rasa kemanusiaannya melihat korban-korban bencana itu, hingga menulis puisi seperti ini:
Di luar tak kentara
Di dalam hati terasa
Di lubuk hati turut berduka
Tekadku satu untuk bersama
Ceria-mu, ceria-ku
Bahagia-mu, bahagia-ku
Penderitaan-mu, penderitaan-ku
Maka tekadku satu
Hartaku sebagian untukmu
Tuhan Maha Besar dan Maha Sempurna
Apa yang kita bagi dengan sesama
Kelak pasti mendapat pahala
Yang suci dan berlipat ganda
Amien !
Ibu Tien berpandangan, bahwa negara belum punya alokasi anggaran yang memadai untuk menghadapi kejadian-kejadian bencana, yang datangnya bisa saja tiba-tiba. Maka ia cetuskan ide menggerakkan solidaritas masyarakat dalam pengumpulan dana dari seluruh lapisan masyarakat yang mampu, sebagai dana “siaga bencana”. Dana itu untuk meringankan penderitaan sesama akibat musibah kemanusiaan.
Ajakan Ibu Tien Soeharto disampaikan dalam pertemuan di Istana Bogor 30 Maret 1986 mendapat simpati dan dukungan dari tokoh-tokoh masyarakat serta para pengusaha nasional kala itu, yang memiliki kepedulian besar terhadap masalah-masalah sosial kemanusiaan. Maka kemudian muncullah pembentukan Panitia Dana Gotong Royong Kemanusiaan. Status kepanitiaan itu kemudian ditingkatkan menjadi Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan (YDRK). Ide itu kelak mampu berpartisipasi dalam meringankan beban kemanusiaan dalam 718 kejadian bencana di 963 lokasi, baik bencana-bencana di dalam maupun luar negeri. Termasuk korban musibah bencana terowongan Mina dan korban perang teluk Persia (melalui PMI) juga merasakan sentuhan manfaat dari ide ini. Ibu Tien bukan saja seorang istri Presiden, akan tetapi juga merupakan sosok pejuang yang patut menjadi contoh bagi kita semua.
***