ADA JG INGINKAN ABRI SEKEDAR ALAT PEMERINTAH

ADA JG INGINKAN ABRI SEKEDAR ALAT PEMERINTAH [1]

 

Djakarta, Yudha

Ketua MPRS Djenderal AH Nasution dalam wawantjara chusus dengan wartawan “Kompas” berpendapat bahwa untuk menghilangkan isu jg negatif ttg Negara Islam, tjaranja ialah mengembalikannja kepada proporsi jang sebenarnja. Sebenarnja pada kenjataannja, menurut Djenderal A.H. Nasution ada 2 soal.

Pertama, ialah soal Negara Islam, jang diperdjoangkan dulu oleh DI, jang ditolak oleh majoritas umat dan jg telah diatasi dan diselesaikan oleh kita, dengan dipelopori oleh TNI, dimana Siliwangi besar djasanja.

Dan kedua, soal Piagam Djakarta. Dalam hal ini harus kita berpegang teguh kepada penjelesaian jang sudah ada setjara konstitusionil, jakni ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 jang telah menetapkan Dekrit 5 Djuli ’59 sebagai sumber hukum disamping sumber2 lain Proklamasi 17 Agustus’45, UUD 45 dan seterusnja.

Dan dimana dekrit tersebut telah menjatakan Piagam Djakarta mendjiwai UUD 45 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesataun dengan konstitusi tersebut.

Dengan adanya Ketetapan No. XX/MPRS/1967 dalam pengalaman pasal 29 UUD’ 45 bahwa DI berdasarkan Ketuhanan jang Maha Esa dan djaminan kebebasan nasional penduduk memeluk agamanja dan beribadah sedemikian maka terdjaminlah bagi ummat Islam perdjoangan jang lajak untuk di bidang legislatif dan eksekutif serta judikatif sjarat2 pembinaan keagamaan Islam, sedangkan dilain fihak terdjamin bagi semua agama toleransi, bahkan solidaritas antar agama.

Dengan tjara begini dapat diachiri lobi2an jang telah di-exploitasi oleh 3 golongan jang negatif terhadap revolusi ’45, jakni ke-extriman dalam kalangan umat Islam, sebagaimana dimasa DI dan dalam kampanje pemilu 1955. Mereka djustru akan berkesempatan lagi, djika Islam dilobi, atau soal2 tadi di issuekan.

Gerpol PKI/Orla jang setjara menipu mempertentang Pantjasila dan Islam, pada hal Pantjasila terkandung sepenuhnja dalam hakekat adjaran Is­lam, sehingga orang Islam jang baik haruslah mengamalkan Pantjasila dengan baik.

Gerpol tersebut memantjing kepada ketidak mendalamnja pengertian banjak orang dan pedjabat terhadap Islam dan terhadap oknum2 extrim tadi.

Setiap subversi asing tahu, bahwa kegontjangan dalam umat Islam jang merupakan 85 % dari penduduk Negara kita, akan menggontjangkan seluruh Republik. Issu terhadap Islam adalah tjara penawar jang paling gampang untuk berhasil bagi subversi.

Akan sangat membangun djika masjarakat tahu disamping sedjarah penjelesaian DI tadi ialah penjelesaian persoalan Piagam Djakarta.

Rapat Badan Penjelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan 29 Mei – 1 Djuni 1945 jang menghasilkan ide2 tetang dasar2 Negara, jang menghasilkan pada pokoknya 5 sila Pantjasila.

Hasil Panitia ketjil jang merupakan konsep Mukadimah UUD 45 dengan ditanda tangani oleh Soekarno Hatta, dll. jang dikenal dengan Piagam Djakarta 22 Djuni 1945.

Pengesahan UUD 1945 tanggal 18 Agustus 1945, di mana Piagam Djakarta djadi Mukadimah dengan mentjoret 7 kata dibelakang Ketuhanan Jang Maha Esa jaitu, dengan kewadjiban mendjalankan sjariat Islam bagi pemeluk2nja”, guna menghindari salah faham demi kesatuan dan persatuan.

Usaha2 partai Islam dalam Konstituante untuk mengembalikan 7 kata tsb tapi tak berhasil.

Penjelesaian dengan Dekrit 5 Djuli ’59 dan setjara konstitusionil dengan Ketetapan No. XX/MPRS/1966.

Persoalan Piagama Djakarta ini digerpolkan sebagai pembentukan “Negara Islam” oleh PKI / Orla. Djelas dan tegas pula bahwa Islam dan agama2 lain sama2 tak mengenal paksaan agama, tapi sama2 mengusahakan agar setiap pemeluknja mengamalkan adjaran agamanja baik jang Islam maupun jang Kristen.

Hendaknja tiap orpol / ormas dan pedjabat Negara berpegang teguh pada ketentuan konstitusionil tadi dan memberikan penerangan jang wadjar tentang isi dan sedjarah daripada persoalan itu sehingga tidak ada lobi2an jang pasti di-exploitasi oleh ke 3 kepentingan negatif.

Memang tjara2 meng-issuekan ala gerpol tadi, ingin membawa ABRI djadi sasaran, karena ABRI dengan saptamarga sangat waspada terhadap setiap penjelewangan terhadap Pantjasila / UUD 45.

Hal ini adalah historis logis, karena sedjarah 21 tahun merdeka terus menerus adanja usaha jang demikian itu, seperti:

  1. Rentetan Linggardjati Renville, KMB, Trace Baru jg. mengkompromiskan dan membawa federal dan liberal.
  2. Penjelewengan PKI/Muso. DI. PRRI. G-30-S. dll jang disebut dalam statement ABRI 21 Desember 1966.
  3. Penjelewengan rezim Orla: Pantjasila=Nasakom, kultus individu, peng­ marxis-an dalam Pantjasila.

Masalah Kepartaian

Mendjawab pertanjaan ttg. masalah kesepakatan, Djenderal Nasution menerangkan bahwa memang dimasa jang lalu, lebih2 dimasa liberal dan rezim Orla sangat ditondjolkan oleh partai2 perihal “keunggulan” ideologinja.

Kita telah mengalami bagaimana tjara2 ini terus mengtjaukan Bangsa2 dan Negara dan mendjauhkan kita dari pelaksanaan masjarakat adil dan makmur. Pertimbangan itulah sebabnja misalnja, maka beberapa orang veteran TNI dan saja ditahun 1954 sampai mendirikan gerakan dengan nama IPKI jang hanja untuk memperdjuangkan “kembali ke UUD ’45”, guna mendjamin ideologi ’45, Pantjasila / UUD ’45.

Kemudian pimpinan TNI ditahun 58-59 mempelopori “kembali ke – UUD ’45. Dan setelah penjelewengan rezim Orla, ABRI bersama Angkatan ’66 memperdjoangkan “Laksanakan UUD ’45 setjara murni dan konsekwen” sebagimana mendjadi Isi pokok dari statemen ABRI 5 Mei ’66.

Karena sebenarnja Pantjasila / UUD ’45 telah merupakan ideologi Indonesia. Mukadimah berisi sifat, dasar dan tudjuan Negara setjara tegas dan bab2 UUD memuat pokok2 perdjoangannja dibidang ekonomi sosial, budaja dll. Pendeknja UUD ’45 memuat persoalan2 pokok revolusi Indonesia.

Seterusnja UUD menentukan, bahwa MPRS untuk tiap 5 tahun menentukan setjara musjawarah / mufakat program umum dan memilih Presiden / Wakil Presiden utk melaksanakannja.

Hal ini berbeda dengan tjara2 di Negara2 liberal dan komunis dimana partai2 membuat programnja atas dasar idelologinja, dan kalau ia menang dalam pemilihan umum, maka partai itu melaksanakannja, dan kalau kalah, ia ber-oposisi terhadap pemerintah. Dan kalau tak ada jg menang mutlak, maka program pemerintah djadi sekedar tjampuran.

Sidang Istimewa MPRS sebagai prakteknja, telah membuka tahap baru, orde baru. Tapi masih banjak teman jang masih terpengaruh oleh tjara2 masa liberal dan Orde lama, sehingga kurang menjadari isi dan tjara Orde Baru ini.

Djelaslah bahwa UUD ’45, atau demokrasi Pantjasila tidak menghendaki tjara2 “unggul2an” Ideologi jang demikian itu, karena sifat kekeluargaan dan tjara musjawarah Sidang Umum IV dan dalam rangka pengorbaan ini adalah tepat usul Kabinet Ampera, agar sistim pemilu nanti adalah sistim pilihan orang distrik demi distrik, bukan salah idelologi seperti dalam sistim proporsionil.

Ini semua akan membawa kita kepada lebih mementingkan program praktis untuk perbaikan hidup rakjat, dan penilaian langsung oleh rakjat atas hasil2 jang ditjapai, daripada jang sebaliknja, ialah “ungguI2an” ideology seperti dimasa pemilu liberal 1954-1955 dan “djor2an” zaman Orde Lama.

Dan ditambah dengan sistim perwakilan orpol, golkar, termasuk perwakilan ABRI jang sederadjat dengan partai besar, dan perwakilan daerah dalam MPR, maka praktis tidak mungkin kemenangan mutlak bagi satu partai, atau ideologi.

ABRI, chususnja Seminar AD. telah mengutamakan pendekatan jang realistis dan pragmatis dalam pembangunan keadilan-kemakmuran.

Saja jakin bahwa pelaksanaan UUD ’45 setjara murni dan konsekwen, dan sistim pemilu jang memilih orang setjara distrik2, mengakibatkan orientasi baru bagi partai2, ormas2, golkar2 jang berarti lebih mendjauhkan “unggul2an” ideologi dan lebih mengutakan program dan hasil2nja dari perbaikan hidup rakjat setjara daerah maupun setjara nasional.

Sedjarah masa liberal dan orla di Indonesai dan perkembangan ekonomi di Negara2 sosialis/komunis menundjukkan bahwa adalah masih djadi soal besar tersendiri untuk mempratekkan ideologi kepada pembangunan sosial ekonomi.

Masalah Militerisme

Medjawab pertanjaan tentang issue militerisme, Djenderal Nasution menjatakan bahwa memang isse itu ber-kali2 menondjol dalam sedjarah Republik Indonesia. Dalam masa karier saja telah 3 kali saja alami:

  • Sehabis penumpasan PKI, Muso dan sehabis perang gerilja, maka sistimteritorial dari TNI dengan gubernur militer, KDM dan KODM sebagai sarana territorial, telah diserang dengan “militerisme” ditahun 1950, tanpa memperhatikan fungsinja dalam 2 persoalan tadi dan dalam peng­-RI – an dari “negara2 bagian” warisan Van Mook, banjak politisi/sipil di tahun 50 menuntut penghapusan sarana territorian kami itu, dengan kata “militerisme”.
  • Sehabis penumpasan PRRI/Permesta, DI/TII, dll, dan setelah sukses Trikora, maka politisi/sipil, antara lain dalam “Panitia 17”, terutama Aidit cs mengulangi lagi hal jg sama sehingga pada achir 1962 ramai lagi soal “militerisme” dengan tuntutan “hapuskan SOB”, Hapuskan Koramil “tarik badju hidjau dari PN2, DPR dan lain2 lembaga” hapuskan Civic Mision. Sebelumnja satu partai besar tuntut supaja, wakil2 ABRI di DPR “buka badju”. bahkan supaja diberhentikan dari ABRI.
  • Setelah patah G-30-S durnoisme, dan diatas “benteng terachir Orla”.

kembali hangat soal militerisme. buka badju seragam dll.

Sudah tentu ada unsur2 jang prinsipil ingin membuat ABRI sekedar alat pemerintah sadja, seperti dalam sistim liberall demokrasi Barat. Ada jang hanja setjara taktis, seperti PKI dimasa pra-Gestapu, ada jang karena mengchawatirkan ekses2nja setjara djudjur.

Kami mengalami ekses2 di 3 masa tsb tadi. tapi sebaliknja djanganlah ekses2 itu menggelapkan peranan positif dan suksesnja dalam perdjoangan revolusi Pantjasila kita dalam berbagai tahap itu.

Hendaknja dikembalikan hal ini kepada proporsinja: doktrin dan Prakteknja jang njata.

UUD adalah azas dan politik tentara, ABRI adalah pendukung / pembela NKRI Pantjasila”.

Dan kenjataan dalam sedjarah, kedalam oleh ABRI telah ber-kali2 dipatahkan usaha2 oknum2 sendiri jang menjeleweng terhadap Pantjasila UUD dan keluar, ABRI telah punja peranan utama membelanja terhadap agresi2 kolonial dan terhadap penjelewengan2 politik dan pisik, bahkan ABRI ditahun 58-59 dan 66 telah ikut memelopori “Kembali ke UUD ’45 dan “laksanakan UUD setjara murni dan konsekwen”.

Tapi pula kami tidak membantah adanja ekses2 dan bahaja meluasnja, sebagai tendensi setiap kekuasaan, djika tidak dilandasi oleh achlak jang bertakwa kepada Tuhan jang Maha Esa.

Dan karena itu ABRI harus terus melakukan selfkoreksi demi kesuksesan dan keselamatan dalam fungsinja.

Dalam Revolusi Indonesia Sudah Njata Perlunja Peranan

ABRI dengan dwi-fungsi jang terkenal, djika sedjarah sedjak 45 kita teliti.

Pola kontitusional tidak bertentangan dengan UUD 45′ dan telah ditegaskan dalam Ketetapan MPRS No. XXIV / 1966. Kenjataannja dan legalitasnja ABRI sebagai socialforce itu haruslah tiap 5 tahun, sesuai masa MPR jang bertugas menilai keadaan tiap 5 tahun disesuaikan dengan kondisi serta situasi.Djika ada disparitas antara realita dan legalita posisi ABRI tersebut maka akan timbul ketegangan2 sebagaimana kita alami di-masa2 jg lalu.

Dwifungsi ABRI itu terutama kekaryaan dan civic missionnja jang amat ditentang oleh PKI cs dimasa jang lalu haruslah dilaksanakan atas dasar kemanfaatannja. Dan haruslah tetap diadakan tanggung djawab ke ­Saptamargaan terhadap Angkatan daripada tanggungdjawab operasionil terhadap penguasa atau kekuasaan atasannja dalam lembaga sipil atau sosial. Djika tidak, maka akan mendjurus kepada “militerisasi”, bidang sipil atau ” sipilisasi” atau politisasi terhadap ABRI.

Ini adalah terutama tergantung dari pelaksanaan kepemimpinan.

PengkarjaanABRI dan civic missions tiada mengakibatkan pengangguran, djika memang dilaksanakan atas dasar manfaatnja, bahkan kemanfaatan itu akan mengembangkan kesempatan kerdja.

Tentang wadjib militer sebagai follow up dari stabilisasi politik dan ekonomi, haruslah diutamakan dibidang hankam pelaksanannja dengan tudjuan keseimbangan antara komponen2 militer sukarela dan militer wadjib dalam ABRI, atas dasar kebutuhan kwalitas tertentu.

Bersama segi2 lain daripada pembinaan ABRI / Hankam. sesuai dengan djiwa UUD 45′ perlulah penentuan policy pada puntjak nasional oleh suatu “Dewan Ketahanan Nasional” dan pelaksanaannja dilakukan oleh “Menteri Pertahanan”.

Penentuan policy memerlukan musjawarah dan pemisahan dari pelaksanaan, praktek kita selama masa jang lalu kurang mementingkan keharusan ini.

Masalah Korupsi Dan Operasi Budi

Mengenai pertanjaan sekitar masalah korupsi dan Operasi Budi dahulu, Djenderal Nasution menerangkan bahwa :

Korupsi selalu ada dalam pemerintahan, baik oleh sebab faktor2 subjektif maupun objektif. Faktor2 objektif, seperti organisasi jang katjau, suasana inflasi dan lain2 merangsang dan memantjing korupsi.

PARAN (Panitia Retooling Aparatur Negara) dulu telah membahasnja dan membaginja kepada 3 sektor “pertempuran” anti korupsi :

  • Hal situasi dan kondisi poleksos
  • Policy dan organisasi pemerintahan.
  • Mental/achlak pegawai/pradjurit.

Sekarangpun Tetap Perin 3 Sektor itu Digarap

PARAN dulu terbentur kepada vested interest OrIa dan pada tingkat2 atasan.

Soal pidana dan pengadilan adalah bagian ketjil sadja dari pada ini. Korupsi jang bisa dimahkamah relatif tidak banjak lagi pula maksud untuk preventif lebih penting dari represif-nja.

Operasi Budhi”. dulu dihentikan oleh Istana. Setelah lebih dulu mengalami intervensi istana terhadap oknum penting dan hal itu politis di ­exploitasi oleh dumoisme sampai PARAN dibubarkan oleh Presiden dan Waperdam Subandrio dikuasakan dengan KOTRAR-nja “Operasi Budhi” bukan mentjari kesalahan, tapi kontrole terhadap policy exekusi organisasi, personalia, barang keuangan, hasil2 positif atau negatif dan lain2 pokoknja dalam mengedjar management jang baik dalam rangka perbaikan aparatur Negara.

Hasil2 peineriksaan mendapatfollow-up dibidang policy, organisasi, personalia dan lain2 termasuk justisiil.

Karena itu anti – korupsi sekarangpun haruslah sebagai bagian dari usaha perbaikan integrasi dari Apparatur Negara, sebagaimana saja andjurkan dalam pidato Penutupan Sidang Istimewa jang baru lalu.

Dalam program Kabinet perIu disamping program usaha, djuga adanja program sarana, karena policy jang baik akan gagal oleh sarana jang tidak baik. Tentang “Operasi Budhi” dulu, kami tidak punja wewenang jang semestinja kami berdjoang dengan memanfaatkan posisi kami, sebagai pendjabat2 di SAB, POMAD, IRKEH Kedjaksaan, dan lain2. Hal ini djelas kiranja, kalau diketahui, bahwa rintangan terpenting datangnja dati atas.

Ditahun 1957 saja telah usahakan anti-korupsi dengan wewenang PEPERPU tapi djuga achimja berhadapan dengan kekuasaan jang lebih tinggi, jaitu Kabinet, sehingga usaha itu diopernja.

Sekarang lebih mendesak lagi operasi demikian, bukan dalam mentjari kesalahan, tapi pengawasanlpemeriksaan setjara achlak dan ahli terhadap semuapendjabat dan instansi tanpa ketjuali.

Pemeriksaan/pengawasan Adalah Unsur Mutlak Dalam Kepemimpinan Jang Manapun

Dikalangan ABRI-pun tentu ada korupsi, sebagaimana dikalangan lainnja, dan sebagai unsur jang penting dalam kekuasaan negara sekarang, tentu lebih banjak kesempatan, tapi lebih disoroti pula oleh masjarakat, dan pasti didjadikan sasaran pula oleh gerpol OrIa. Saja bukanlah orangnja untuk mendjawab pertanjaan tentang penindakan terhadap mereka, tapi adalah pimpinan ABRI sendiri. Tapi djelas bahwa berhubung mission ABRI seperti sekarang ini, perIulah ABRI mengutamakan tindakan penertiban kedalam sendiri.

Disamping itu akan merangsang penertiban disegala bidang, djika perihal dana revolusi, Anggaran Chusus dan Kredit Chusus diperiksa, dipertanggung djawabkan dan sebanjak mungkin dikembalikan kepada Negara, karena dimensi2nja jang begitu besar didalam dan diluar negeri dan mungkin merupakan peristiwa penjelewengan ekonomi dan sosial jang terberat dalam sedjarah Republik Indonesia.

Demikian wawantjara chusus Ketua MPRS Djend A.H. Nasution dengan wartawan harian “Kompas” pada 18/4. (DTS)

Sumber: BERITA YUDHA (18/04/1967)

 

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku I (1965-1967), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 809-817.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.