AKAN DIKIRIM, UTUSAN KE BEKAS REPUBLIK FEDERASI YUGOSLAVIA

AKAN DIKIRIM, UTUSAN KE BEKAS REPUBLIK FEDERASI YUGOSLAVIA[1]

 

Jakarta, Kompas

Indonesia akan segera mengirim utusan ke tiga negara bekas Yugoslavia, yakni Serbia-Montenegro, Slovenia, dan Macedonia guna membicarakan kemungkinan mulainya suatu penyelesaian damai di kawasan bekas Yugoslavia tersebut dan kawasan Balkan umumnya dengan terutama melibatkan para pemimpin mereka sendiri.

Demikian Presiden Soeharto dalam keterangannya kepada wartawan yang menyertai kunjungannya ke Kopenhagen, Kroasia dan Bosnia Herzegovina dalam pesawat DC-10 Garuda Indonesia beberapa saat sebelum mendarat di Bandara Halim Perdana kusumah, Jakarta Rabu pagi (15/3). Kunjungan ke Kopenhagen, Denmark, menghadiri KTT Pembangunan Sosial serta KTT Pendidikan untuk semua berkembang berpenduduk terbesar, RRC, India, Indonesia, Bangladesh, Pakistan, Nigeria, Mesir, Brasil dan Meksiko. Pengiriman pejabat ke tiga negara bekas Republik Federasi Yugoslavia (RFY) tersebut sebagai tindak lanjut kunjungan Kepala Negara ke Zagreb (Kroasia) dan Sarajevo (Bosnia-Herzegovina) dua-tiga hari lalu. Menurut Presiden, dalam pembicaraannya dengan Presiden Kroasia Franjo Tudjman dan Presiden Bosnia-Herzegovina Alija Izetbegovic di Sarajevo, kedua pemimpin negara bekas Republik Federasi Yugoslavia itu setuju atas gagasan Indonesia tentang perlunya penyelesaian damai di kawasan itu oleh para pemimpin serta rakyatnya sendiri, dan jika diminta, Indonesia juga bersedia menjadi fasilitator.

“Tinggal sekarang yang lainnya, baik Slovenia, Serbia-Montenegro dan Macedonia,” kata Kepala Negara. Karena itulah akan segera dikirim pejabat ke ketiga negara tersebut.

Dengan wajah cerah dalam suasana yang terlihat gembira setelah sukses masuk Sarajevo, Presiden dalam kesempatan itu kembali menegaskan bahwa Indonesia dalam upaya itu sama sekali tidak ingin menjadi penengah (mediator) tetapi hanya sebagai fasilitator. “Menurut beberapa keterangan, pejabat yang akan dikirirn tersebut adalah Duta Besar/ Badan Pelaksana Ketua GNB Nana Sutresna, yang akan segera berangkat setelah ada kesediaan menerima dari negara-negara bersangkutan. Kemungkinan tujuan pertama adalah ke Beograd yang merupakan pusat kekuatan kelompok Serbia, yang secara defacto merupakan kekuatan utama perang di Bosnia.

Bukannya Diam

Dijelaskan sebagai sahabat negara-negara bekas Yugoslavia maupun juga sebagai ketua GNB selama ini Indonesia bukannya diam melihat konflik di Bosnia dan kawasan Balkan. Indonesia terus mengikuti perkembangan dan mendukung usaha-usaha penyelesaian peperangan di kawasan tersebut melalui resolusi-resolusi Dewan Keamanan maupun PBB. Karena Indonesia adalah juga anggota PBB dan anggota Dewan Keamanan (tidak tetap) sejak Januari lalu. Indonesia juga mendukung cara-cara penyelesaian oleh negara-negara barat, negara-negara Eropa, sampai ke cara penyelesaian oleh kelompok lima negara. Namun menurut Kepala Negara rupanya cara penyelesaian di kawasan itu dilakukan secara partial sehingga belum menjamin penyelesaian dan memang belum ada basil yang memuaskan. Karena itu Indonesia berpendapat harus diselesaikan secara integral secara keseluruhan dan itu hanya bisa dilakukan oleh pemimpin-pemimpin negara itu bukan dari luar, kalau pemimpin-pemimpin negara itu tidak menghendaki kehancuran dan ingin menyelesaikan perang, maka hendaknya betul-betul dibicarakan bagaimana menyelamatkan negara yang tadinya utuh, dan kini pecah belum ada penyelesaian, dan nanti ingin tidak pecah lagi.

“Atas dasar apa? Ya, kembali bahwa federasi dulu itu terdiri dari negara-negara bagian, dan harus ada saling mengakui daripada negara bagian tersebut, dengan janlinan bahwa minoritas di masing-masing negara, dilindungi dan diikutsertakan dalam semua soal”. Setelah itu lalu diwujudkan tekad Yugoslavia dulu, salah satu pendiri GNB, yakni hidup berdampingan secara damai, menghormati kedaulatan masing­ masing, tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing, dan bekerja sama yang saling menguntungkan. “Ini harus dibuktikan di antara negara-negara itu,” demikian Presiden Soeharto menegaskan.

Kalau itu sudah bisa dilaksanakan,barulah bisa dibentuk konfederasi, bukan lagi federasi. Tapi, jika konfederasi itu juga tidak diperlukan, bisa dibentuk kerja sama antara bangsa-bangsa itu yang telah saling mengakui. Sebagai misal, Kepala Negara menunjuk ASEAN yang bisamenciptakan stabilitas nasional dan stabilitas kawasan.

Kalau sudah ada kesepakatan oleh para pemimpin di kawasan Balkan, maka selanjutnya untuk mewujudkan suatu pengakuan internasional, diadakan suatu konperensi internasional di mana kecuali dihadiri negara-negara bekas Republik Federasi Yugoslavia itu sendiri, juga oleh negara-negara lainnya yang sudah terlibat selama ini, seperti lima kelompok negara yang sudah ikut serta selama ini.

Bersyukur

Sebagai pribadi maupun sebagai Presiden RI, Kepala Negara juga menyatakan bersyukur bisa berkunjung ke Sarajevo, di mana keadaan keamanannya sangat rawan, karena sehari sebelumnya pesawat yang ditumpangi Utusan PBB, Yasushi Akashi, ditembak.

“Rupa-rupanya Tuhan masih melindungi kita semua sehingga ketika kita datang ke sana semuanya tidak ada apa-apa, walaupun terpaksa harus naik kendaraan la­pis baja panser APC,” tutur Presiden. Kepala Negara menyatakan penghargaan setinggi-tingginya terhadap jaminan keamanan UNPROFOR, sehingga Presiden bisa menyampaikan gagasan-gagasan Indonesia kepada Presiden Bosnia-Herzegovina. Alija Izetbegovic.

Ditanya tentang “keberaniannya” masuk ke Sarajevo dalam suasana keamanan yang tidak menentu, Presiden menegaskan, karena terpanggil untuk turut serta memikirkan setara aktif penyelesaian konflik Bosnia. Untuk itu ia harus mengetahui keadaan sebenarnya sehingga bisa mengembangkan pikiran-pikiran rasional yang bisa diterima utuh.

Presiden juga menjelaskan, sebetulnya ketika bertemu Presiden Kroasia Franjo Tudjman yang sama-sama hadir di Copenhagen, ia juga diminta bertemu Wakil Presiden AS Al Gore yang juga berada di sana. Tapi karena waktunya tidak memungkinkan maka tidak bisa terlaksana. Ada kekhawatiran karena Kroasia tidak menghendaki Jagi negeri itu dijadikan markas pasukan penjaga perdamaian PBB (UNPROFOR) sampai batas waktu 31 Maret. Keputusan itu bisa menimbulkan berbagai hal yang bisa meningkatkan perang. Ternyata dalam pembicaraan dengan Wapres AI Gore, Presiden Kroasia Franjo Tudjman mengubah kembali keputusannya, di mana Zagreb bisa tetap digunakan sebagai markas UNPROFOR, tetapi nantinya bentuk kegiatannya menjadi lain.

Kualitas Pendidikan

Tentang kehadirannya di KTT Pendidikan untuk semua (EFA), Presiden menjelaskan, sebetulnya Indonesia sejak lama telah melaksanakan Deklarasi KTT pertama di New Delhi, India, tentang perlunya dilakukan pendidikan untuk semua. Isinya meliputi keharusan semua negara untuk melaksanakan pendidikan sekolah dasar untuk anak-anak. Pendidikan juga tidak hanya untuk keluarga mampu, tapi juga yang tidak mampu. Dan, tidak hanya untuk lelaki, tapi juga untuk wanita. Menurut Kepala Negara, bagi Indonesia pelaksanaan berbagai hal tersebut sangat menggembirakan, karena sudah dilaksanakan dengan pembangunan jangka pendek lima tahunan, maupun pembangunan jangka panjang 25 tahun pertama. Itu sesuai yang diamanatkan UUD 45 mengenai pencerdasan kehidupan bangsa di mana semua warga negara berhak mendapat pengajaran.

Untuk pendidikan anak, melalui lnpres SD telah dibangun 136.000 SD serta disediakan guru-gurunya, dan tahun 1985 telah dicanangkan wajib belajar untuk anak usia 7-12 tahun. Setelah berjalan 10 tahun, hasilnya sangat menggembirakan. Anak usia 7-12 tahun pada tahun 1994 sudah 94 persen, atau 29,6 juta anak.

Dari segi kualitas, mereka yang bisa mengikuti kelas satu sampai kelas enam, kurang lebih 80 persen. Yang putus sekolah pun bisa menyelesaikan kelas satu sampai empat, sebanyak 90 persen. Menurut penilaian Unesco, kata Presiden, kalau sudah melewati kelas empat, berarti sudah tidak buta huruf lagi. Yang gagal, tidak lulus hanya 2,8 persen. “Suatu prestasi yang tidak kecil yang umumnya tidak dinilai orang, tapi yang seharusnya kita syukuri”. Sisanya yang enam persen lagi, kata Kepala Negara, adalah dari keluarga yang tergolong di bawah garis kemiskinan. Untuk mereka terus diusahakan melalui sistem bapak asuh. Sedang untuk anak-anak di desa terpencil, yang jumlahnya banyak sekali, diatasi dengan SD kecil, dengan mengirimkan guru sampai ke desa itu. Sejak 1995 juga telah dicanangkan wajib belajar sembilan tahun. Sedang untuk pemberantasan buta huruf, dengan mengikutsertakan masyarakat, terutama kaum wanita melalui PKK dan sebagainya melalui program kelompok belajar (Kejar) Paket A untuk tingkat SD. Usaha-usaha ini menurut Presiden, juga ternyata menggembirakan. Sampai tahun 1994, masih tersisa 17 juta (11,3 persen) yang buta huruf, yakni mereka yang umur 10 tahun ke atas. Tapi kalau terbatas yang berumur 10-44 tahun, tinggal 6,3 juta (5,8) persen. Tadi, dengan program paket A dan Paket B, maupun dengan wajib belajar 9 tahun, diperkirakan tahun 2000 nanti tidak akan ada yang buta huruf lagi, kecuali sebagian dari yang umumnya 70 tahun ke atas.

Pembangunan Sosial

Demikian juga mengenai KTT Pembangunan Sosial. Menurut Kepala, ternyata usaha pemberantasan kemiskinan dan keterbelakangan juga secara bertahap sudah dilaksanakan di Indonesia, melalui Trilogi Pembangunan ,di mana di dalamnya terdapat masalah pemerataan. Buktinya, kata Presiden, rakyat Indonesia yang tadinya 70 juta hidup di bawah garis kemiskinan, pada 1994 sudah bisa diturunkan menjadi tinggal 25 ,9 juta jiwa (13,7 persen). Tantangan sekarang adalah bagaimana mempercepatnya. Untuk itu memasuki Pelita VI telah dilaksanakan program Inpres Desa Tertinggal (IDT) dengan memberi bantuan Rp 20 juta per desa setahun guna dikembangkan secara bergulir, dan tidak perlu dikembalikan.

Sebelurnnyajuga ada program-program lain, terutama dalam melibatkan rakyat, baik petani, nelayan dan pengrajin, agar menciptakan lapangan kelja guna mencukupi kebutuhan hidup. Begitu juga yang dilakukan melalui keija sama kelompok-kelompok keluarga berencana atau melalui penyaluran 20 persen kredit kepada koperasi dan pengusaha kecil menengah.

Memang yang terakhir itu masih perlu diperbaiki, karena terlalu berbelit-belit. Itu sebabnya, dicoba cara lain dengan menyisihkan keuntungan BUMN l-5 persen untuk membantu pengusaha kecil dan koperasi. Kalau dihitung keseluruhan aset BUMN Rp 230 trilyun, maka keuntungannya tiap tahun tidak kurang dari Rp 7 trilyun. Sehingga lima persen dari Rp 7 trilyun adalah Rp 350 milyar tiap tahun yang bisa disisihkan oleh BUMN untuk membantu. (sel)

Sumber: Kompas (1995)

____________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVII (1995), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 164-168.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.