ALFIAN: JIKA SISTIM DISTRIK DIPAKAI, GOLKAR AKAN BORONG SEMUA KURSI
Jakarta, Antara
Kapuslitbang Politik LIPI Dr. Alfian berpendapat bahwa meskipun Presiden Soeharto telah memberikan peluang kepada kekuatan sosial politik untuk bilamana perlu memperjuangkan perubahan sistim pemilu, sistim yang ada dan disepakati sampai sekarang akan sulit diubah.
“Apabila sistim yang dipakai sekarang distrik, kemungkinan besar Golkar akan memborong semua kursi dan dua kekuatan social politik lainnya tidak kebagian,” kata Alfian kepada ANTARA di Jakarta, Jum’at. Menurut Alfian, sistim pemilu yang dipakai sekarang dan yang merupakan kombinasi dari sistim distrik dan proporsional sudah memadai untuk tahap pembangunan politik nasional dalam masa transisi ini dan tetap relevan untuk menjadi landasan bagi pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 1992 mendatang.
“Saya belum melihat adanya keperluan untuk memperjuangkan kemungkinan perubahan itu. Sebab dengan sistim pemilu sekarang dimungkinkan ketiga organisasi politik peserta Pemilu terwakili baik di MPR maupun DPR secara bermakna,” katanya.
Yang dimaksudkan dengan pengertian ”bermakna” oleh Alfian ialah jumlah wakilÂwakil rakyat dari masing-masing orpol cukup menentukan, meskipun ada yang mendapat jumlah kursi yang besar dan ada yang kecil.
Seandainya dipakai sistim distrik, katanya, untuk setiap distrik ditentukan hanya satu wakil, berarti hanya satu orang pemenang yang menjadi wakil orpol. “Bila itu terjadi, Golkar sudah pasti dapat memborong semua kursi yang diperebutkan dalam Pemilu,” tegasnya.
Dijelaskan, apabila pada Pemilu 1987 digunakan sistim distrik, Golkar diperhitungkan dapat memboyong semua kursi, kecuali sekitar empat kursi yang diperoleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Sedangkan, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) diperhitungkan tidak mendapat kursi sama sekali.
“Padahal, dengan sistim pemilu yang dipakai sekarang, kedua kekuatan sosial politik selain Golkar juga mendapat kursi yang bermakna, yakni 61 kursi untuk PPP dan 40 kursi untuk PDI.” Dengan demikian, menurut pengamat politik itu, cukup beralasan apabila pimpinan ketiga kekuatan sosial politik seperti Wahono (Golkar), J. Naro (PPP) dan Soerjadi (PDI) tidak mempersoalkan betul perubahan sistim Pemilu yang penting mekanisme pelaksanaannya yang diharapkan lebih jujur dan adil alias jurdil.
“Namun, peluang yang diungkapkan Presiden Soeharto sudah sepatutnya dipikirkan dalam bentuk dialog antar kekuatan sosial politik agar didapat perbandingan dan konsensus nasional apakah perlu atau tidak perlu merubah sistim pemilu tersebut sehubungan dengan dinamika dan perkembangan pembangunan politik,” ujarnya.
Adanya ajakan Presiden Soeharto untuk bilamana perlu mengubah sistim Pemilu dalam pidato kenegarannya itu, menurut Alfian menunjukkan bahwa keterbukaan itu merupakan bagian integral dari budaya politik nasional. Dengan penegasan Presiden tersebut, katanya, dibuktikan bahwa bangsa Indonesia boleh membahas apa saja, berfikir dan memutuskan apa saja asal dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku, termasuk didalamnya memikirkan kemungkinan perubahan sistim pemilu. “Melalui pidato itu, semakin jelaslah bagaimana politik demokrasi Pancasila bekerja dan bagaimana keterbukaan politik dijalankan di Indonesia,” demikian Alfian.
Sumber : ANTARA (16/08/1989)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XI (1989), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal.296-297.