AMANAT TAMBAHAN PRESIDEN SOEHARTO PADA PEMBUKAAN RAPAT PIMPINAN ABRI

AMANAT TAMBAHAN PRESIDEN SOEHARTO PADA PEMBUKAAN RAPAT PIMPINAN ABRI

Pengantar Redaksi :

Presiden Soeharto menyampaikan pidato pengarahan pada Rapat Pimpinan ABRI 1980 di Pekanbaru. Pidato pengarahan yang diucapkan dari naskahpada hari Kamis, 27 Maret 1980 itu sudah dimuat di harian ini, sebagai berita utama pada hari Jumat 28 Maret 1980.

Redaksi

SETELAH menyampaikan pidato dari naskah itu, segera pula Presiden menyusulinya dengan pidato tanpa naskah yang direkam oleh Sekretariat Umum Hankam berikut ini, transkripsi dari pidato tambahan itu yang diterima Redaksi dari Pusat Penerangan Departemen Pertahanan Keamanan bertanggal 5 April 1980. Untuk menghindari salah tafsir, Kepala Puspen Hankam menyampaikan pesan, agar pidato tanpa naskah ini jika dimuat disajikan secara penuh.

Saudara-saudara sekalian

PADA kesempatan yang sangat berhargaini, saya ingin menambahkan beberapa hal, mudah-mudahan akan dapat digunakan sebagai satu bekal untuk meningkatkan kewaspadaan di dalam melaksanakan tugas dari pada Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, terutama dalam melaksanakan dwifungsi dari pada ABRI dan lebih khusus lagi, dalam melaksanakan fungsi sebagai kekuatan sosial dalam ikut serta menjamin kelangsungan kehidupan dari demokrasi politik dan demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila.

Tentunya, Saudara-saudara sendiri telah memaklumi bahwa Orde Baru ini lahir sebagai akibat dari pada pasang surutnya perjuangan bangsa Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh perkembangan-perkembangan ideologi politik yang mau tidak mau ideologi politik yang sangat mempengaruhi pula pada pengelompokkan­pengelompokkan golongan maupun juga para pemimpin dari pada golongan itu.

Sehingga, sebelum Orde Baru ini lahir, tampak terasa oleh kita justru ideologi nasional kita tenggelam oleh berbagai ideologi yang ada, apakah itu Marxisme, Leninisme, Komunisme, Sosialisme, Marhaenisme, Nasionalisme dan Agama. Semata­mata ideologi nasional kita hanya berfungsi sebagai pemersatu dari pada bangsa kita. Dan tidak kurang pula tampak dan juga kita hadapi setelah golongan-golongan sangat dipengaruhi oleh idelogi, masing-masing merasa dapat menyusun kekuatan timbullah satu keinginan untuk memaksakan dari pada kehendak kepada golongan lain dengan kekuatan, maka timbullah pemberontakan berlarut-larut, apakah itu oleh ideologi di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi, Aceh, maupun juga pemberontakan­pemberontakan yang dilakukan oleh G-30 S/PKI mulai dari pada Madiun affairnya juga timbul pemberontakan yang dilakukan oleh PRRI dan Permesta. Semua kejadian kejadian itu jelas hanya menghambat dari pada lajunya perjuangan kita untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Tidak sedikit pula korban yang kita saksikan, apakah itu dari pada prajurit-prajurit yang kita cintai maupun juga rakyat sendiri, karena itulah kita tidak ingin mengulangi kejadian-kejadian itu.

Maka timbullah tekad dari pada Orde Baru untuk melakukan koreksi secara total daripada segala penyelewengan-penyelewengan dari pada Pancasila dan UUD 1945. Karena itulah dasar dari pada koreksi itu pula, kita ingin melaksanakan kemurnian dari padaPancasila dan kita ingin juga mempertahankan Pancasila dan UUD 1945 maupun Pancasila itu.

Karena itulah, kita harus benar-benar kembali bagaimana kita melaksanakan konsensus itu untuk mempertahankan Pancasila, untuk mempertahankan kemumian dari pada UUD 1945 dan juga tidak ingin merubah dari pada Pancasila itu.

Tentunya, kita harus sepaham dan sepakat Pancasila yang mana yang akan kita bela dan tidak akan robah itu. Pancasila yang ingin kita pertahankan tentunya Pancasila yang telah memperoleh kesepakatan bersama dari pada pemimpin-pemimpin kita yang telah diterima satu hari setelah proklamasi itu sendiri.

Proklamasi itu sendiri adalah mengantarkan kehidupan bangsa Indonesia ke gerbang kemerdekaan, persatuan, kedaulatan dan adil makmur. Untuk itulah, kita mendirikan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat. Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat inilah yang dasarnya Ketuhanan Yang Maha esa, perikemanusiaan, Persatuan, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang kemudian kita sebut Pancasila.

Kedaulatan Rakyat di tangan dari pada rakyat Indonesia dengan sistim kerakyatan yang juga sudah jelas dicantumkan di dalam Pancasila itu sendiri ialah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.

DEMIKIAN Saudara-saudara sekalian, kita harus benar-benar menyelami bahwasanya kedaulatan di tangan rakyat sesuai dengan konstitusi kita. Kita telah dapat menemukan mekanisme kepemimpinan nasional, dimana kedaulatan berada di tangan rakyat dengan sistim perwakilan, maka jelas yang memegang kedaulatan negara dan bangsa tertinggi adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang terdiri dari pada Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan wakil-wakil daerah dan golongan.

Majelis inilah yang mempunyai kewajiban untuk dapat menyusun garis-garis besar haluan negara dan memilih Presiden dan Wakil Presiden. Di samping itu, ada wewenang yang khusus ialah untuk merubah UUD itu sendiri, dalam pasal 37 daripada UUD 1945 menyebutkan bahwa untuk mengubah UUD sekurang-kurang dua pertiga dari pada jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir dan putusan diambil (disahkan) dengan persetujuan sekurang-kurangnya dua pertiga dari pada jumlah anggota yang hadir tersebut; apabila dikehendaki perubahan UUD 1945 tersebut.

Berbicara mengenai soal UUD 1945,apak:ah hanya UUD 1945 saja yang bisa diubah dimana Pancasila tidak, saya kira akan banyak juga masih bisa dipertentangkan karena UUD 1945 terdiri dari pada Mukadimah, batang tubuh maupun juga penjelasannya.

Ada kemungkinan bahwasanya kalau tokh tidak hanya batang tubuhnya berarti juga termasuk mukadimah dan termasuk pula Pancasila sebagai dasar daripada negara kita yang bisa dirobah.

Di sinilah ABRI melihat tekad dari pada Orde Baru untuk tidak merobah Pancasila, tidak merobah UUD 1945, di satu pihak atau di lain pihak konstitusi kita itu sendiri membenarkan adanya perubahan UUD 1945, ialah apabila dua pertiga suara dari pada dua pertiga yang hadir setuju sah untuk merobah dari pada UUD 1945 itu.

Karena itu, bagaimana perwujudan dalam mempertahankannya agar supaya secara konstitusional benar-benar dapat dipertanggungjawabkan.

Disinilah letak dari pada usaha ABRI pada waktu itu, bersama-sama dengan kekuatan sosial politik yang menegaskan bahwasanya sebenarnya bagi ABRI mengenai Pancasila dan UUD 1945 telah mengikat janji dan mengikat diri tidak ingin merubahnya.

Semuanya sudah tercantum dalam Saptamargakesatu menyebutkan bahwa kami warganegara kesatuan Republik Indonesia yang bersendikan Pancasila, yang berarti bahwasanya Pancasila hanya satu-satunya ideologi yang kita terima sebagai sendi negara.

Marga kedua, karni patriot Indonesia pendukung serta pembela ideologi negara yang bertanggung jawab dan tidak mengenal menyerah. Jadi jelas dalam keadaan apapun juga bila Pancasila dan UUD 1945 terancam kita tidak boleh menyerah. Dan ini pula yang memanggil kita semua dalam menghadapi peristiwa G.30.S/PKI itu.

Sedang marga ketiga, kamikesatria Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta membela kejujuran, kebenaran dan keadilan. Semua ini adalah mengikat ABRI dalam keadaan bagaimanapun juga tidak akan merelakan UUD 1945 maupun juga Pancasila itu diganti. Bilamana perlu, maka harus mengangkat senjatanya.

Sedangkan jelas, kalau mengangkat senjata tentu juga akan ada korban dari pada prajurit maupun rakyat. Karena itu harus mencari jalan caranya bagaimana agar supaya secara konstitusional dan juga secara demokratis itu dapat diamankan.

Sampailah kepada konsensus dengan semua kekuatan partai politik pada waktu itu, bahwa ABRI agar supaya diberikan kesempatan dengan mengorbankan dari pada hak asasinya untuk dipilih dan memilih, diangkat sepertiga di Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Ini sebenarnya tidak bertentangan dengan UUD, bahwa 2/3 juga masih bisa memungkinkan untuk melaksanakan bilamana toch akan terjadi mengingini adanya perobahan, akan tetapi oleh karena ABRI sendiri sudah menghendaki tidak ingin perobahan dan kalau ada perobahan wajib menggunakan senjatanya dan kita tidak ingin menggunakan senjatanya maka saya gambarkan juga kepada semua kekuatan partai politik pada waktu itu, dari pada kita menggunakan senjata dalam menghadapi perubahan UUD 1945 dan Pancasila, lebih baik kami menculik seorang dari pada dua pertiga yang ingin mengadakan perobahan, karena dua pertiga dikurangi satu sudah tidak sah sesuai dengan UUD 1945 itu.

Ini semua diterima oleh kekuatan sosial politik, sehingga memberi konsensus maka 1/3 dari pada Majelis Permusyawaratan Rakyat itu diangkat untuk mengamankan Pancasila dalam menghadapi salah satu pasal dari pada UUD 1945, di mana Majelis itu memang berhak untuk merobah UUD 1945 dan Pancasila.

Saudara-saudara sekalian,

KEMUDIAN kita mengetahui bahwasanya Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah terdiri daripada Dewan Perwakilan Rakyat, wakil-wakil daerah dan golongan. Karena itu yang diangkat tidak hanya di dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat, akan tetapi juga mulai dari Dewan Perwakilan Rakyat.

Akan tetapi fungsinya adalah lain, fungsinya adalah sebagai stabilisator dan dinamisator daripada kehidupan demokrasi, karena itu yang diangkat sebagai modal dari pada pengangkatan di Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya 100, yang berarti 22 % dari pada 460. Seratus itu pun, 25 masih kita berikan kepada golongan karya non-ABRI, non-partai dan non­massa.

Semua konsensus itu kemudian sudah berhasil dikukuhkan dalam Undang­undang, ialah Undang-undang susunan dari pada Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, ialah Undang-undang No.16 yang sampai sekarang masih berlaku.

Apakah selanjutnya Undang-undang itu akan bisa dirobah, saya kira bisa saja untuk dirobah, akan tetapi harus didasarkan konsensusnya harus dirobah lebih dahulu. Yang boleh merobah konsensusnya bukan Pemerintah maupun Dewan Perwakilan Rakyat, akan tetapi Majelis Permusyawaratan Rakyat itu sendiri.

Tetapi selama konsensus itu belum ada atau dirobah, dengan sendirinya masih didasarkan pada konsensus yang lama, jumlah pengangkatan dan yang dipilih dengan demikian susunan dari pada Majelis Permusyawaratan Rakyat, juga Dewan Perwakilan Rakyat Pusat dan Daerah seperti Undang-undang No.16 itu tadi.

Saudara-saudara sekalian,

DENGAN demikian maka hingga sekarang kita masih akan tetap berpegang kepada Undang-undang itu sendiri. Untuk selanjutnya dalam menghadapi keadaan­keadaan yang akan datang, ABRI yang telah mengorbankan hak azasinya yang kemudian lantas sekarang diangkat sepertiga, seperti tadi saya katakan kemungkinan dua pertiga itu masih akan bisa juga merubah dari pada UUD, karena itu kita harus berusaha dengan kekuatan sosial politik lainnya untuk memperkuat dari pada yang sepertiga itu, karena bagaimana pun juga dengan sepertiga tidak mungkin ditambah lagi tetapi harus ditambah oleh kekuatan sosial politik lainnya yang oleh legalitas itu serta mewadahi, menampung kepercayan dari pada rakyat. Dengan sendirinya ini akan sangat tergantung pula kepada susunan dan struktur dari pada kehidupan politik dari partai politik dan golongan karya.

Saudara-saudara sekalian,

DALAM rangka usaha menyempurnakan kehidupan politik, sebenarnya juga telah ditentukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat sejak lahirnya dari pada Orde Baru yang ditugaskan kepada saya untuk melakukan penyederhanaan dari pada partai politik.

Kita mendapatkan warisan pada waktu itu adalah sembilan partai politik dan satu sekber golkar yang belum berfungsi sebagaimana sekarang ini. Dari sembilan partai politik dan satu golongan karya yang sangat dipengaruhi dalam rangka perjuangannya dengan berlain-lainan dari pada ideologi, ternyata membawa pengkotak-kotakan, sehingga untuk membina persatuan dan kesatuan, ditugaskan oleh MPRS pada waktu itu kepada saya untuk melaksanakan penyederhanaan dari pada kehidupan partai politik.

Apa yang harus kita lakukan dengan sendirinya juga didasarkan kepada konsensus semula, bahwasanya kita ingin kembali kepada Pancasila sebagai ideologi negara, yang berarti pula hendaknya supaya pengelompokan kekuatan sosial politik kita hanya didasarkan kepada satu azas dan satu ideologi ialah Pancasila itu sendiri.

Kemudian pengelompokannya tidak didasarkan kepada ideologi, tetapi satu ideologi; tinggal kita mengelompokkan kekuatan itu untuk mencapai dari pada cita­cita kita, ialah masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila, yang berarti pula menyangkut dari pada segala segi kehidupan dari manusia Indonesia; manusia Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan, percaya kepada Tuhan sebagai penciptanya dan kita memiliki kodrat sifat yang tidak bisa dihindarkan atau dihilangkan, pertama kali ialah sifat kodrat manusia sebagai mahluk dari pada Tuhan ialah sifat individu dan makhluk sosial, sifat kehidupan dari pada manusia yang tidak bisa dilepaskan dari pada kebutuhan hidupnya yang materiil sepirituil dan juga dari pada hidupnya di dunia dan akhirat.

Karena itulah kita musyawarahkan, dan semua kekuatan sosial politik hendaknya dari pada penyederhanaan partai politik dikelompokkan pada kekuatan yang memperhatikan kepada kebutuhan hidup manusia menuju cita-cita masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila; ialah kebutuhan materiil dan spiritul, sprituil materiil dan kemudian keseimbangan dari pada materiil-spirituil, sehingga pengelompokan itu hanya ada tiga di sampingnya ABRl sebagai kekuatan sosial politk. Dan ini pula memperoleh konsensus dari pada keseluruhannya, hanya pelaksanaannya ternyata adalah lebih alot atau memang tidak mudah, sehingga kita menyaksikan pada pemilihan umum tahun 1970 belum pula terwujud. Pemilihan umum tahun 1971 masih nampak dengan tanda gambar sepuluh, sembilan partai dan satu partai golongan karya.

Tapi setelah pemilihan umum itu selesai, kemudian bisakita arahkan pembawaan pada pengelompokan, ialah dengan melaksanakan pembentukan fraksi-fraksi dalam DPR maupun juga di MPR sebagaimana fraksi yang sekarang ini ada, ialah fraksi PPP, fraksi PDI, dan fraksi Golongan Karya di samping fraksi ABRl itu sendiri.

Setelah pemilihan umum tahun 1971, kemudian Sidang Umum MPR yang menugaskan juga kepada saya, mengulangi dari pada tugas yang terdahulu agar upaya benar-benar penyederhanaan dari pada partai politik itu diwujudkan.

Oleh karena itu terus-menerus kita usahakan dengan musyawarah sehingga baru akhirnya tahun 1975 terwujudlah Undang-undang Kepartaian dan Golongan Karya sebagaimana yang sekarang ini.

Hanya kenyataannya bahwa salah satu konsensus yang memang kita perjuangkan agar supaya semua partai politik atau golongan karya itu mendasarkan kepada satu ideologi ialah Pancasila nyatanya belum berhasil, sehingga masih ada dari pada kekuatan partai politik untuk menambahkan di sampingnya azas Pancasila juga azas lainnya.

Ini tentunya sangat menunjukkan tanda-tanya kepada kita apa sebabnya mereka belum lagi mempercayainya sepenuhnya Pancasila sebagai satu ideologi. Akan tetapi karena pengembangan demokrasi terpaksa juga kita harus terima sambil berusaha untuk menyadarkan dari pada keseluruhannya.

Karena itulah dari pada pengembangan pembentukan Undang-undang Kepartaian dan Golongan Karya sampai kepada pelaksanaan Sidang Umum MPR masih membuktikan pula akan keragu-raguan dari pada Pancasila, terutama proses dari pada Ketetapan MPR No.2 mengenai Pedoman penghayatan dan Pengamalan Pancasila, sampai kepada walkout. Begitu pula dari pada penyelesaian Undang-undang Pemilihan Umum, perubahan atau perbaikan Undang-undang Pemilihan Umum yang akhir-akhir ini masih juga belum menampakkan dari pada usaha bersama dan kesepakatan kita dan ada yang walkout pun.

Ini semuanya harus paling tidak sedikit-sedikitnya menunjukkan atau meminta kepada kita akan kewaspadaan kita semuanya dalam rangka mengamankan Pancasila dan UUD 1945.

Yang saya harapkan, agar supaya segenap pengalaman yang telah kita capai selama Orde Baru sampai sekarang ini untuk dapat digunakan sebagai bekal untuk terus-menerus meningkatkan kewaspadaan kita demi keselamatan keamanan dari pada Pancasila dan UUD 1945, yang berarti pula demi suksesnya dari pada perjuangan kita mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila, lebih-lebih ini akan diteruskan kepada generasi muda, karena generasi-generasi 45 seperti kita, seperti saya sudah meninggalkan dari pada kedinasan ABRI, akan tetapi tetap pula kita masih merasa tidak terputus dari pada perjuangan ABRI karena menempatkan diri di dalam organisasi Pepabri, akan tetap mendukung perjuangan dari pada ABRI yang masih aktif dalam melaksanakan dwi fungsinya itu.

Kita tidak bermaksud untuk memusuhi dari pada partai golongan yang belum 100% percaya kepada Pancasila, tidak, akan tetapi kita wajib untuk membawanya sedemikian rupa, sehingga benar-benar keseluruhan dari pada kekuatan sosial politik hanya mendasarkan ideologi nasional kita ialah Pancasila, tidak ada tambahan­tambahan apapun juga.

Mudah-mudahan Saudara-saudara dalam gerak langkah pendekatan yang kita lakukan secara konstituaional dan demokratis, Saudara-saudara akan bisa turut-serta membawa mereka itu ke arah apa yang kita harapkan dan kalau itu bisa terwujud maka proklamasi yang mengantarkan kehidupan bangsa Indonesia ke gerbang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur itu pasti akan bisa terwujud.

Demikian, terima kasih atas perhatian dan kesabaran Saudara-saudara untuk mendengarkan tambahah uraian saya dari pada amanat yang tadi telah saya sampaikan. Terimakasih. (DTS)

Pekanbaru, Kompas

Sumber: KOMPAS (08/04/1980)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku V (1979-1980), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 851-858.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.