ANCAMAN PALING BAHAYA DARI DALAM NEGERI
Jakarta, Media Indonesia
Presiden Soeharto mengingatkan ancaman yang paling berbahaya saat ini datang dari dalam negeri sendiri, karenanya kewaspadaan nasional perlu terus ditingkatkan.
Untuk itu, Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 45 sebagai konstitusi jangan hanya dimengerti teorinya, tetapi harus diamalkan dan dihayati, kata Kepala Negara ketika menerima para peserta Penataran Kewaspadaan Nasional di Tapas Bogar kematin. Para peserta Penataran Kewaspadaan Nasional yang terdiri atas anggota organisasi kepemudaan dan mahasiswa dari berbagai daerah tersebut, pada kesempatan itu didampingi Menpora Akbar Tandjung.
Menurut Presiden, jika Pancasila dan UUD 45 tidak dihayati dan diamalkan, maka akan muncul orang-orang yang menyalahkannya dan memiliki pikiran serta altematif lain. “Jika mereka dibiarkan maka akan mengganggu stabilitas nasional yang sangat diperlukan sebagai prasyarat pembangunan.”
Karena itu, kata Kepala Negara, setiap warga negara harus kuat menyakini Pancasila dan UUD 45, sedangkan kepada mereka yang belum yakin harus diyakinkan agar benar-benar mengetahui hak dan kewajibannya sebagai WNI. Jadi, tandas Presiden, Jangan sampai mereka yang belum mengerti itu menilai Pancasila dan UUD 45 salah, kemudian ingin melemparkan gagasan yang diperolehnya dari negara dan bangsa lain.
Selanjutnya Presiden mengatakan sebagai usaha mengisi kemerdekaan. Trilogi Pembangunan yang berisi stabilitas nasional pertumbuhan dan pemerataan tidak bisa dipisahkan. Sebab, jelasnya, bangsa yang tidak bisa menjamin stabilitas nasional baik dari segi Ideologi politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan maka bangsa itu tidak mungkin bisa membangun.
Jadi kata Kepala Negara, hanya dengan stabilitas nasional bangsa Indonesia bisa membangun, sehingga mencapai pertumbuhan ekonomi yang dapat memperbaiki taraf hidup rakyat melalui pemerataan. Karena tambah Presiden, cita-cita bangsa Indonesia adalah menjadi masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila di mana di dalamnya harus ada adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan. Kalau untuk adil saja memang gampang yaitu dengan membagi kemiskinan. “Semua miskin, makan dalam satu mangkuk, tetapi ini kan tidak makmur.” Namun, kata Presiden, yang susah adalah mencari makmumya dan ini bisa dicapai dengan membangun yang tidak bisa diperoleh dalam waktu singkat.
Sumber : MEDIA INDONESIA (03/02/1992)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 74-75.