PRESIDEN: “ANGGAPAN TIDAK ADA DEMOKRASI INDONESIA MENYESATKAN!” [1]
Jakarta, Antara
Anggapan sementara orang bahwa tidak ada demokrasi atau hukum diabaikan di Indonesia sekarang ini adalah jelas tidak benar dan menyesatkan, demikian Presiden Soeharto menegaskan dalam sambutannya pada upacara Hari Ibu, 22 Desember, di Balai Sidang Senayan, Kamis pagi.
Kepala Negara mengakui bahwa demokrasi dan kehidupan konstitusionil yang sehat memang masih harus ditumbuhkan untuk menggariskan kehidupan politik.
“Kita tidak ragu2 mengatakan bahwa kewibawaan hukum masih harus kita mantapkan,” katanya tegas.
Tentang timbulnya pendapat yang berbeda2 mengenai berbagai masalah akhir2 ini, Presiden mengatakan bahwa hal itu justru merupakan tanda bahwa demokrasi ada di negeri ini.
“Yang penting adalah bagaimana kita semua dapat menahan diri, agar perbedaan pendapat itu tidak diruncing-runcingkan dan menjurus ke arah perpecahan bangsa,” katanya.
Pertumbuhan kehidupan konstitusionil yang makin sehat, antara lain tampak jelas dengan pelaksanaan fungsi DPR dalam pembahasan Undang2 dan RAPBN setiap tahun, adanya rapat2 antara DPR dan Pemerintah serta persiapan2 yang gegap gempita di BP MPR dalam rangka persiapan Sidang Umum MPR bulan Maret mendatang, ia menambahkan.
Tentang usaha penegakan hukum, Presiden menyebutkan adanya aneka ragam sidang pengadilan, termasuk perkara2 untuk menggugat aparatur Pemerintah oleh masyarakat.
Ia mengingatkan bahwa tumbuhnya demokrasi yang sehat, pelaksanaan kehidupan konstitusionil yang kuat dan tegaknya hukum memang merupakan proses tersendiri yang memakan waktu dan sama sekali bukan barang yang sekali jadi.
“Kita akan terus mengusahakan itu seirama dengan pelaksanaan pembangunan nasional itu sendiri. Dan itu semua juga memerlukan kesadaran dan partisipasi masyarakat yang sewajamya,” kata Presiden.
lmpian Siang Bolong
Presiden mengakui bahwa sekalipun keadaan sekarang sudah lebih baik daripada sebelum Repelita I, namun masih ada masalah2 sosial yang harus lebih cepat diatasi, seperti kesempatan kerja, transmigrasi, pendidikan, perumahan dan kesehatan.
Masalah2 itu merupakan masalah2 besar yang tidak mungkin diatasi hanya dalam satu atau dua kali Repelita saja, kata Presiden sambil mengingatkan bahwa GBHN sendiri sudah membayangkan bahwa landasan bagi masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila barulah akan dapat diletakkan setelah 5 – 6 kali Repelita.
Tentang adanya perasaan bahwa hidup sekarang ini terasa lebih berat, Kepala Negara menjelaskan hal itu antara lain disebabkan karena kebutuhan2 yang makin besar dari pada apa yang dapat kita hasilkan. Apa yang dahulu tidak terasa sebagai kebutuhan kini menjadi kebutuhan hidup dan kebutuhan baru itu, menurut Presiden, justru lahir oleh kemajuan2 pembangunan. Ia minta kesadaran masyarakat mengenai apa yang belum mungkin dicapai dalam satu tahap.
“Mengharapkan terwujudnya keadilan sosial sekarang inijuga misalnya, sama halnya dengan impian kosong di siang hari bolong,” kata Presiden tegas sambil minta agar masyarakat tidak menyesatkan pikirannya sendiri dengan hal2 yang bukan2 dan tidak masuk akal.
Peranan Wanita Diperlukan
Kepala Negara menyatakan bahwa dalam menggarap masalah2 pembangunan yang akan datang peranan kaum wanita sangat diperlukan.
“Sungguh, kaum wanita memiliki kemampuan dan peranan yang besar dalam meneruskan pembangunan dan membuat pembangunan itu berhasil,” katanya.
Presiden juga menunjuk pentingnya peranan kaum ibu dalam membimbing dan membidik anak dalam masyarakat modern yang penuh dengan perobahan yang cepat dan pengaruh yang kurang baik dari derasnya kemajuan sekarang ini.
Ditegaskannya banyak masalah pembangunan, terutama pembangunan sosial, yang hanya mungkin terlaksana jika kaum wanita berperanan lebih besar.
“Sadar akan hal itulah, maka dalam rancangan Garis2 Besar Haluan Negara yang saya ajukan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, saya pertimbangkan kepada majelis agar lebih ditegaskan lagi mengenai peranan wanita dalam pembangunan dan pembinaan bangsa,” kata Presiden.
Hadir dalam upacara peringatan itu sekitar 5.000 wanita yang mewakili berbagai organisasi wanita dengan pakaiannya yang berwarna-warni.
Dalam deretan kursi Presiden tampak hadir Ny. Tien Soeharto, Ny. Nelly Adam Malik, Mensesneg Sudharmono dan Menteri Kesra Prof. Dr. Sunawar Sukowati. (DTS)
Sumber : ANTARA (22/12/1977)
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku IV (1976-1978), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 429-431.