ANTARA DUA DAN TIGA: PRESIDEN SOEHARTO [1]
Djakarta, Harian Kami
Meriam2 letupan politik jang selama 3 bulan terachir kehabisan amunisi karena, kemenangan mutlak Golkar dalam pemilu, rupanja perlu ditembakkan kembaii mendjelang pelantikan DPR baru tgl 28 Oktober jad. Bermula pada keterangan Ali Murtopo tentang dua partai di Djawa Tengah, diperkuat oleh pernjataan Mendagri Amirmachmud di Lampung dan mentjapai puntjaknja di istana Merdeka dalam bentuk pertemuan2 marathon.
Tidak djelas konsepsi “dua partai” jang dimovekan Ali Murtopo ataupun Amirmachmud, tetapi tjukup kuat daja rangsangnja untuk membangun dunia jang tertidur. Bermuntjulah reaksi2 jang tidak seragam, tergantung nada “gigi” jang dimiliki tiap parpol, ditentukan oleh posisi jang ingin ditempati parpol2 tersebut. Suara2 Murba atau IPKI djelas tidak bisa sama dengan NU.
Ataupun PNI jang hanya memperoleh 20 kursi di DPR, tidak mungkin bersikap keras seperti terkesan dari reaksi2 NU. Rupanya rentjana penjederhaan mendjadi dua partai dianggap oleh parpol terlalu radikal dan bertolak dari anggapan ini Presiden dalam pertemuan mendadaknja dengan pimpinan2 parpol dan Golkar mengusulkan djalan tengah hanja tiga bendera jang keluar dalam pemilu 1976 jad. Dan persetudjuan terhadap ini harus sudah ditundjukan oleh djurnlah fraksi di DPR jad, jang oleh Presiden diusulkan empat buah masing2 4 fraksi ABRI, Golkar, Persatuan Pembangunan dan Demokrasi Pembangunan. Sebagai perangsang, Presiden mendjanjikan djabatan Ketua DPR untuk parpol dan tiap fraksi memperoleh satu kursi Wakil Ketua DPR. Dengan demikian diharapkan bahwa pemilu 1976 jad hanja akan diikuti oleh Golkar, Persatuan Pembangunan (gabungan Parpol2 Islam) dan Demokrasi Pembangunan (gabungan PNI, IPKI, Murba, Katolik dan Parkindo).
Kalau kita menempati posisi2 parpol dalam menanggapi usul Presiden itu, sungguh suatu keadaan jang tidak begitu menjenangkan. Menolak usul tsb dengan alasan merupakan paksaan dari atas itu sama artinja dengan menggali liang kubur sendiri.
Sebab, bisa sadja dengan majoritas suara yang dimiliki Golkar, usul tsb digoalkan di forum DPR jad tanpa persetudjuan parpol2, melalui sistem voting. Sebaliknja, terutama bagi parpol2 besar, seperti NU, menerima usul Presiden jang sudah dikemukakan sedjak Pebruari 1970 itu, berarti mengurangi ruang geraknja sendiri, harus dibagi dengan parpol2 lainnja.
Pikir punya pikir, sementara waktu untuk itu hanja dua hari, sidang2 DPP tidak mungkin, maka parpol2 tidak bisa lain dan pada menerima usul tsb, meskipun biasanya disertai beberapa usul balasan kepada Presiden. Kalau begini terus tendens2nja, kita mendjadi sangat maklum, djika pada masa2 jad parpol2 hanya akan “nrimo” sadja semua usul Pemerintah, karena ketiadaan insiatif dari parpol2 sendiri. (DTS)
Sumber: KAMI (11/10/1971)
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku II (1968-1971), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 861-862.