ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN
Sekilas Tentang Pelaksanaan Inpres No. 10/1981
Oleh : Aswin Jusar (Wartawan Kompas)
Tunggakan kredit program massal dikhawatirkan makin membesar. Karena itu diterbitkanlah Instruksi Presiden (lnpres) No. 10 tahun 1981 tanggal 25 Juni 1981 yang ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertanian, Menteri Keuangan, Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara, Menteri Muda Urusan Produksi Pangan/Ketua Satuan Pengendalian Bimas, Menteri Muda Urusan Koperasi/Kepala Badan Urusan Logistik, Gubernur Bank Indonesia, Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan dan para Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I.
Dalam Inpres ini juga digariskan pembentukan Team Koordinasi Peningkatan Pengembalian Kredit Program Massal dengan Ketua/Koordinator merangkap anggota Sekretaris Operasional Pembangunan Solihin GP bersama 12 orang anggota lainnya dari instansi yang dibawahi oleh pejabat tersebut diatas.
Tujuan Inpres ini adalah untuk meningkatkan usaha pengembalian kredit program massal secara menyeluruh dan terkoordinasi, baik dalam tugasnya masing-masing maupun dalam rangka kerjasama antar-Departemen/Instansi.
Kredit program massal ini meliputi 263 macam, tetapi Inpres No. 10 tahun 1981 hanya ditujukan kepada 10 macam jenis kredit, yaitu kredit Bimas/Inmas padi dan palawija, kredit tebu rakyat intensifikasi (TRI), kredit intensifikasi lada, cengkeh dan kopi, kredit panca usaha ternak potong (PUTP) untuk sapi bibit dan sapi kereman, kredit intensifikasi ternak ayam daging (broiler) dan petelur, kredit pengadaan pangan, kredit koperasi Unit Desa (KUD) untuk gudang yang lantai jemur kredit traktor, kredit perikanan rakyat dan kredit pencetakan sawah.
Posisi kesepuluh macam kredit itu pada tanggal 31 Mei 1981 adalah Rp. 250,2 miliyar, termasuk kredit lancar Rp. 126,9 miliyar. Kredit lancar itu tidak termasuk dalam tugas Team Koordinasi Peningkatan Pengembalian Kredit
Program Massal, karena Bank Rakyat Indonesia (BRI) sebagai pemberi kredrt mampu mengatasinya. Yang menjadi tugas Team adalah kredit kurang lancar, kredit diragukan clan kredit macet yang semuanya berjumlah Rp. 123,3 miliyar pada akhir Mei 1981.
Yang dimaksud dengan kredit kurang lancar adalah sisa kredit yang sudah jatuh tempo dengan bunga tetap diperhitungkan. Kredit diragukan adalah sisa kredit yang sudah jatuh tempo dan perhitungan bunga sudah dihentikan. Sedangkan kredit macet adalah sisa kredit yang pembayarannya kembali hampir tidak bisa diharapkan lagi.
Posisi kredit tersebut dapat berubah setiap waktu, artinya kalau kredit yang direalisir BRI bertambah, makajumlahnya akan membesar dan kalau pembayaran kredit bertambah besar, maka jumlah sisa akan mengecil.
PADA tanggal 28 Juli lalu, Team Koordinasi Peningkatan Pengembalian Kredit Program Massal di bawah pimpinan Solihin GP mengadakan pertemuan dengan Gubernur/KDH Sumatera Utara dan Bupati/Walikotamadya sedaerah untuk menyebarluaskan informasi (conditioning) tentang gerakan pengembalian kredit tersebut.
Sebab, daerah Sumatera Utara adalah salah satu daerah penunggak yang besar yaitu Rp. 8.245.193.000 pada 15 Juli 1981, termasuk sisa kredit lancar Rp. 2.389.248.000. Dengan demikian tugas Team hanya untuk pengembalian kredit kurang lancar, diragukan dan macet berjumlah Rp. 5.843.792.000, untuk Sumatera Utara.
Semula Solihin GP bermaksud untuk mengikut-sertakan wartawan dari Jakarta dalam pertemuan tersebut agar informasi didapat wartawan sebanyak mungkin dengan catatan hanya sebagai latar belakang saja. Tetapi Gubernur/KDH Sumatera Utara EWP Tambunan tidak bersedia kalau wartawan menghadiri pertemuan dengan alasan, khawatir wartawan daerah mengetahui dan khawatir bahwa pejabat tidak bersedia bicara secara terbuka.
Dilain pihak, Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH) Emil Salim pernah menekankan bahwa keterbukaan merupakan salah satu usaha dalam pelaksanaan pengawasan pembangunan.
Keesokan harinya tanggal 29 Juli rombongan Solihin GP mengadakan pertemuan dengan petani di Desa Karang Anyar, Kecamatan Lubuk Pakam, Kabupaten Deli Serdang.
Menurut Bupati Deli Serdang Tenteng Ginting, jumlah kredit yang disalurkan didaerahnya mencapai Rp. 3.323.342.000 sedangkan sisa kredit di kabupaten ini tercatat Rp. 746.000.000 dan dari jumlah ini Rp. 224 juta diantaranya dinyatakan “Puso” sehingga sisa kredit yang harus dikembalikan secara bertahap adalah Rp. 520 juta.
Berbagai sebab mengakibatkan menunggak seperti padinya tertanda banjir dan juga rusak hanya 80% atau di bawah 85%, sebagai syarat untuk dinyatakan “puso”.
Dengan Bimas dan Inmas penghasilan petani di Kabupaten Deli Serdang rnemang meningkat. Bupati Tenteng Ginting menunjuk kepada jumlah orang yang naik haji dari daerahnya sebagai indikasi peningkatan penghasilan petani ini.
Kalau pada tahun 1979 hanya 90 orang yang naik haji dari Kabupaten Deli Serdang, maka pada tahun 1980jumlahnya meningkat menjadi 165 orang.
“Apakah ini bukan suatu bukti meningkatnya penghasilan petani,” tanya Tenteng Ginting.
DALAM pertemuan dengan para petani di Desa Karang Anyar tersebut, Solihin GP mencoba meyakinkan petani agar segera melunasi kredit yang diterimanya dari BRI. Bahkan Solihin GP menyatakan bahwa usaha pengembalian kredit program rnassal ini merupakan salah satu usaha penegakan hukum disiplin nasional. Tetapi ada faktor lain, mengapa petani belum melunasi kredit yang diterimanya seperti yang dikemukakan oleh Tumijo, seorang petani yang menjadi Kepala Desa Karang Anyar.
Dalam kesempatan tanya-jawab dengan Solihin GP, Tumijo mengatakan bahwa ada petani yang tidak mampu mengembalikan kredit karena hasil padinya habis untuk dimakan.
Menurut catatan dari seluruh sisa kredit program massal yang berjumlah Rp. 5.834.792.000 di daerah Sumatera Utara, 95,87% berada ditangan petani dan hanya 4,33% yang berada di tangan pejabat/petugas BRI Unit Desa dan areal serta petani fiktif.
Seorang petani di Desa Karang Anyar mengatakan kepada saya bahwa pada umumnya petani yang memiliki tanah atau sawah luas, tidak ada yang menunggak. Petani yang menunggak adalah petani yang mempunyai keluarga besar dan memiliki sawah kurang dari satu hektar. Karena itu petani bersangkutan tidak mampu membayar kredit yang diterimanya.
“sebab semua hasil pertaniannya habis untuk dimakan sekeluarga,” kata seorang petani yang berasal dari Jawa.
Seorang petani lainnya yang saya tanyai mengatakan apapun yang dilakukan terhadapnya oleh pejabat Pemerintah, ia pasrah menerimanya. Sebab tunggakannya sudah cukup banyak karena sawahnya kurang dari 0,5 hektar, sedangkan jumlah keluarga yang menjadi tanggungannya 12 orang.
“Saya tidak mampu membayarnya, kecuali kalau petugas langsung minta tunggakan itu dengan mengambil padi begitu saya panen,” kata petani yang tidak bersedia disebut namanya.
Jumlah petani sernacam ini cukup banyak di Indonesia. Bahkan, menurut hasil pencacahan lengkap Sensus Penduduk 1980, petani yang memiliki sawah di bawah 0,25 hektar berjumlah 4.416.909 yang memiliki 0,25 hektar sampai 0,5 hektar berjumlah 9.497.396 dan yang memiliki di atas 0,5 hektar berjumlah 4.935.162 selain itu di seluruh Indonesia terdapat pula buruh tani sebanyak 7.230.741 orang.
Karena itu ada yang mengatakan bahwa kredit Bimas/Inmas tersebut lebih menguntungkan petani yang memiliki sawah luas. Sebab harga pupuk dalam paket kredit Bimas/Inmas itu hanya Rp.70 per kg sedang harga produksinya lebih dari Rp. 200,-.
Begitu pula pestisida dijual kepada petani hanya Rp. 1.250 per liter sedang harga beli mencapai Rp. 6.000 sebaliknya petani “gurem” atau petani yang memiliki sawah dibawah 0,25 hektar tetap dapat menikmatinya. Tetapi karena jumlah tanggungan berupa keluarga yang besar kemampuan untuk mengembalikan kredit kurang lancar.
Untuk ini ada pendapat yang mengatakan sebaiknya Pemerintah memberikan fasilitas lain kepada petani “gurem” atau petani yang memiliki sawah dibawah 0,25 hektar tersebut. Bahkan pendapat untuk mengklasifikasikan petani telah dikemukakan dalam
Mengenai pembangunan pertanian Indonesia dalam buku ini disebutkan bahwa permasalahan tunggakan kredit menunjukkan tendensi akan bertambah dan ada indikasi bahwa pelayanan kredit ini perannya kecil dalam pertumbuhan “output” nasional dan kemajuan petani kecil.
Melihat kenyataan iniharus ditemukan dan diterima suatu sistim yang lebih efektif mengenai pemberian kredit kepada petani kecil. Selain itu petani harus diklasifikasikan kedalam kategori petani besar, petani menengah dan petani kecil.
Sejumlah ukuran seperti cara melaksanakan pertanian tingkat pendapatan, tingkat teknologi yang digunakan dan organisasi pelaksanaannya dapat digunakan untuk menentukan klasifikasi petani tersebut.
Untuk memperbaiki sistem kredit diperlukan sebagai prasyarat, suatu organisasi kredit yang dipercaya, yang dapat mengembangkan kapasitasnya untuk mencapai sebanyak mungkin petani kecil dan meningkatkan penggunaan yang efektif oleh petani kecil tersebut atas pinjaman yang diterimanya.
Tiap kantor BRI Unit Desa melayani 2.000 smnpai 4.000 petani, yang secara bersama menggarap 600 sampai 2.000 hektar sawah. Selain itu perlu pula ditinjau teknologi pertanian yang digunakan, harga dan kebijaksanaan pemasaran serta bentuk dan tipe kredit.
Dengan demikian jelas, bahwa ada hal yang lebih mendasar untuk ditangani di balik makin membesarnya sisa kredit program massal tersebut, tanpa mengenyampingkan keberhasilan Inpres No. 10 tahun 1981 ini. Sebab dalam tim Koordinasi Pengembalian Kredit Program Massal ini terdapat wakil dari Kopkamtib dan Kejaksaan Agung. Nama kedua instansi ini cukup “ditakuti” oleh masyarakat, apalagi oleh masyarakat petani di pedesaan.
Masalah yang mendasar itu adalah struktur pemilikan tanah di Indonesia, peningkatan pengetahuan kaum tani tentang cara pertanian yang lebih menguntungkan dan diversifikasi pertanian serta lapangan kerja, kesemuanya itu jelas tidak bisa diciptakan dalam sekejap mata. (DTS)
…
Jakarta, Kompas
Sumber: KOMPAS (10/08/1981)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku VI (1981-1982), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 407-411.