ANTARA INDONESIA DAN MALAYSIA:
PERKEMBANGAN PERANAN ANGKATAN BERSENDJATA [1]
Jakarta, Angkatan Bersendjata
MESKIPUN belum puas, mereka dapat djuga menerima keterangan saja mengenai dwifungsi Angkatan Bersendjata Indonesia. Tetapi lalu mengadjukan pertanjaan landjutan, berdasarkan keterangan saja tadi.
Dapat saja terima adanja dwifungsi ABRI dimasa lampau. Chususnja dimasa “perang kemerdekaan” jang oleh pemimpin2 Indonesia dinamakan masa “revolusi fisik” atau “revolusi bersendjata”. Tetapi bagaimanakah dwifungsi itu terus dilakukan, sampai sekarang ini djuga? Tidakkah mestinja sudah berachir dalam tahun 1959 dulu? Jakni sesudah pengakuan kedaulatan oleh Belanda atau sesudah RIS dibubarkan diganti dgn. Negara Kesatuan? Demikianlah pertanjaannja lebih landjut, jang bernada membantah keterangan saja tadi.
Untuk mendjawab pertanjaannja lebih landjut diatas saja tjeriterakan sedjarahnja. Sedjarah perkembangan peranan Angkatan Bersendjata Indonesia jang hingga kini masih djuga melakukan dwifungsinja tadi.
LEBIH dulu saja sampaikan sambutan bahwa pemikiran jang melahirkan pertanjaan diatas adalah umum. Tidak sadja politisi luar negeri (termasuk politisi Malaysia) jang mempunjai pemikiran demikian tadi, melainkan djuga politisi Indonesia sendiri, dikala itu. Jakni mestinja, sesudah pengakuan kedaulatan oleh Belanda dan dunia internasional achir tahun 1919 atau sesudah RIS dirubah mendjadi Negara Kesatuan RI bulan Agustus 1950.-dwifungsi Angkatan Bersendjata tadi diachir singkatnja sesudah “perang kemerdekaan” berachir.
Sebelum kedaulatan RI di akui oleh dunia internasional, para pemimpin Angkatan Bersendjata Indonesia adalah merupakan politisi djuga. Politisi jang memegang sendjata. Sesudah kedaulatan diakui, hendaknja para politisi bersendjata tadi memilih salah satu fungsinja. Jakni fungsi sebagai politisi. Tidak boleh kedua fungsi tadi terus dirangkap!
Pemikiran jg demikian tadi adalah tepat, berdasarkan teori kenegaraan, jang mengadakan pemisahan antara fungsi sosial politik dan fungsi pertahanan keamanan. Memisahkan antara tugas politisi dan tugas para djenderal. Angkatan Bersendjata hendaknja hanja mendjadi alat Negara, untuk mendjalankan fungsi pertahanan keamanan tadi, tidak boleh mendjalankan fungsi politik. Fungsi politik diserahkan kepada politisi. Singkatnja, Angkatan Bersendjata hendaknja hanja mendjadi “alat mati” dari para politisi.
Pemikiran jang umum diatas hanja didasarkan pada teori kenegaraan sebagaimana hendaknja. Tidak didasarkan pada kenjataan jang sebenarnja disesuatu negeri, chususnja di-negara2 jang baru bangun dari kantjah sesuatu revolusi. Djuga tidak didasarkan pada kenjataan Indonesia jang sebenarnja, sampai sekarang ini.
Para politisi Indonesia, chusunja partai2, pada tahun2 1950-an dulu melupakan kenjataan jang sebenarnja tadi. Dan karena kekeliruan para politisi pada tahun2 1950-an itulah, maka perkembangan djalan politik mendjadi kurang sehat dan ber-larut2 sampai sekarang ini.
Tidak setiap orang politik jang tampil kedepan pada waktu itu adalah pedjuang jg. konsekwen dimasa “revolusi fisik”, atau dimasa “perang kemerdekaan”. Tetapi sesudah “perang kemerdekaan” selesai kamu politisi itu merasa seakan2 mendapatkan warisan kemerdekaan dari nenek-mojang-nja sendiri, dan melupakan pedjuang2 bersendjata jg melakukan peranan utama serta berdjasa dalam mewudjudkan kemerdekaan. Mereka ini hendak diperlakukan sebagai “alat mati” sadja. Segala sesuatunja hendak diputuskan oleh para politisi itu sendiri, tidak mendengarkan suara2 dari lingkungan Angkatan Bersendjata. Keinginan jang demikian tadi tertjermin dalarn DPR Sementara dikala itu, jg semua anggotanja terdiri dari wakil2 partai, tidak ada jg mewakili Angkatan Bersendjata, atau mewakili badan2 perdjuangan lainnja.
***
SEUMPAMA kaum politis (batja : partai2) jg sudah memegang kekuasaan dikala itu, baik dibidang legislatif maupun dibidang eksekutif, bertindak tepat sesuai dengan kepentingan bangsa jang baru sadja mendapatkan kembali kemerdekaanja (dengan pengakuan dunia intemasional).-kiranja tidak akan timbul problema2 disekitar berlakunja dwifungsi Angkatan Bersendjata sarnpai sekarang ini.
Tetapi kenjataanja tidak demikian, partai2 tadi sesudah memegang kekuasaan (batja : hak menentukan kebidjaksanaan Negara serta melaksanakannja) bertindak tidak sesuai dengan kepentingan bangsa dan Negara, hak2nja dipergunakan untuk mempertentangkan ideologi Negara, sedang kekuasaannja dipergunakan untuk kepentingan pribadi atau golongan sendiri, kedudukan diperebutkan. Bukan untuk mengabdikan diri kepada masjarakat, melainkan untuk kepentingan pribadi atau golongan (batja djuga : partai) sendiri.
Akibatnja keritjuhan. Pemerintahan jang stabil tidak dapat diwujudkan. Sedang kepentingan masjarakat terabaikan, jang terfikir hanja kepentingan golongan jang dekat pada pemegang kekuasaan.
Djadi disamping melupakan peranan Angkatan Bersendjata jang telah berdjasa mewudjudkan kemerdekaan, melupakan pula kepentingan masjarakat dalam keseluruhannja. Jg teringat hanja kepentingan pribadi dan golongan sendiri. Kedudukan dan kekuasaan diperebutkan !
Maka lalu timbullah reaksi dari kalangan Angkatan Bersendjata, jakni apa jang terkenal dengan sebutan “peristiwa 17 Oktober 1952”.
Reaksi kalangan Angkatan Bersendjata bulan Oktober ’52 tidak didjadikan peladjaran oleh para politisi (partai2). Sesudah dapat diredakan, para politisi melandjutkan perebutan kekuasaan dan kedudukan untuk partainja masing2. Sedang Angkatan Bersendjata tetap dianggapnja sebagai “alat mati” belaka, jang harus: Hanja patuh mendjalankan perintah kaum politisi jang memegang kekuasaan. Akibatnja stabilitas politik tidak dapat diwudjudkan.
***
TAHUN 1953 diadakan pemilihan umum, berdasarkan Undang2 Pemilu thn. 1953 jang dianggap tjukup demokratis.
Tahun 1956 dibentuk pemerintahan berdasarkan hasil pemilihan umum.
Harapannja stabilisasi politik akan segera terwudjud. Tetapi bagaimana djadinja?
Sama sadja ! Bahkan lebih buruk. Dan makin lama makin memburuk. Achirnja hantjurlah segala hasil pemilihan umum tadi. Bukan karena dihantjurkan dari luar melainkan hantjur sendiri dari dlm jakni dari pertingkah (perbuatan) partai2 jang berhak memegang kekuasaan itu sendiri, baik dibidang legislatif maupun dibidang eksekutif.
Pemerintahan jang dibentuk berdasarkan hasil pemilihan umum, ketjuali tidak dapat bekerdja serasi, djuga tidak mempunjai wibawa keluar, chususnja terhadap kalangan Angkatan Bersendjata. Maka lalu timbullah pemberontakan di daerah2 jang tulang punggungnja adalah kalangan Angkatan Bersendjata.
Dapatlah dinjatakan bahwa partai2 lalu tidak dapat lagi memerintah kekuasaan eksekutif (meskipun berdasarkan UUDS jang mempergunakan sistem Kabinet Parlementer) bergeser ketangan Presiden. Jaitu ketangan Presiden Sukarno, sebab dikala itu Wakil Presiden Hatta telah mengundurkan diri.
Bukan karena Presiden Sukarno kuat, melainkan karena partai2 tadi lemah. Merasa tidak mampu. Lalu menjerahkan kekuasaannja kepada Presiden Sukarno, jang dianggapnja kuat untuk didjadikan gandulan (tempat berlindung).
Djadi kekuasaan DPR hasil pemilihan umum beserta Kabinet parlementernja sudah bergeser ketangan Presiden karena kelemahanja. Bagaimana dengan konstituantenja, jang djuga hasil pemilihan umum? Konstituantenja pun demikian djuga. Tidak dapat bekerdja menunaikan tugas membuat UUD. Achirnja dibubarkan oleh Presiden Sukarno, sedang UUD jang mestinja dibuat oleh Konstituante itu didekritkan sadja oleh Presiden Sukarno, jaitu UUD 1945 jang berlaku sedjak 5 Djuli 1939 sampai sekarang ini.
MENGAPA terdjadi jang demikian tadi?
Salah satu sebab utamanja adalah karena kaum politisi (batja partai2) jang berdasarkan hasil pemilihan umum mestinja berkuasa, melupakan peranan kalangan Angkatan Bersendjata. Sebab jang lain adalah ketamakan partai2 tadi jang melupakan kepentingan masjarakat dalam keseluruhannja.
Lalu mengapa Presiden Sukarno dapat memegang kekuasaan tunggal begitu lama? Bahkan tadinja makin lama makin nampak lebih besar kekuasaannja? Meskipun tjaranja memegang kekuasaan tidak menguntungkan rakjat kebanjakan?
Pokoknja karena Presiden Sukarno mempunjai ketjakapan untuk mentjari keseimbangan kekuatan. Dan jang terpenting karena Presiden Sukarno mengerti djuga peranan kalangan Angkatan Bersendjata jg dilupakan oleh partai2 tadi.
Karena partai2 telah gagal dalam pemerintahan, maka sesudah Presiden Sukarno berkuasa, jang diangkat mendjadi Perdana Menteri (berdasarkan UUDS tahun 1950) bukan orang partai. Dan disamping itu kalangan Angkatan Bersendjata diberi tempat djuga dalam lingkungan pemerintahan dan djabatan2 negara non-militer.
Lebih2 sesudah Dektrit 5 Djuli 1959. Tidak sadja diberi kedudukan dalam Pemerintahan, melainkan anggota Angkatan Bersendjata itu diberi kedudukan pula dalam badan2 perwakilan/permusjawaratan, chususnja dalam DPR-GR dan MPRS.
Kekuatan sosial-politik lalu dipisahkan mendjadi dua. Jakni jang dinamakan golongan politik (terdiri dari partai2) dan golongan karya (terdiri dari ABRI dan organisasi2 non-partai)
Demikianlah. Djadi sedjak Presiden Sukarno memegang kekuasaan tunggal, diakuilah peranan Angkatan Bersendjata kita itu. Tidak sadja sebagai kekuatan pertahanan-keamanan melainkan djuga sebagai kekuatan social – politik. (DTS)
Sumber: ANGKATAN BERSENDJATA (07/05/1969)
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku II (1968-1971), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 359-362.