ANTARA MASHURI DAN SUMRAHADI

ANTARA MASHURI DAN SUMRAHADI

Belakangan ini melalui mass media kita mendapat kesan bahwa antara Pak Mashuri SH dengan Pak Sumrahadi Partohadiputro dari Pimpinan DPR RI ada perbedaan pendapat mengenai arus dukungan masyarakat pada Pak Harto sebagai Bapak Pembangunan dan calon untuk Presiden sesudah Pemilu 1982.

Pak Mashuri SH berpendapat bahwa arus dukungan dari masarakat itu hendaknya direm, sebab dikhawatirkan pengalaman pahit zaman Orde Lama akan berulang, lagi pula Pak Harto sendiri yang dikenalnya secara pribadi tentu kurang sreg melihat dukungan2 yang berulang ulang yang bahkan dapat menimbulkan perasaan risi.

Pak Sumrahadi sebaliknya berpendapat bahwa dukungan2 rakyat itu jangan direm, sebab situasinya berbeda dengan situasi Orde Lama dulu.

Pak Mashuri SH adalah Ketua RT pada saat Pak Harto (Presiden sekarang) menjabat sebagai Ketua RW-nya sehingga keduanya terlibat langsung pada saat yang sama di tempat/wilayah yang sama tatkala terjadi peristiwa G-30-S/PKI tahun 1965.

Sehingga sejak itu hubungan yang dekat antara Pak Mashuri dengan Presiden Suharto membuat dia mengenal betul kepribadian Presiden kita itu. Sebaliknya Pak Sumrahadi adalah perwira tinggi ABRI yang juga tidak asing dengan Jenderal Suharto yang kini menjabat Presiden RI.

Dengan kata lain, kita mengenal kedua tokoh ini sebagai tokoh Orde Baru yang sama2 konsisten dalam membela UUD-1945 secara murni dan konsekuen. Tujuan kedua tokoh tersebut tentunya sama, hanya cara berpikirnya yang berlainan. Dan perbedaan pendapat seperti itu sebenarnya lumrah. Karena latar belakang budayanya berlainan sekalipun latar belakang politiknya tentu sama.

Oleh karena itu kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa kedua tokoh tersebut mempunyai itikad baik yang sama pula, baik terhadap Pak Harto Presiden kita, maupun terhadap perjuangan Orde Baru, yang kini mencapai tingkatan baru.

Dukungan2 rakyat kepada Bapak Suharto, perwira tinggi ABRI (Purnawirawan) yang kini menjabat Presiden Indonesia itu, yang tumbuh dan berkembang terus untuk menilai beliau sebagai BAPAK PEMBANGUNAN memang wajar.

Bukan sebagai aksi, melainkan sebagai reaksi terhadap adanya sementara orang politik yang bersuara sumbang seolah-olah pembangunan yang dilaksanakan Pemerintah Orde Baru selama ini gagal.

Kritik2 tajam dilancarkan dengan maksud rendah pada hasil pembangunan yang sudah berjalan belasan tahun ini. Pelita I, Pelita II dan Pelita III sudah separo jalan.

Suara2 negatif tersebut apabila tidak ditandingi dengan informasi yang wajar bahwa pembangunan kita tidak gagal melainkan menunjukkan hasil2 konkrit, mungkin sekali dalam proses propaganda akan berbalik sungguh2 menjadi opini umum yang mencela Orde Baru.

Dukungan Rakyat untuk menilai Pak Harto sebagai Bapak Pembangunan Nasional adalah hasil mekanisme sosial yang wajar, sebagai reaksi terhadap suara orang2 yang tidak mampu mensyukuri nikmat Allah SWT yang tidak mampu mensyukuri nikmat yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa kepada kita, bahwa sejak tahun 1966 kita telah diselamatkan dari bencana nasional bahaya G30S/PKI, dan diselamatkan dari sistem politik Orde Lama, yakni sistem partai banyak dengan demokrasi liberal maupun demokrasi terpimpin yang mengarah kepada diktatorisme Pemimpin-Besar-Revolusi-Presiden seumur hidup, sehingga Indonesia tambah lama tambah mendekati jurang kehancuran dibidang ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Berkat Orde Baru, maka pembangunan setahap demi setahap telah kita laksanakan, inflasi dapat direm dengan drastis pendapatan rakyat meningkat, lapangan kerja makin banyak (walaupun belum dapat sepenuhnya mengisi kekurangan karena jumlah tenaga kerja juga meningkat sangat cepat), sehingga ketahanan nasional kita makin tangguh di semua bidang dan sektor.

Kesadaran untuk membangun, di kalangan rakyat makin tumbuh dengan kuat Membangun makin berkembang sebagai kesadaran hidup, menjadi budaya bangsa kita.

Semua ini berkat Kepemimpinan Orde Baru yang selama inidi puncaknya berada dalam kepemimpinan Presiden Suharto. Karena itu memang wajar apabila rakyat mendukung penghargaan terhadap Pak Harto sebagai BAPAK PEMBANGUNAN NASIONAL.

Dengan kata lain, pada dasarnya tidak ada perbedaan prinsipil antara Pak Mashun dengan Pak Sumrahadi. (DTS)

Jakarta, Berita Buana

Sumber: BERITA BUANA

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku VI (1981-1982), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 318-319.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.