ANTARA SEREMONI YANG SERBA BESAR DAN LEMBUT
Catatan dari Kunjungan Presiden di Tiga Negara (I)
PENGANTAR REDAKSI: Wartawan Kompas R.B. Sugiantoro bersama dengan sejumlah wartawan lain dariJakarta dan daerah, diundang mengikuti kunjungan kenegaraan Presiden Soeharto ke lnggris, Sri Lanka dan Bangladesh tanggal 13-21 November lalu.
Berikut ini catatannya tentang kunjungan tersebut disajikan secara bersambung.
Entar kalau di sana tidak perlu minder. Mereka memang akan menyuguhkan "pageantry" yang merekamiliki dan pelihara selama ini. Semuanya serba bertata-warna dan sedap untuk dilihat.
Begitu kira-kira pesan Joop Ave, Ditjen dan Kepala Protokol RI kepada para wartawan yang mengikuti kunjungan kenegaraan Presiden Soeharto di tiga negara, dalam penerbangan dari Jakarta.
Untuk kunjungan itu, Joop memang bertugas menyiapkannya, berunding dengan rekan-rekan protokol dari tiga negara bersangkutan. Tapi tampaknya yang paling berat ialah dengan Kerajaan Inggris, yang orang-orangnya dikenal suka memegang teguh adat tradisionalnya. Semuanya harus dilakukan serba detail.
Pihak Kerajaan lnggris memang sengaja akan menyambut tamu dari Indonesia dengan segala kebesaran tatacara dan seremoni tradisionalnya. Sri Ratu Elizabeth ll rupanya masih merasakan hangatnya sambutan yang diterimanya di Indonesia tahun 1974, dan ia ingin membalasnya.
Dan gambaran pun dipenuhi berbagai bayangan tentang kereta kencana sinderela, prajurit kerajaan yang kayak boneka pajangan, jubah-jubah gombrong, sebutan kebangsawanan The Lord, Lady, Baroness dan seterusnya.
Tentu saja semua penghormatan dan seremoni itu tidak mungkin bila diterima dan dilaksanakan begitu saja seluruhnya, karenamungkin kadang malah memberatkan tamu. Karena itu kadang pula terpaksa ada tawar-menawar, misalnya mengenai kebiasaan mengenakan jas berekor pada resepsi di lnggris.
Tapi umumnya segala upacara seremonial yang telah ditetapkan, akan dijalankan. Begitulah, pemandangan yang sedap memang muncul. Seremoni penyambutan Presiden Soeharto pada tanggal 13 November lalu di London oleh Sri Ratu.
Apalagi hari itu, cuaca London kebetulan cerah. Sejuk dan dingin memang, karena sudah masuk winter. Tapi matahari toh keluar.
Dari penyambutan di Stasiun Victoria sampai prosesi kenegaraan ke Istana Buckingham sepanjang tiga kilometer, semuanya serba menarik dan mengesankan. Bukan hanya untuk mata Indonesia saja. Tapi rupanyajuga bagi mata penduduk London sendiri yang berbaur dengan para turis asing lainnya. Laki-perempuan, tuamuda dengan tertib mengambil tempat di sepanjang jalan, yang sejak pagi sudah dipasangi pagar lepasan.
Polisi London dengan topi hitam-lonjongnya yang khas seolah dikerahkan dari segala penjuru kota. Tapi sama sekali mereka tak menimbuikan kesan menyeramkan, bahkan enak dipandang. Apakah pikiran itu karena terkenalnya sikap mereka yang korek dan suka menolong itu, sebagaimana selalu diceritakan banyak orang, tak tahulah. Tapi bagi mata Indonesia, para polisi ini justru menambah semaraknya suasana seremonial.
Ratusan kuda yang tinggi tegap dan terlatih baik, betjajar Iebar jalan. Dinaiki para pengawal kehormatan dariberbagai kesatuan, dengan seragam warna-warni, dari abuabu bertopi bulu beruang hitam, sampai yang merah menyala dengan topi keperakan berumbai-umbai.
Seragam merah ini berasal dari masa lalu, ketika orang percaya bahwa warna tersebut bisa membuat keder lawan perang dan sekaligus untuk menutupi noda-noda darah. Mereka memang bukan prajurit mainan atau pajangan.
Mereka bergerak dengan irama teratur, mengiringi tujuh kereta kencana terbuka. Mengesankan dan spektakuler sewaktu prosesi melewati The Mall, jalan lurus Iebar beraspal merah yang langsung menuju monumen Ratu Victoria yang lebih dikenal dengan "kuwe penganun" di depan Istana Buckingham.
Dari jauh, bunyi derap dan gemerincingnya kuda-kuda serta naik-turunnya tubuh para penunggangnya yang seirama dengan lentur kudanya, merupakan pemandangan menarik sekali.
Kiranya tak berlebihan, kalau Joop Ave pernah mengatakan bahwa pageantry di lnggris kinipun masih berfungsi sebagai pemersatu rakyat Inggris dengan sistem dan nilai-nilai tradisional dan, kerajaannya, juga membuahkan penghasilan ekonomi sebagai suatu industri modern, pariwisata.
Begitulah ekonomi awal berlangsung. Semuanya tertib, tenang tapi pasti. Sebagaimana halnya dengan langkah-langkah seorang pemusik Skot, yang setiap pagi mengelilingi Istana Buckingham dengan musik pipa tiup tradisionalnya, dan membunyikan beberapa lagu di bawah jendela kamar Presiden. Seolah robot, tapi amat manusiawi.
Tapi bagi orang lnggris sendiri, apa yang berbau tradisi atau seremonial, tidaklah otomatis mereka kuasai begitu saja, sekalipun umumnya mereka menyenanginya. Semuanya harus dipelajari, tak kurang oleh para pejabatnya sendiri.
Seperti waktu upacara hari pertama, petang di Istana St. James, tatkala Presiden harus memenuhi acara seremonial, menerima ucapan selamat datang dari Ketua dan para anggota Dewan London Raya, serta, Walikota dan para konselor City of Wesminster, jantungnya London.
Setengah jam sebelum Presiden tiba, mereka berlatih dulu beberapa kali dan mendapat petunjuk dari protokol kerajaan, bagaimana harus berjalan, mengucapkan pidatonya, dan sebagainya.
Seorang nyonya setengah baya yang cantik, berperan sebagai Presiden. "Bila blabla-bla," ucapnya seolah waktu Presiden membacakan pidatonya.
Pemeliharaan tatacara tradisional itu, rupanya tak terbatas pada lingkungan kraton dan bangsawan. Masyarakat biasapun demikian pula. Tapi ini diwakili oleh pimpinannya. Hal ini tercermin sekali sewaktu upacara resepsi di Guild House pada hari kedua, Rabu malam. Guild House sendiri merupakan pusat pemerintahan dari dan oleh masyarakat sejak 1000 tahun lalu.
Di sinipun ketika Walikota London yang mewakili penduduknya menjamu Presiden, terasa suasana dibawa kembali ke masa-masa lampu. Kalau tidak ke masamasa gilde dahulu, sekurangnya semasa jayanya kompeni-kompeni Inggris membuka jalur dan koloni ke dunia timur.
Upacaranya ditentukan secara detail sekali, termasuk prosesinya, peniup terompet, pembawa pedang kebesaran, penabuh tambur dan seterusnya. Ketika memasuki ruang jamuan yang besar, prosesi diiringi musik terompet bernada ciptaan Handel, namun diiringi tepuk-tepuk tangan hadirin yang jumlahnya sekitar 700 orang.
Prianya semua mengenakan "black tie", demikian pula para wartawan Indonesia yang terpaksa disewakan pakaian resmi tersebut dari suatu perusahaan sewa-menyewa pakaian di London. Begitu profesionalnya mereka dalam soal tradisi dan pakaian, sampai-sampai yang disediakan perusahaan itu semuanya pas-persis.
Bagi mereka yang kebetulan kurang suka dengan acara-acara seremonial itu, hal ini mungkin membosankan dan melelahkan. Apalagi bagi yang dilibatkan di dalamnya. Tapi bagi yang meliat, memang lain. Enak, seolah meliat tontonan atau parade saja.
Kebudayaan kedua bangsa memang berlainan. Bagi orang Inggris, tradisi seremoni mungkin sudah menjadi bagian dari cara hidupnya. Sedang untuk orang Indonesia, mungkin lebih merupakan tontonan, ataupun kecil pengaruhnya secara nasional.
Seremoni tradisional, paling terbatas pada lingkungan dan daerah-daerah setempat saja, seperti halnya keprajuritan kraton di Yogyakarta. Tapi di situ pula sebetulnya letak kekayaan budaya di bumi Indonesia, karena terdiri dari begitu banyak ragam rupa tradisi serta seremonialnya, dari satu tempat ke tempat lain. Soalnya tinggal pemeliaraan dan mengambil manfaatnya.
Pesan Joop Ave, agar "kita tak usah minder" melihat tata-cara serba spektakuler karena "kita sendiri juga punya kebudayaan sendiri yang khas", rupanya ia coba buktikan di London. Seremonial Inggris yang serba formal dan megah, ia hadapkan dengan seremonial Indonesia yang serba lembut. Dan ternyata, mengena juga.
Presiden Soeharto yang telah dijamu kenegaraan di Istana Buckingham pada malam pertama kunjungannya, pada malam terakhir di London memberi jamuan balasan di Hotel Claridges untuk Sri Ratu.
Hotel ini merupakan hotel tua yang secara tradisional selalu digunakan keluarga kerajaan Inggris untuk menginapkan tamunya, mana-kala Istana Buckingham sedang "full booked".
Dalam jamuan ini, suasana dibuat serba Indonesia. Baik dekorasinya, makanannya maupun tatacaranya. Tak kurang dari gedebog pisang sengaja dibawa dari Jakarta untuk hiasan janur, meskipun hampir saja berantakan karena hawa dingin London sempat membuat gedebog itu mengkeret, sehingga lepas dan rubuh dari tempatnya. Tapi semuanya segera teratasi.
Beberapa tarian dibawakan, dan Sri Ratu serta para tamu juga tak bosan-bosan mencicipi berbagai manisan yang sengaja dibawa dari Jakarta. Manisan salak, cermai, mangga, lobi-lobi, dan serba manisan lainnya.
Suasana serba Indonesia itupun ternyata membuat betah Sri Ratu, yang biasanya selalu tepat memenuhi waktu dalam program. Kali ini sekalipun waktu telah lewat, tapi ia tetap saja bertahan, tak beringsut dan banyak tertawa. Kadang sampai terbahak.
Keintiman dalam acara ini menunjukkan masing-masing tradisi punya kelebihan sendiri-sendiri. Dan menurut penuturan, dari 14 kali jamuan balasan serupa yang dilakukan tamu agung di hotel ini, baru kali inilah susananya betul-betul khas dari negeri yang bersangkutan, dan Sri Ratu terhenyak senang.
Yang tampak di mata umum, kunjungan kenegaraan Presiden Soeharto di Inggris dipenuhi berbagai acara seremonial. Karena dia memang tamu resmi Sri Ratu, Kepala Negara suatu kerajaan yang tua dalam usia maupun tradisi. Dari masa dinasti Norman awal tahun 1000 an, melalui jaman-jaman Lancaster, York, Tudor, Stuart dan seterusnya, sampai masa Windsor sekarang ini.
Kunjungan ini statusnya kunjungan kenegaraan. Bukan sekedar kunjungan resmi, dengan yang menjadi tuan atau nyonya-rumahnya adalah pihak pemerintah lnggris. Tapi bagaimanapun Presiden RI bukan hanya Kepala Negara. Ia berstatus pula sebagai kepala pemerintahan.
Sehingga kurang lengkaplah bila kesempatan kunjungan ini, bertemu dan berunding konkrit dengan pihak pemerintahan Inggris, dilewatkan begitu saja. Hal ini disadari kedua pihak. Sehingga dalam penyiapan program kunjungan, di tengah segala acara sosial dan seremoni masuk pula acara bertemu dengan pihak pemerintahleksekutif Inggris pimpinan PM Ny. Margaret Thatcher.
Bukan sekedar memasukkannya dalam program, tapi kedua pihak menyiapkan diri benar. Pemerintahan Konservatif yang memerintah sejak Mei lalu setelah lima tahun sebelumnya dipegang Buruh, telah mengirim Wakil Menlu Peter Blaker ke Jakarta Oktober lalu.
”Hari kedua, yaitu perundingan dengan pihak eksekutif adalah hari bisnis benarbenar," ucap Dubes Inggris Terence O’Brien kepada para wartawan, menjelang keberangkatannya ke London.
Betapa inginnya memandang penting pertemuan antara eksekutif terasa pula meski dari segi protokolernya saja. Di lnggris, sudah lumrah seorang perdana Menteri dari sudut jenjang kekratonan, hanyalah dipandang sebagai orang biasa, "commoner", sekalipun dia kepala pemerintahan!
Dalam susunan kursi untuk jamuan kenegaraan di Istana Buckingham 13 November malam, PM Ny. Thatcher ditempatkan agak "bawah", kalah tinggi dengan sejumlah anggota keluarga kerajaan. Pada mata Indonesia, ini terasa kikuk dan aneh.
Sehingga padajamuan balasan di Hotel Claridge’s, pihak Indonesia sebagai tuan-rumah berusaha menempatkan PM Ny.Thatcher pada tempat yang lebih terhormat.
Menlu Mochtar yang "still going strong" melawan cuaca dingin London, ditugaskan khusus mendampingi Ny.Thatcher. Kepada PM yang kebetulan wanita ini pun, disampaikan "corsage", kembang tempelan untuk menunjukkan hormat danpenghargaan. Sedang bagi Sri Ratu, berupa karangan bunga betulan.
Hubungan politik kedua negeri saat inipada tingkat yang amat baik. Semua pihak berpendapat begitu. Bekas-bekas perasaan tentang Dwikora dulu misalnya, kini telah buyar tertiup angin.
Barangkali soal kecil adalah masalah Timor Timur, dengan lnggris selalu bersikap abstain. Tapi ini bisa dimengerti pihak RI, mengingat lnggris sendiri punya problem serupa, yaitu soal dekolonisasi Gibraltar yang dituntut Spanyol.
Juga daerah Belize di Amerika Tengah yang diperebutkan oleh Guatemala dengan Meksiko, serta Kepulauan Falkland di Atlantik Selatan. Inggris menghendaki dekolonisasi berjalan sesuai gayanya sendiri, sebagai suatu negara yang pernah punyai inperium luas.
Dalam pembicaraan dengan eksekutiflnggris itu, Presiden Soeharto menerima penjelasan mengenai penanganan masalah Zimbabwe-Rhodesia yang kebetulan tengah sengit-sengitnya berlangsung di London.
Semua koran dan TV Inggris praktis dikuasai masalah Zimbabwe selama hari-hari kunjungan Presiden. Kecuali ketika Sri Ratu mengumumkan pencopotan gelar kebangsawanan terhadap Sir Anthony Blant, penasehat ratu untuk kesenian, yang oleh PM Margaret Thatcher diungkap sebagai mata-mata Soviet.
Mengenai masalah Rhodesia ini seorang pejabat teras RI yang ikut dalam kunjungan menunjukkan penghargaan tinggi terhadap Ny.Thatcher, yang dinilainya sebagai orang berjiwa besar.
Thatcher semula mendukung pemerintahan Muzorawa, yang menyatakan diri sah terpilih dalam pemilu. Tapi pada waktu KTT Lusaka, rupanya PM Thatcher dengan berani melepaskan idenya yang mendukung penuh Muzorewa.
Atas prakarsa Menlu Lord Barrington, soal Rhodesia ini ingin dipecahkan tuntas tidak semu, dengan pertemuan London.
"Bayangkan seorang PM Inggris mau merubah sikapnya. Itu menunjukkan kebenarannya," ujar pejabat RI itu.
Begitu pula mengenai soal Brunai, pihak RI Mendukung usaha Inggris yang mengarahkan agar Brunai berani merdeka sendiri, hidup sejajar dengan para tetangganya.
"Kita jangan sampai menyudutkan Inggris dalam soal ini," kata kalangan RI.
Tapi dalam soal ini, RI tampaknya sengaja tak banyak bicara. Menghindari kesan menonjol, yang mungkin malah bisa menimbulkan kecurigaan yang tak perlu dari Brunai. yang sampai kinipun tampaknya masih enggan dan takut turun dari gendongan lnggris.
Sekalipun demikian, diduga kontak-kontak balik tirai mengenai Brunai yang diprogramkan merdeka tahun 1983, selalu dilakukan, baik bilateral ataupun dengan ASEAN.
Tentang persoalan Indocina, dengan gampang dicapai kesamaan pandangan, sekalipun dengan suasana pandangan agak berbeda. Inggris tampak lebih mementingkan segi kemanusiaannya. Sedang RI pada segi politik, dengan catatan penyelesaian soal politik akan menyelesaikan segi kemanusiaan dengan sendirinya.
Masalah ekonomi dan perdagangan, cukup intensif dilakukan. Setelah perundingan siang hari dengan PM Ny. Thatcher dan sejumlah Menteri Inggris di Downing Street 10.
Sore harinya Presiden Soeharto masih menerima Menteri Perdagangan John Nott dan Menteri Energi David Howell. Padahal, sebelumnya Menteri Ekuin Widjojo Nitisastro siangnya juga telah berembug tersendiri dengan Menteri John Nott di KeMenterian Perdagangan.
Dalam bilateral, tekanan diletakkan pada soal investasi modal lnggris yang relatif masih kecil di Indonesia, serta peningkatan perdagangan. Selama ini lnggris tak banyak tanam modal di Indonesia, karena secara tradisional dia lebih dekat dengan negaranegara persemakmurannya, termasuk Malaysia dan Singapura.
Satu bidang yang coba ditawarkan ialah dalam pertanian-perkebunan, terutama setelah adanya rangsangan Hak Guna Usaha tanah-tanah perkebunan. Bidang perkebunan sejak dulu diketahui disenangi oleh lnggris.
Tentang perdagangan salah satu soal konkrit yang dikemukakan Menteri Widjojo ialah permintaan agar Inggris membuka lebih Iebar pintunya bagi produksi tekstil Indonesia. Permintaan ini mungkin diajukan, untuk meniadakan salah-pengertian sehubungan kasus beberapa waktu lalu, ketika ada perusahaan pakaian jadi Hongkong kongkalikong dengan perusahaan sejenis Indonesia, memasukkan label pakaian yang di-ekspor ke Inggris. Pihak Inggris dan Hongkong menganggap dan menangani soal ini secara serius!
Masalah ekonomi dunia juga jadi bahan pembicaraan, Indonesia berusaha meyakinkan, kali ini lewat Presiden Soeharto sendiri mengenai pentingnya masalah Utara-Selatan. Kedua negara sejak semula ikut aktif dalam dialog yang dimulai di Paris. Namun hasilnya masih saja jauh dari memuaskan. Inggris sebagai salah satu negara maju terkemuka, diharapkan dapat membantu menerobos kemacetan.
RI menilai Inggris adalah sekolot beberapa negara maju lainnya, sekalipun tak seramah negara-negara Skandinavia atau Belanda dalam soal Utara-Selatan ini.
Beratnya ialah Inggris tidak berdiri sendiri, tapi lebih banyak berkomitmen dengan MEE, sesuai prioritas utama pemerintahan Konservatif sekarang. Padahal MEE dipengaruhi sekali oleh negara-negara yang alot seperti Jerman.
Sekalipun harapan belum banyak dapat ditarik, minimal diharapkan Inggris mengerti bahwa keinginan Selatan untuk pembentukan tata ekonomi dunia yang lebih adil. bukanlah semata-mata gagasan orang-seorang atau negara tertentu saja. Tapi menjadi keinginan semua negara berkembang.
"Kalau sudah tingkat Presiden yang berusaha meyakinkan, bobotnya tentu lain," ucap kalangan Rl.
Adalah menarik dikeluarkannya pernyataan bersama setelah perundingan. Ini tidak biasa dilakukan dalam suatu kunjungan kenegaraan, kata pihak Inggris. Tapi ternyata keluarjuga pemyataan bersama tersebut, sekalipun singkat. Keluarnya pernyataan ini memang lebih merupakan keinginan Indonesia, untuk memberi tekanan bahwa kunjungan kenegaraan ini bukanlah sekedar memenuhi fungsi sosial belaka.
Catatan lain ialah mengenai konperensi pers yang diadakan Menlu Mochtar. Para wartawan Inggris yang datang cukup banyak. Pertanyaan mereka 90% berkisar soal Timor Timur.
Tapi esoknya, temyata tak secuilpun hasil tanya-jawab tersebut dikorankan oleh pers Inggris. Rupanya hal seperti ini, biasa di pers negara maju. Kunjungan Presidenpun, hampir tak ada yang memuatnya.
Kontras sekali dengan pers kita kallau menghadapi kedatangan tamu negara. Masih lumayan, harian terkemuka ‘The Times" yang baru terbit kembal, memuat foto kedatangan Presiden di halaman depan, sekalipun beritanya di halaman dalam, dan cuma sekolom. Mungkin gaya pers Inggris memang demikian.
Lebih tertarik pada hal hal yang bersangkutan dengan dirinya langsung, seperti Rhodesia dan mata-mata Anthony Blunt atau pada masalah Internasional yang besar-besar sekalian. Sikap sebagai bangsa negara pulau yang terpisah dari kontinen, mungkin juga menyebabkan sikap acuh tak acuh pada hal-hal yang belum biasa dikenalinya akrab, termasuk Indonesia.
Tapi Menlu Mochtar menanggapinya dengan kalem saja.
"Oh kalau tak dimuat dikoran itu artinya malah baik. Sebab pers sana baru akan memuat kalau ada kelainan atau kontroversial. Kalau sepi artinya tak ada persoalan itu kan baik". Tak jelas ia serius atau setengah bercanda.
Tapi mengenai demontrasi anti RI oleh sekelompok kiri selama kunjungan itupun pers Inggris agaknya juga acuh tak acuh saja. Demikian pula pihak tuan-nyonya rumah dan para tamu.
Menurut pengamatan diantara yang demontrasi itu terdapat beberapa orang Indonesia sendiri. Mereka bertopeng supaya tak dikenali
”Tapi kami tahu siapasiapa mereka itu", kata beberapa mahasiswa Indonesia yang membantu panitia.
Satu hal yang menarik pula ialah saling mendekatnya lagi Amnesti Internasional dengan pihak Rl. Tak ada saling lontar kata-kata keras lagi. Mochtar pun mau menerima Selgen Amnesti, Martin Ennals di ruang kerja Dubes Saleh Basarah.
"Jangan potret, ini pertemuan pribadi," katanya pada beberapa wartawan.
Amnesti cukup baik menerima penjelasan tentang perkembangan soal tahanan di Indonesia, sebaliknya tiada lagi tuduhan organisasi ini ditunggangi kaum kiri.
"Mereka pendekatannya cuma legalistis belaka. Bahkan kecaman mereka terhadap negara-negara komunis jauh lebih tebal daripada terhadap kita," ujar Dubes Basarah. (DTS)
…
Jakarta, Kompas
Sumber: KOMPAS (28/11/1979)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku V (1979-1980), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 257-265.