ARGUMENTUM AD HOMINEM
Oleh : S. Belen
DIUNGKAPKAN pada hari jadi Kopasandha, banyak isu dilemparkan untuk menyingkirkan Presiden Soeharto.
"Itu lah judul berita utama sebuah surat kabar ibu kota, 17 April lalu. Selanjutnya dalam berita tersebut dinyatakan dua contoh isu yang dikatakan sendiri oleh presiden. Yang pertama, bahwa Nyonya Tien Soeharto menerima komisi, menentukan kemenangan tender, "dan seolah-olah jalan Cendana itu sebagai markas besar untuk memenangkan tender, komisi dsbnya
"Yang kedua, itu bahwa Pak Harto mempunyai selir, mempunyai simpanan salah satu bintang film terkenal. Presiden membantah kedua isu tersebut. Terhadap yang pertama, presiden mengatakan, hal itu sama sekali tidak benar.
"Jangankan memikirkan itu. Waktu untuk memikirkan kegiatan-kegiatan sosial saja tidak cukup."
Terhadap yang kedua, kata Kepala Negara: "Ini sudah lama dan sekarang ini dibangkitkan kembali. Padahal kenal atau jumpa saja dengan yang bersangkutan (bintang film itu, Penulis) juga tidak".
Garis. Sfrategi
Presiden menyatakan pula bahwa berbagai isu negatif yang ditujukan kepada diri dan keluarganya sebagai suatu usaha untuk merongrong Pancasila dan UUD 45 dengan terlebih dahulu menyingkirkan dirinya, "karena mungkin mereka itu menilai kalau saya itu menjadi penghalang utama politik mereka.
Karena itu saya harus ditiadakan. Presiden mengingatkan pula, usaha-usaha untuk menggantikan Pancasila dengan ideologi lain, tidak semata-mata dengan kekuatan senjata, tetapi juga dengan kekuatan subversi, infiltrasi, bahkan sampai kepada menghalalkan segala macam cara.
Di antaranya dengan melontarkan berbagai isu seperti yang ditujukan kepada dirinya dengan maksud untuk mendiskreditkan Pemerintah dan para pejabat.
"Dan bahkan ini akan selalu teIjadi bilamana kita mendekati pelaksanaan Pemilu."
Dari apa yang dikemukakan di atas, dapatlah terbaca strategi mereka yang hendak mengganti Pancasila dan UUD ’45, serta tempat dan peranan isyu menjelekkan nama baik presiden dan keluarganya dalam garis strategi yang sudah dipasang.
Mereka yang melontarkan isu pencemaran nama baik ini sebetulnya mendayagunakan suatu siasat logika, yaitu "argumentum ad hominem", argument menyerang pribadi. Apa artinya, apa sih sebetuinya tipe argumen ini? Sebelum menjelaskannya, terdahulunya mari kita melihat efektifitas penerapan argumen ini dalam usaha menjatuhkan Syah Mohammad Reza Pahlevi. Dengan melihat orang lain, kita akan lebih cermat melihat diri sendiri.
Landreform
Berbagai kondisi obyektif telah menjerembabkan pemerintahan Syah Iran, seorang raja-diraja. Namun apa sih faktor penyebab utama dan sentral yang telah berperan membuat beliau terjatuh dari singgasananya? Yang kita dengar adalah ambisi Syah dan keluarganya menimbun kekayaan, dan kekejaman Syah membunuh lawan-lawan politiknya dengan tangan Savak.
Ini adalah serangan langsung terhadap pribadi Syah dan rejimnya. Akan tetapi ini adalah taktik lawan politik dalam rangka menggalang konsolidasi massa, seperti pula tuduhan menterlantarkan agama Islam dalam kancah modernisasi kapitalis. Ia bukanlah sebab yang mendasar.
Modernisasi yang dilancarkan Syah memang pada mulanya diterima rakyat dan telah berhasil menyulap Iran menjadi negara kaya yang mencatat berbagai kemajuan. Modernisasi ini barulah ditantang ketika Syah hendak memberlakukan program bagi-bagi tanah, landrefarm, sehingga tanah Iran tidak hanya dikuasai oleh segelintir elit yang kaya.
Siapa elit tuan tanah kaya itu? Tak lain dari para mullah dan ayatullah yang selama ini menikmati kemakmuran di tengah rakyat jelata yang sengsara. Mereka di samping kaya adalah juga tokoh agama. Oleh karena itu, tidak sukar menghimpun massa, intelektual, politisi oposan, dan teknokrat yang tak kebagian rejeki untuk melawan realisasi program landrefarm sekaligus menjatuhkan raja-diraja yang mau mengutak-atik posisi terhormatnya. Ayatullah Khomeini yang sakit hati dengan amat mudah menerima niat mereka menokohkan beliau.
Serangan terhadap pribadi Syah dan keluarganya dengan fokus kekayaan dan kekejaman membunuh masih diteruskan sampai hari ini dalam rangka kemelut penyanderaan diplomat Amerika. Syah kaya dan rakus, para ayatullahpun demikian.
Tangan Syah berlumuran darah, para ayatullahpun tiada bedanya. Di sinilah baru kita paham betapa efektif penggunaan argumen menyerang pribadi, "argumentum ad hom-inem". Siasat logika ini berhasil mengelabui massa rakyat, dan dunia internasional. (Sumber: ceramah asisten intel di APDN Malang pada awal April 1980).
Arti Argumen
"Argumentum ad hominem termasuk dalamkelompok kekeliruan berpikiryang tidak relevan dengan pokok persoalan. Seperti argumen menyimpang dari pokok persoalan, argumen membesar-besarkan persoalan, argumen menyalahgunakan, lelucon, argumen tanpa bukti ("argumentum ad ignorantiam"), argumen dengan ancaman ("argumentum ad baculum"), dan argumen mempersoalkan hal remeh.
"Argumentum ad hominem" didasarkan pada asumsi bahwa merusak nama baik orang lain akan menurunkan kebenaran ucapannya. Pendapat seseorang tak patut diterima, karena orang jelek. Misalnya, hasil riset si ahli X tidak dapat diterima, karena orangnya tersangkut peristiwa Malari. Manifes "Perjoangan Kita" yang digariskan Sjahrir tidak tepat, karena beliau adalah tokoh yang kebarat-baratan, ada pula satu jenis argumen menyerang pribadi khusus yang biasa dinamakan ”kamu juga". Misalnya, seseorang mengatakan: "Kamu tak boleh melarang saya memukul istri saya, karena kamu juga sering memukul istrimu!"
Atau seorang polantas mengatakan kepada rekannya: "Kamu boleh mengeritik saya karena menerima duit dari pengendara motor yang lupa membawa SIM-nya. Tetapi kamu sendiripun korupsi waktu dengan menambah sendiri waktu cutimu". Jelaslah sasaran kritik tidak menilai kritikannya, tetapi orang yang memberikan kritikan itu. Yang diserang bukan masalahnya, melainkan orang yang mengemukakan masalah itu.
Ungkapan "argumentum adhominem" terkadang dipakai untuk menyatakan usaha mempengaruhi orang dengan mendasarkan pada prasangka tertentu. Banyak orang yang ingin mempengaruhi kita mempelajari sikap dan pandangan kita agar supaya kita mengambil keputusan, menganut keyakinan, serta bertindak dan berbuat sesuai dengan yang ia kehendaki. Sikap disini tak lain daripada cara memandang orang, benda, dan ide yang telah menjadi kebiasaan.
Para Politisi dan aktivis politik sering menghembuskan isu mencemarkan nama baik orang yang hendak dijatuhkan dan memberikan warna yang berbeda terhadap gagasannya, sesuai dengan sikap masyarakat yang hendak dipengaruhi. Yang diserang bukanlah masalahnya, melainkan pribadi yang bertanggungjawab atas masalah itu.
Seorang yang menggunakan argumen ini tak akan mengeritik cara kepemimpinan menteri A tapi menyerang pribadinya, misalnya menguar-uarkan bahwa si A sering main perempuan. Ia tak akan membuktikan ketidak tepatan program KB pejabat B, tetapi berusaha membuat si B hilang muka karena ia sendiri punya 11 anak. Ia tak akanmenggugat konsepsi yang melandasi keputusan menteri C mengenai NKK dengan menunjukkan kelemahan-kelemahannya, tetapi dengan menyebarkan selebaran yang menyatakan bahwa gelar Doktor menteri C adalah aspal. (CF Win-ston W. Little, W Harold Wilson, dan W Edgat Moore Applied Logic, Seri Filsafat, No 10.160.)
Satu Gejala
Masih segar dalam ingatan kita betapa gencarnya argumen menyerang pribadi cq. Presiden dan keluarganya, didayagunakan pada saat menjelang Pemilu 1977 dan aksi mahasiswa Pra SU-MPR Maret 1978, malah menyerang ke sejumlah pejabat, entah menteri maupun jenderal. Diktat kuliah yang paling cocok untuk mempelajari dan menguasai tipe argumen ini ialah berkas dan reportase pengadilan Sawito Kartowibowo serta sidang pengadilan operasi kilat terhadap mahasiswa.
Kalau anda mengikuti langsung aksi kontra NKK, maka amat jelas betapa lancarnya jenis argumen ini dipakai. Yang digempur bukanlah konsepsi itu "an sich", tetapi Pak Doed Joesoef yang menelurkan konsepsi itu. Masih ingat pula kita bagaimana satu daftar fitnahan terhadap pribadi Pak Willy Lasut sanggup menjebolkan kursinya di Sulawesi Utara itu.
Apakah ini bukan suatu pratanda gejala yang kian membelit leher kita, sehingga kita tak mampu lagi berlogika secara elegan? Gejala ini masih ditopang suatu gejala lain yang lebih mendasar, yakni nampaknya tendensi yang merenggut-renggut hati kita.
Apakah itu? Kita semakin kurang hormat pada nama baik orang lain. Betapa mudahnya nama baik seseorang yang dipertahankannya, mati-matian luntur dalam satu hari berkat gosip yang diterbitkan berbagai surat kabar dan majalah.
Korban dari kalangan artis, bintang film, biduan-biduanita, atlit kesohor, pejabat kakap sampai pejabat teri setiap minggu berjatuhan. Ada surat kabar dan majalah yang begitu setia menuliskan inisial si tersangka kejahatan, sambil yang lain begitu enaknya melanggar kode etik jurnalistik dengan menulis lengkap nama si tertuduh.
Tanda tangan palsu, ijasah palsu dan aspal tambah meramaikan olah raga mencemarkan nama baik orang lain. Dalam seminar dan pertemuan resmi, tak jarang kita mendengarkan seorang anak muda menyapa seorang pejabat tidak dengan sebutan "pak, "bapak", "bung", "ibu", "bang", "mas", atau "bu", tapi langsung memanggil dengan namanya, seolah-olah sedang berbicara dengan rekan sebaya.
Tidaklah mengherankan jika para subversor, infiltran, dan aktivis politik begitu gampang menggunakan argumen menyerang pribadi demi tercapainya "udang dibalik batu". Apakah jalan pikir kita sudah sedemikian bengkak-bengkok? Lantas tata karma kita yang wajar-wajar saja kemana sekarang larinya. DTS
…
Jakarta, Suara Karya
Sumber: SUARA KARYA (24/05/1980)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku V (1979-1980), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 915-919.