ASAL USUL

ASAL USUL

 

 

Jakarta, Kompas

BULAN ini merupakan bulan yang banyak mencatat kejadian penting di tanah air. Bulan yang terletak di tengah-tengah dengan tanda Gemini. Pak Kertosudiro, dan Bu Sukirah, tanggal 8 Juni 1921 melahirkan seorang bayi lelaki bemama Soeharto di Kemusuk, daerah Argomulyo, sebelah barat kota Yogyakarta.

Tanggal 26 September 1947 beliau menikah dengan Siti Hartinah yang umumya 2 tahun lebih muda dan berputra tiga lelaki dan tiga perempuan dengan beberapa cucu.

Dan bulan Juni ini pula tahun 1966 yang memilih Jenderal Nasution sebagai Ketua MPRS dan menetapkan pengukuhan atas Supersemar. Atas dasar itulah Soeharto dapat mandat dari MPRS untuk menjalankan segala sesuatu yang berkenaan dengan Supersemar itu. Mandat ini mempermudahnya untuk bertindak.

MPRS mensahkan pembubaran PKI memutuskan melarang Marxisme-Leninisme, komunisme, di bumi Indonesia dan mengusulkan dibentuknya panitia peneliti tentang ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi, MPRS juga membubarkan Kabinet Dwikora yang dipimpin Bung Karno, dan Soeharto diminta untuk membentuk kabinet baru.

BULAN Juni ini pula menyaksikan kelahiran Soekamo tanggal 6 Juni 1901. Bung Kamo itu yang juga disebut “anak fajar”, anak dari Sukemi Sastrodiharjo, guru di Jawa Timur dengan Ida Nyoman Rai dari Bali, beristrikan nyonya Fatmawati dan punya anak lima orang, dari nyonya Hartini dua orang putra , dan dari Nyonya Dewi satu orang putri.

Sesudah mendapat perawatan beberapa lama di RSPAD, bulan Juni ini pula Tuhan memanggil hambanya tanggal 21 Juni 1970 dan membawanya ke rumah nyonya Dewi untuk disembahyangkan sebagai mana mestinya. Rakyat tercenung-cenung kehilangan pemimpinnya dan dunia politik mencapai tingkat ketajaman menuju suksesi.

Karena pemerintah tahu persis kekuatan Bung Karno di mata rakyat, maka makamnya di Blitar berdampingan dengan ibu bapaknya, dipugarkan tanggal 21 Juni 1979 oleh Presiden Soeharto sebagai tokoh proklamator Indonesia

RUMAH kami di jalan Pegangsaan Timur 56, sekarang Gedung Pola dijalan Proklamasi, tulis Nyonya Fatmawati Soekamo dalam buku catatannya.

Pada suatu tengah malam yang larut tanggal 31 Mei 1945, Bung Karno pergi ke kebun belakang sendirian seolah ada suatu masalah yang berat yang dipikirkannya. Sesudah kembali masuk kamar tidur, Bung Kamo mengatakan bahwa aku harus ikut bersamanya ke Gedung Cuo Sangi Im dimana Bung Karno saat itu jadi ketuanya. Karena biasanya dalam acara rapat raksasa aku selalu ikut serta Bung Karno, demikian tulis Nyonya Fatmawati, sedangkan besok tidak ada rapat raksasa, oleh sebab itu, aku bertanya ada apa besok disana? Bung Karno menjawab. “Besok mas akan mengucapkan pidato penting mengenai dasar-dasar negara kita jika merdeka kelak.”

Keesokan harinya tanggal 1 Juni 1945 kami berangkat ke Gedung Cuo Sangi Im di Pejambon. Sesudah sampai disana kami berpisah tempat. Bung Karno mengambil tempat bersama teman-teman kelompoknya yang terdiri dari wakil-wakil rakyat.

Mula-mula rapat dibuka oleh pembesar Jepang dalam suasana hening. Sesudah itu rapat dipimpin oleh bapak Dr. KRT. Rajiman Wedyodiningrat. Tak lama kemudian mulailah beberapa wakil antara lain seperti bapak Sukrujo, sesudahnya disusul dengan yang lain bapak Panji Suroso menyampaikan pidatonya.

Akhirnya tibalah giliran Bung Karno untuk mengucapkan pidato. Ia berpidato tanpa teks. Dengan bangga aku lihat ia bangkit berdiri sebagaimana biasanya dengan gaya yang spontan dan mulai mengucapkan pidatonya dengan berapi-api.

Ketika Bung Kamo mengucapkan satu persatu sila-sila dari kelima sila, hatiku bergetar dan seolah-olah berkata. “Inilah nantinya yang akan diterima oleh majelis dan serasa seakan Indonesia Merdeka pada hari itu sudah terwujud.” Mahbud Djunaidi

 

 

Sumber : KOMPAS (10/06/1990)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XII (1990), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 486-488.

 

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.