ASPIRASI RAKYAT YANG SAH TAK HANYA LEWAT PERWAKILAN

ASPIRASI RAKYAT YANG SAH TAK HANYA LEWAT PERWAKILAN [1]

Jakarta, Kompas

Aspirasi rakyat yang sah, tidak hanya aspirasi yang disampaikan melalui lembaga­ lembaga perwakilan melainkan aspirasi yang memiliki bobot seimbang antara keadaan sesungguhnya dan lembaga formal. Dalam hal ini, ABRI dengan segala aparat yang dimiliki berhak menentukan sah tidaknya sebuah aspirasi. Namun, untuk itu, ABRI harus berani melihat dan menerima kenyataan serta harus lebih tanggap ing sasmita atau peka terhadap tanda dan isyarat.

Demikian Brigjen (Pum) Soedibyo, pengamat politik dari “C ntre for Strategic and International Studies” (CSIS) di kantornya, Jakarta, Senin (12/7), ketika diminta komentarnya atas pernyataan Presiden Soeharto ketika menerima peserta Rapim ABRI 93. Menurut Kepala Negara, ABRI harus tanggap terhadap perkembangan kepentingan dan aspirasi berbagai golongan masyarakat, serta melapangkan jalan untuk mewujudkan aspirasi mereka yang sah (Kompas 11/7).

Sementara pengacara yang cendekiawan dan politisi Dr. Albert Hasibuan SH berpendapat, apa yang disebut aspirasi sah tersebut lebih menyangkut pemilihan kualitas aspirasi yang akan diperjuangkan ABRI selaku dinamisator kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tuntutan itu, kata Albert yang juga menjadi anggota DPR dari F-KP, wajar sebab selaras dengan pertumbuhan dihamika masyarakat, maka ABRI dituntut untuk lebih berperan melapangkan aspirasi yang berkualitas, untuk mewujudkan demokratisasi.

Secara terpisah, anggota DPR-RI Fraksi ABRI, Samsudin, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan aspirasi yang sah adalah aspirasi berasal dari sistem nilai nasional, dan oleh karena itu tidak lepas dari sistem nilai nasional yang dianut. Diberikan contoh olehnya, mengenai aspirasi pembaharuan.

Menurut Samsudin, aspirasi pembaharuan yang sah adalah aspirasi pembaharuan yang masih dalam kerangka nilai nasional. “Pembaharuan yang demikian itulah yang harus diprakarsai ABRI,” tegasnya. Dia mengingatkan agar masyarakat tidak terjebak oleh pengertian pembaharuan yang dilakukan negara-negara, Blok Timur. “Mereka melakukan pembaharuan sampai keakar-akarnya. Jika itu terjadi pada kita, tentu saja akan mengguncangkan sendi kehidupan kebarigsaan kita. Pembaharuan seperti inijelas tidak sah.”

Keseimbangan Bobot

Menurut Soedibyo, aspirasi rakyat yang sah bisa diinterpretasikan sebagai adanya keseimbangan bobot keabsahan aspirasi antara lembaga formal dengan kenyataan sesungguhnya, karena kedua hal tersebut tidak selalu sama. Dikatakan, dalam hal ini ABRI bisa melakukan penilaian aspirasi yang dianggap sah.

Untuk itu, katanya, ABRI harus mampu menyelaraskan dan menanggapi segala aspirasi rakyat, baik yang tersalur melalui lembaga perwakilan rakyat dan berbagai institusi atau tidak tersalur. Ditegaskan, aspirasi rakyat memang tidak selalu yang disalurkan lewat lembaga perwakilan. “Lembaga perwakilan itu kan juga terdiri dari oknum. Tiap oknum itu tentunya dipengaruhi oleh latar belakang dan kedudukan dia. Tapi hal-hal ini memang tidak bisa diabaikan karena ini memang mempakan lembaga resmi yang harus diperhatikan, “tegasnya.

Walau begitu, tanggung jawab ABRI tidak hanya pada lembaga formal melainkan harus sampai pada akar aspirasi yang ada di masyarakat. Sebagai sebuah lembaga petjuangan, ABRI pun harus berani melihat kenyataan. “Jadi ABRI juga tidak boleh bersembunyi di balik keformalan itu,”tegasnya.

Dalam pandangannya, untuk kepentingan ini, ABRI harus lebih melibatkan lembaga yang bersifat teritorial daripada organisasi seperti intel, dan melakukan konsolidasi ke dalam. Menurut Soedibyo, sarana tentorial seperti Koramil, Kodim, dan Korem, mempakan sarana terbuka yang mampu menyesuaikan kondisi setempat dengan ketentuan pemerintah. Namun yang lebih penting dari itu, ABRI harus berani membaca isyarat-isyarat dalam masyarakat.

“Dengan aparat teritorial, ABRI bisa membaca apa yang dirasakan oleh masyarakat. Tidak hanya siapa yang ngomong. Kadang-kadang masyarakat itu tidak berani ngomong, kan. Jadi, ABRI harus juga berani, kalau bahasa Jawa-nya tanggap ing sasmita,kata Soedibyo.

Mengapa harus ABRI? Karena, menurut Albert Hasibuan, berdasarkan petjalanan sejarah bangsa, ABRI-lah yang puny apower, mempunyai kemampuan untuk mengambil peran lebih besar dalam mempelopori gerakan proses demokratisasi.

Dijelaskan, posisi sebagai stabilisator dan dinamisator itu diharapkan akan membuat ABRI mengajak kekuatan sosial politik lainnya untuk sama-sama berdiri di depan, dalam mewujudkan aspirasi rakyat. Dan kunci untuk keberhasilan itu adalah, bersedia mengkaji diri serta lebih membuka diri.

Albert mengakui, banyak muncul suara-suara sumbang yang mendikotomi peran ABRI-Sipil. Misalnya tentang siapa yang akan menjadi ketua umum Golkar, atau jabatan lainnya. Padahal soal terpenting yang justru perlu dibincangkan adalah kualitas si calon. Dan hal ini juga berlaku untuk berbagai jabatan lainnya. Pola pikir sempit yang menimbulkan dikotomi ABRI-Sipil, tandasnya hanya akan menumbuhkan komplikasi­ komplikasi penyakit di masyarakat.

Ia mengakui, konflik memang dibutuhkan untuk melallirkan pikiran-pikiran baru yang lebih benar. Namun harus dilihat, jenis konflik tersebut bertujuan positif ataukah malah akan makin memperuncing perbedaan-perbedaan pendapat yang akan merugikan kehidupan beRNegara dan berbangsa. Konflik yang merugikan harus dikikis.

Misi Utama

Sementara itu Direktur Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu Sosial FISIP UI Dr. Amir Santoso menilai pernyataan Presiden Soeharto tersebut sebagai peringatan bagi ABRI agar tetap bertumpu pada misinya yang utama yaitu sebagai dinamisator, stabilisator, dan mampu mempertahankan legitimasinya di depan rakyat.

Ia, menangkap, pernyataan Presiden itu berkaitan dengan kecenderungan meningkatnya kekuatan sipil dalam menunjukkan perannya di masyarakat. Menurut dia, Presiden menyadari bahwa masyarakat sipil sudah mulai meningkat kesadaran politiknya dan dengan sendirinya mulai meningkat pula tuntutan politiknya.

Di tengah keadaan semacam itu, sambungnya, Presiden ingin agar tidak teljadi konflik antara sipil dengan ABRI, sehingga ABRI diingatkan agar kembali kepada fungsi semula yaitu sebagai dinamisator dan stabilisator.

“Bahwa di dalam masyarakat yang aman, stabil, dan normal, memang sudah wajar bahwa sipil itu memperoleh peran yang semestinya. Gejalanya sekarang ini memang mengarah ke sana. Toh dalam 25 tahun terakhir ABRI telah berhasil melakukan pengamanan. Lagi pula cita-cita ABRI semula memang memberikan peran yang memadai bagi sipil apabila sipil itu sudah mampu,” tegasnya.

Untuk melapangkan jalan dalam mewujudkan aspirasi rakyat tersebut, menurut Amir, sebaiknya ABRI menjalankan hal-hal seperti yang dinyatakan Menhankam Edi Sudradjat (Kompas, 9/7) dalam Rapim ABRI beberapa waktu lalu, yaitu ABRI harus bersikap proaktif, dengan kata lain tidak ketinggalan dalam proses demokrasi.

“Kalau ada tuntutan keterbukaan, kebebasan, persamaan, maka ABRi jangan menunggu tapi seharusnya mempelopori adanya keterbukaan, persamaan, dan sebagainya. Itu peran yang harus dilakukan ABRI. Jadi jangan barn bertindak setelah masyarakat menuntut,” katanya.

Sedangkan Samsudin berpendapat, posisi ABRI yang paling tepat di tengah masyarakat yang sedang membangun, tidak ditentukan oleh waktu, tetapi oleh masalah-masalah yang muncul. “Jadi bukan masalah kapan ABRI harus mulai mundur atau maju, tetapi masalah apa yang muncul sehingga ABRI merasa harus ikut mengatasinya dengan sikap akomodatif, ” tandasnya.

Misalnya, mengenai masalah pengembangan demokrasi dan atau pembaharuan. Dalam prosesnya, ABRI melihat perbedaan-perbedaan pendapat mengenai kedua hal tadi dalam kehidupan bernegara sebagai sesuatu yang wajar. ABRI baru tampil ke depan jika kemudian muncul konflik-konflik fisik yang justru memperkeruh. Menurut Samsudin, langkah yang sudah dilakukan ABRI menyangkut hal tersebut adalah memberikan dorongan untuk memfungsikan lembaga-lembaga tanpa merendahkan organisasi sosial politik. (rie/aa/myr/ww)

Sumber: KOMPAS (13/07/1993)

________________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 158-161.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.