Becermin pada Kanjeng Gusti Mangkunegara I [1]
Terbetik sebuah laporan mengenai keadaan pada tahun 1982/1983 yang menyebutkan terjadinya kasus Pemutusan Hubungan Kerja, PHK, hampir 700 kasus yang melibatkan lebih dari 17.000 buruh, dan pada tahun 1983/1984 naik menjadi 1.000 kasus lebih yang melibatkan 48.000 orang lebih.
Katanya, kejadian ini disebabkan antara lain oleh perubahan yang terjadi di perusahaan-perusahaan, yakni dengan masuknya mesin-mesin yang menggantikan tenaga manusia. Memang kita menghadapi dua hal yang bertentangan. Tetapi penyelesaiannya harus ada.
Persoalannya adalah efisiensi atau kualitas di satu pihak, dan di pihak lainnya ialah soal perikemanusiaan. Terlalu memikirkan efisiensi, bisa mengabaikan perikemanusiaan. Sebaliknya, terlalu menitikberatkan kepada perikemanusiaan saja, bisa mengakibatkan perusahaan itu tutup, ambruk. Dan kalau ini terjadi, maka semuanya terkena. Jadi, dua hal yang saling bertentangan itu harus dipertemukan. Harus kita temukan jalan keluarnya.
Maka kita tetapkan adanya hubungan perburuhan Pancasila; efisiensi tetap ditingkatkan, tetapi juga, jika ada tenaga yang tidak terpakai lagi atau harus diberhentikan, agar supaya dipikirkan penyaluran atau lapangan kerja baru bagi orang yang terkena. Oleh karena itu, prinsip kita, harus ada pesangon untuk memungkinkan mereka yang diberhentikan dari kerjanya itu bisa hidup dalam jangka waktu tertentu sebelum mereka memperoleh pekerjaan lain. Syukur bilamana bisa disalurkan pada pekerjaan-pekerjaan lain.
Dalam pada itu, kita tidak bisa terlalu amat ketat dalam membela perikemanusiaan itu sehingga perusahaan yang bersangkutan sampai harus bangkrut. Kalau bangkrut, semuanya akan merugi.
Berkenaan dengan ini kita dapatkan apa yang disebut “Tridharma”. Tridharma itu merupakan salah satu wasiat peninggalan Kanjeng Gusti Mangkunegara I pada waktu berjuang melawan Belanda. Beliau memberikan ajaran itu kepada pengikut-pengikutnya, kepada seluruh kawulanya, sebagai pegangan hidup. Anak buah dan lasykar-lasykarnya mendapatkan pegangan itu.
Kanjeng Gusti Mangkunegara I atau Pangeran Samber Nyawa itu berpesan kepada pengikut-pengikutnya bahwa dalam membela negara itu hendaknya semua merasa : Rumangsa melu handarbeni, “Ini negaramu. Ini bukan hanya negara Rajamu saja, melainkan negaramu juga, negara rakyat Mangkunegara.” Kalau sudah merasa turut handarbeni, merasakan itu juga miliknya, bukan hanya milik pimpinannya melainkan milik seluruh rakyat yang turut berjuang, maka lantas melaksanakan kewajiban yang kedua: wajib melu hangrungkebi, merasa ikut membela. Kemudian, melaksanakan yang ketiga, mawas diri: Mulat sarira hangrasa wani. Coba supaya kita selalu mawas diri, apakah dharma kesatu dan kedua itu ada pada diri kita masing-masing?
Pikiran ini bisa dipraktekkan dalam hubungan perburuhan, antara majikan dan buruh. Hendaknya majikan membawa buruh-buruhnya ke arah pengertian ini supaya ia menekankan dan memang jadi dirasakan benar oleh buruh-buruhnya, bahwa “ini milikku juga, bukan hanya milik majikanku saja”. Sekalipun milik itu tidak dalam arti administratif, tetapi hendaknya benar-benar diresapkan dan bisa dirasakan.
Perusahaan itu, kalau berjalan, bisa memberi penghidupan kepada banyak orang. Tetapi kalau kemudian perusahaan itu harus berhenti, itu akan berarti bahwa perusahaan itu tidak bisa lagi memberi penghidupan kepada sekian banyak buruhnya. Jadi, karena hidup si buruh itu dari perusahaan tersebut, hendaknya si buruh itu bersikap benar-benar turut serta merasa bahwa perusahaan itu adalah miliknya juga. Dan karena ia merasa bahwa perusahaan itu adalah miliknya juga, maka si buruh harus membelanya jangan sampai perusahaan itu menjadi bangkrut. Sebab kalau bangkrut, akan berakibat pada dirinya sendiri.
Begitu pun majikan, tidak boleh mentang-mentang bahwa perusahaan itu adalah miliknya. Tidak boleh begitu. Begitu perusahaan itu berdiri, berarti bahwa perusahaan itu bukan hanya milik si majikan, melainkan juga milik si buruhnya. Memiliki tidak dalam arti administratif, melainkan karena merupakan sumber kehidupan.
Begitu pun dalam mengelola keuntungannya; jangan sampai keuntungan yang besar itu hanya dinikmati oleh si majikan saja. Buruhnya pun harus diberi imbalan yang wajar, harus bisa menikmatinya.
***
[1] Penuturan Presiden Soeharto, dikutip dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta tahun 1982, hlm 376-378.