BENAR = BENAR, SALAH = SALAH
Jakarta, Suara Pembaruan
ADALAH penting untuk kita perhatikan bagian amanat Pak Harto pada hari ABRI 5 Oktober yang baru lalu, yaitu: Kita harus berani mengatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Dengan mengatakan yang benar adalah benar, kita akan dapat terus melanjutkannya dengan penuh keyakinan.
Sedang dengan mengatakan yang salah adalah salah, kita akan dapat menghindarkan kesalahan yang sama dengan penuh kesadaran. Dengan sikap demikian, pelajaran yang kita petik dari sejarah masa lampau akan memberi makna yang positif bagi kita semua, bukan menjadi beban yang berkepanjangan.
Pesan Pak Harto itu patut kita jadikan bahan renungan, bertepatan dengan suasana peringatan Hari Kesaktian Pancasila, hari ABRI dan juga dalam suasana duka menghantar jenazah almarhum bapak Sultan Hamengku Buwono ke peristirahatannya yang terakhir.
Banyak di antara kita sudah kurang mampu untuk berkata yang sebenarnya bahwa yang benar itu benar. Lebih-lebih untuk mengatakan bahwa yang salah itu salah. Dengan bersembunyi di batik istilah ”bertentangan dengan tata-krama”, “tidak selaras dengan budaya ketimuran yang adiluhung”, sering kita tidak mampu untuk berkata atau bersaksi dengan sesungguhnya.
Hal itu bisa dipahami kalau memang benar bertentangan dengan umpamanya keyakinan agama, adat istiadat, hukum dan sebagainya. Namun ketidak-mampuan itu justru selama beberapa kurun waktu belakangan ini lebih banyak diselimuti dengan itikad yang tidak mumi, juga kadangkadang karena tujuan politis.
Contoh kecil seorang tokoh dalam masyarakat, dalam lembaga pemerintahan umpamanya, jelas-jelas menyalahgunakan wewenang jabatannya, manipulasi dan korupsi dalam jumlah sangat besar serta merugikan rakyat banyak. Karena pertimbangan seperti disebutkan di atas, maka ia tidak ditindak.
Contoh seperti itu dalam beberapa waktu yang lalu sudah menjadi rahasia umum. Sehingga timbul ungkapan sinis: Pencuri ayam dihukum tiga bulan penjara, sedang koruptor besar, manipulator kakap, dibebaskan dari tuntutan.
Tampaknya sekarang sudah ada pergeseran pola pikir dan pola tindak. Petunjuk pak Harto melalui peringatan Hari ABRI ke-43 itu bisa kita terjemahkan sebagai “komando”. Stop dengan cara-cara penyelesaian permasalahan yang tidak terpuji itu Yang benar katakan benar, sebaliknya yang salah juga katakan salah.
Masalah sekarang adalah, sampai berapa jauh kita semua mampu untuk mengantisipasi seruan tersebut. Sebab, kalau tidak ditanggapi secara konkrit, maka seruan tinggal seruan, komando tinggal komando. Masalahnya menjadi cair dan menguap begitu saja seperti tidak pernah dikatakan. Ini berbahaya bagi pertumbuhan bangsa. Sebab yang diserukan itu seolah-olah dianggap angin lalu belaka. Seperti pepatah lainnya mengatakan Anjing menggonggong kafilah lalu.
Karena masalahnya masih hangat, sebaiknya para petugas aparat penyelenggara negara, khususnya para penegak hukum dan aparat ketertiban umum segera menanggapi dengan langkah-langkah nyata. Salah satu di antaranya adalah ”waskat” yang dewasa ini sedang digalakkan, harus dijaga jangan sampai mengendor.
Sebab sekali mengendor atau pudar, maka sulit untuk mengembalikan kepercayaan rakyat atas tekad pemerintah untuk menegakkan aparat birokrasi yang bersih dan berwibawa. Kita semua tentunya sepakat, bahwa benar atau salah dalam kondisi tertentu bisa saja menjadi relatif Tetapi setidak-tidaknya pasti ada tolok ukur yang bisa dijadikan patokan untuk menilai bahwa yang benar itu betul-betul benar, dan yang salah itu memang salah. Yang paling bisa bicara adalah hati nurani kita masing-masing.
Sumber : SUARA PEMBARUAN (09/10/1988)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku X (1988), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 434-435.