BERAPA LAMA SAYA HARUS MENGABDI
Jakarta, Kompas
KETIKA saya berkunjung ke Indonesia tahun 1988, Presiden Soeharto bertanya kepada saya, “Katakan pada saya, menurut Anda berapa lama saya masih harus mengabdi?” Bukan kebiasaan saya untuk lancang memberikan nasihat kepada seorang pemimpin dunia, apalagi seorang Presiden Soeharto yang berpengalaman dan terkenal.
Demikian dijelaskan Prof. Dr. Donald W. Wilson (52) dalam bukunya berjudul The Long Journey From Turmoil To Self-Sufficiency (LJFTS), yang diseminarkan di Jakarta oleh Yayasan Persada Nusantara, Selasa (12/6). Lebih lanjut, Wilson dalam bukunya menulis bahwa menghadapi pertanyaan Presiden Soeharto itu ia terdiam tidak bisa mengatakan apa-apa sedikit pun. “Ada senyum yang melintas di wajahnya,” tulis Wilson yang sekarang menjabat sebagai Rektor Universitas Pittsburg, AS. “Presiden Soeharto menunggu jawabannya dengan penuh kesabaran.
Saya duduk kurang dari tiga kaki (sekitar 1m) dari Presiden, dan saya sangat berharap bisa menghilang seketika pada waktu itu. Tapi ketika saya melihat ke arahnya, tampak sekali bahwa tidak ada niatannya untuk menjebak atau membuat saya malu.” Lebih lanjut Wilson menulis, Presiden Soeharto lebih tertarik akan jawa baruya dari pada pendapatnya. Kepada Presiden Soeharto ia berkata, “Bapak Presiden, apakahAnda boleh mengizinkan saya untuk menuliskan jawabannya kepada Anda setelah saya kernbali ke AS?”
Mendengar jawaban ini, Presiden Soeharto tertawa dan dengan senyumnya yang khas mengatakan, “Saudara Wilson, ini kan bukan karena Anda takut saya tidak akan membiarkan Anda meninggalkan negeri ini kalau jawabannya tidak berkenan buat saya, bukan?”
Pada halaman 117 buku yang diterbitkan Yayasan Persada Nusantara ini Wilson menulis, “Bukannya saya khawatir untuk menjawab pertanyaan tersebut, karena bagaimana mungkin saya memberikan suatu nasihat yang berarti? Kemudian saya mengatakan,” Bapak Presiden, Anda akan tahu kapan waktu yang tepat untuk mengundurkan diri.
Menggerakkan Indonesia dalam buku LJFTS, Wilson menjelaskan bahwa ucapannya itu sungguh-sungguh, dan percaya Presiden Soeharto akan memilih waktu yang tepat untuk mengundurkan diri. Tapi, ini tidak akan dilakukan sebelum terlaksananya seluruh persiapan untuk mengalihkan tongkat kepemimpinan kepada seseorang yang bisa menggerakkan Indonesia menuju tahapan selanjutnya pembangunan demokrasi.
Menurut Wilson, hebatnya Soeharto adalah ia berhasil meminimalkan kompetisi kepemimpinan. Tidak ada yang lebih membahayakan bagi masa depan Indonesia nantinya, selain perebutan kekuasaan antara persaingan partai dan perseorangan untuk jabatan kepresidenan. Indonesia memiliki banyak individu yang mampu melaksanakan kepemimpinan.
“Saya percaya Presiden Soeharto akan, kalau memang memungkinkan, melaksanakan transisi pada akhir jabatannya yang kelima, periode sekarang ini, sebagai presiden . Kalau dia bisa melakukan suatu transisi yang lancar dalam kerangka waktu ini dan sesuai dengan undang-undang dasar, saya percaya ia akan dikenang dalam sejarah Indonesia sebagai negarawan yang besar dan dinamis,” jelas Wilson.
Dikatakan, pendapat dan kepercayaannya pada masalah di atas didasarkan atas pengamatan serta indikasi yang tidak kentara bahwa waktunya akan tiba. Presiden Soeharto secara konsisten menekankan bahwa ia bukan presiden untuk seumur hidup, ia mengabdi sesuai dengan keinginan dan keputusan rakyat, serta akan tiba waktunya untuk menyerahkan jabatan kepresidenan kepada presiden yang berikutnya melalui proses konstitusi.
“Ia bukannya orang yang mudah tergoda dengan kekuasaan seperti yang dikira banyak orang Sebaliknya ia justru mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menjamin langgengnya kejayaan revolusi, mengabdi pada rakyat, dan keberhasilan bangsa,” tulis Wilson.
Ditawarkan Kepemimpinan
Pada bagian lain bukunya Wilson menjelaskan ada beberapa teori yang berkaitan dengan upaya kudeta pada tahun 1965 sebelum munculnya Orde Baru. Ada yang menyebutkan versi militer Indonesia, teori konspirasi tentara, teori aliansi gabungan dari elemen tentara dan Partai Komunis Indonesia (PKI), teori elemen-elemen Sukamois, teori Soeharto, dan teori kudeta CIA (Badan Intelijen AS).
Pada bab IV di bawah judul The Darkest Night, Wilson menjelaskan bahwa kudeta berdarah yang gagal dilakukan PKI pada tahun 1965 menjadi subyek interpretasi yang bertentangan dalam skala yang luas. “Ada yang mengatakan bahwa itu bukannya suatu kudeta, karena gerakan G30S/PKI itu ditujukan ke jenderal-jenderal bukan kepada pemerintah dan Presiden Soekamo “ tulisnya.
“Adalah pendapat saya dan percaya bahwa kenyataan serta alasanalasan rasional yang ada, sama sekali tidak mendukung anggapananggapan tersebut,” tulisnya lebih Ianjut. Sarna sekali tidak ada indikasi bahwa Soeharto mencari atau mendambakan kekuatan politik, apalagi kepresidenan. Tidak ada bukti sama sekali bahwa ia tidak setia kepada Presiden Soekarno.
Buku yang dipersiapkan Wilson selama sepuluh tahun lebih lanjut menjelaskan, di lain pihak, momentum dan kejadian-kejadian pada tahun-tahun tersebut telah menempatkan Soeharto pada posisi kekuasaan. “karena ia adalah orang penting, karena dia sangat dihormati, dan karena dia adalah salah satu dari sejumlah kecil orang yang melangkah maju dan menawarkan kepemimpinan dengan cara yang tenang, percaya, dan positif.”
Bisa Lebih
Sementara itu, Dr Anwar Nasution, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang bertindak sebagai moderator dalam diskusi tersebut kepada Kompas mengatakan, ia kecewa dengan buku tulisan Wilson setebal 220 halaman dan seharga Rp 30.000 itu. “Sebenarnya bisa lebih banyak yang diungkapkannya ketika bertemu dengan Presiden Soeharto,” jelasnya.
Buku LJFTS ini hanya membahas “pohon”-nya dengan cukup rinci, tapi tidak menggambar kan “hutan”-nya. “Sehingga esensi dari keberhasilan Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto tidak tertangkap sama sekali,” jelasnya, “Saya kecewa membaca buku ini. Karena, banyak achievement yang dicapai Soeharto tidak dijelaskan secara rinci olehnya.”
Menurut Anwar Nasution, banyak sebenarnya yang ingin tahu bagaimana sebenarnya Soeharto sebagai Presiden memilih sasaran jangka panjang dan jangka pendek dalam pembangunan. “Bagaimana ia menghadapi pressure group, bagaimana ia mengurangi beban orang miskin, atau bagaimana proses pengambilan keputusan oleh Presiden Soeharto. Ini yang tidak diuraikan dalam buku Wilson,” lanjutnya.
Dikatakan, kemajuan yang berhasil dicapai dalam pembangunan itu bukan hanya masalah sandang pangan atau program Keluarga Berencana, tapi juga misalnya masalah utang luar negeri. Hal yang sama juga dalam masalah pangan yang bukan hanya pupuk atau pestisida, tapi juga masalah distribusi, pemasaran, dan lainnya.
Di beberapa negara, devaluasi bisa menyatukan pemerintah yang berkuasa. “Tapi di Indonesia tidak, nah bagaimana ini bisa diatasi,” lanjutnya. Oleh karena itu, ahli moneter lulusan Universitas Indonesia ini berpendapat, kalau buku LJFTS ini dimaksudkan untuk melakukan ofensif informasi ke luar negeri tidak akan bermanfaat banyak.
Dan, di antara banyak buku yang ditulis orang asing tentang Indonesia, maka Anwar Nasution berpendapat LJFTS adalah the worse book yang pemah ditulis. “Kelebihan-kelebihan yang berhasil dicapai Presiden Soeharto hanya dicantumkan saja tanpa dipoles,” ujarnya.
Dengan 300-an judul daftar kepustakaan yang digunakan memang masih banyak yang harus dikerjakannya. Misalnya saja buku berjudul Makanan yang Sehat dan Beberapa Ichtiar yang Lain Buat Memeliharakan Kesehatan dan Menolong Menyembuhkan Penyakit karangan Dr Aulia, tanpa tahun, terbitan Balai Poestaka yang ada dalam daftar kepustakaan LJFTS, mungkin tidak ada relevansinya.
Sumber : KOMPAS (13/06/1990)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XII (1990), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 505-510.