BERLIN, KOTA PEMISAHAN DAN PENYATUAN
Jakarta, Pelita
PRESIDEN Soeharto hari ini dijadwalkan akan mengunjungi kota Berlin, yang semula menjadi kota perbatasan Jerman Barat dan Jerman Timur. Kunjungan Pak Harto dan rombongan ke kota tersebut adalah untuk yang pertama kalinya, dan beliau termasuk salah seorang di antara sedikit kepala negara di dunia yang telah mengunjungi kota tersebut setelah TembokBerlin diruntuhkan pada bulan Oktober 1989.
Berlin adalah lambang pemisahan Jerman menjadi dua bangsa setelah Perang Dunia Kedua.Namun, kini kota tersebut menjadi lambang bersatunya kembali dua Jerman yang dipisahkan oleh ideologi dan terutama oleh Tembok Berlin yang dibangun pada awal dekade 1960-an itu. Pantaslah jika kota tersebut dipilih oleh parlemen Jerman menjadi ibukota negara yang berpenduduk lebih 50 juta jiwa itu.
Pemilihan kota Berlin menjadi ibukota Jerman Bersatu sebenarnya hanyalah merupakan pengembalian kota tersebut kepada perannya semula, yaitu ibukota Jerman selama berpuluh tahun. Kota itu menyimpan sejutakenangan tentang kejayaan bangsa Jerman di masa lalu. Hal itu tampak dari bangunan-bangunan bersejarah dan monumen-monumen, suatu fakta historis yang tak mungkin terlupakan oleh bangsa Jerman, bahkan oleh dunia.
Dalam sejarahnya dari kota itulah bangsa Jerman memulai kebesarannya, menjadikannya sebagai salah satu bangsa paling terkemuka di dunia, dan dari kota itu pula bangsa Jerman memulai kehancurannya ketika tentara Jerman harus mengalami kekalahan pahit dalam Perang Dunia II. Kini, kota itu pula yang membuat bangsa Jerman bangkit dengan semangat baru, setelah menguburkan segala kenangan pahit eli masa silam.
DIANTARA kenangan yang paling pahit bagi bangsa Jerman mengenai kota tersebut adalah ketika dibangun Tembok Berlin oleh penguasa Jerman Timur yang komunis pada awal dekade 1960-an. Tembok Berlin secara mutlak memisahkan penduduk kedua Jerman itu, tidak hanya secara ideologis, tapi juga secara fisik. Banyak orang yang kehilangan, sanak saudaranya akibat tembok tersebut.
Barangsiapa yang berusaha melintasinya, dengan alasan apapun, harus mengalami nasib tragis. Dihukum menurut undang-undang yang berlaku, bahkan tidak sedikit pula yang harus kehilangan nyawanya ditembak oleh petugas patroli perbatasan yang memergokinya.
Runtuhnya Tembok Berlin merupakan pertanda akan bersatunya kembali kedua Jerman itu. Tanda-tanda itu tampaknya tidak dapat dikesampingkan atau dibantah oleh siapa pun juga. Warga Berlin Timur dan bahkan warga Jerman Timur pada umurnnya untuk pertama kalinya melihat dunia di luar mereka setelah runtuhnya tembok tersebut.
Mereka tercengang ketika melihat kemajuan-kemajuan yang tidak pernah mereka bayangkan selama ini. Ironis memang. Mereka menjadi terpisahkan oleh sejarah dan waktu yang sedemikian jauh, padahal mereka secara fisik berdekatan.
Hal ini merupakan dorongan kuat di kalangan rakyat Jerman Timur untuk tidak lagi mempercayai para pemimpin komunis yang berkuasa di sana. Makin lama penguasa komunis Jerman Timur semakin tidak populer, dan hanya selang waktu tidak lebih dari setahun setelah tumbangnya Tembok Berlin, kekuasaan komunis Jerman Timur lenyap tak berbekas. Meskipun sejumlah masalah bertumpuk di hadapan mereka, penyatuan kembali Jerman suatu fakta sejarah yang tak mungkin surut kembali. Ini semua berawal dari kota Berlin.
TETAPI tidak semua orang Jerman merasa senang dengan kembalinya Berlin menjadi ibukota negara itu. Terutama di kalangan kaum muda. Alasannya memang sederhana. Kota Berlin bukan tergolong kota modem yang lengkap segala fasilitasnya. Tentu sangat berlainan dengan kota Bonn, yang selama 40 tahun ini menjadi ibukota suatu negara yang secara ekonomis berada di antara deretan negara terkaya di dunia itu.
Bundestag, Majelis Rendah Parlemen Jerman, 20 Juni lalu menyetujui pemindahan ibukota pemerintahan dan parlemen negara itu dari Bonn ke Berlin setelah melalui perdebatan sengit yang berlangsung selama 11 jam. “Ini merupakan keputusan yang tepat. Bagi saya, keputusan iniadalah hal yang penting bagi masa depan Jerman,” kata Kanselir Jerman Helmut Kohl, seusai pemungutan suara itu.
Berdasarkan keputu san tersebut,Berlin akan berfungsi penuh sebagai tempat Pemerintah Pusat dalam waktu 12 tahun yang akan datang. Kanselir Kohl mengatakan,pemindahan ini akan berlangsung sekurang-kurangnya selama 10 tahun. “Itu tidak akan berlangsung dalam semalam. Kita masih mempunyai banyak komitmen di tahun-tahun mendatang. Kita mempunyai tanggungjawab moral terhadap Bonn, yang telah menjadi rumah bagi republik kita ini selama 40 tahun,tambahnya.
Para pemimpin pemerintahan, parlemen dan menteri kini sedangmenyusun rincian pemindahan tersebut. Tempat Majelis Tinggi (Bundesrat) baru akan ditentukan 5 Juli, hari ini, namun tampaknya akan mengikuti Bundestag, pindah ke Berlin.
Ketua parlemen Rita Suessmuth mengatakan dari 659 suara yang masuk, 337 suara di antaranya menyetujui pemindahan itu dan 320 suara menolak dan menginginkan agar ibukota itu tetap di Bonn.
BERLIN juga pernah menjadi ibukota jerman, yaitu sejak 1871 sampai berakhirnya Perang Dunia II. Berlin kembali menjadi ibukota Jerman 3 Oktober tahun lalu, ketika dua Jerman bersatu setelah terpisah selama 40 tahun.
Namun, berdasarkan perjanjian penyatuan yang ditandatangani pemerintah Jerman Barat dan Jerman Timur sebelum penyatuan, keputusan tentang ibukota pemerintahan itu akan ditetapkan kemudian. Bonn menjadi ibukota Jerman Barat pada tahun 1949 ketika Berlin Timur menjadi ibukota Jerman Timur yang komunis.
Sebelumnya, para anggota parlemen itu menolak dengan suara mayoritas sebuah rancangan kompromi untuk memisahkan pemerintahan dan parlemen di dua kota itu. Bundestag mendengarkan pidato-pidato bersemangat hasil dari lobi ketat di antara para pendukung kedua kota itu.
Kepada para wakil anggota parlemen dari lima negara bagian di Jerman Timur dan Berlin Timur yang bergabung ke dalam republik Federal 3 Oktober lalu itu,Kanselir Helmut Kohl mengimbau agar mendukung Berlin menjadi ibukota pemerintahan. Ia menyatakan Berlin memang kota yang sepi, namun mempunyai arti penting dalam Perang Dingin, dan mengingatkan banyaknya massa, sekitar satu juta orang, yang berkumpul di Reichstag (alun-alun) Berlin pada malam tanggal 2 Oktober untuk merayakan penyatuan itu.
“Saya kira jelas bagi setiap orang pada dalam itu bahwa Berlin seharusnya menjadi ibukota pemerintahan. Itu bukan kenang-kenangan sejarah, melainkan perasaan yang dapat ditularkan pada yang lain. Itu merupakan pengakuan bahwa Berlin adalah fokus pemisahan Jerman dan sudah lama menunggu penyatuan Jerman,”katanya.
Lobi Berlin terdiri atas tokoh-tokoh dari partai-partai utama, termasuk mantan Kanselir Sosial Demokrat yang juga bekas Walikota Berlin, Willy Brandt, mantan presiden dari partai sosial Demokrat, Hans-Jochen Vogel, dan Menteri Dalam Negeri Wolfgang Schacuble, dari Kristen Demokrat.
Sementara, para pendukung Bonn biasanya adalah remaja-remaja Jerman Barat, yang dengan kalimat-kalimat sandi menggambarkan kota itu sebagai sesuatu yang melambangkan demokrasi dan kestabilan Jerman, sementara Berlin merupakan lambang kegelapan.
Di antara mereka itu adalah ketua parlemen Rita Sucssmuth dari Partai Uni Demokrat Kristen (CDU) pimpinan Kohl dan Menteri Keuangan Theo Waigel, dari Partai Uni Sosial Kristen (CSU). (SA)
Sumber : PELITA(05/07/1991)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIII (1991), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 85-88.