Editorial
BUKAN DE-IDEOLOGI, DJUSTRU DIHARAPKAN KEMANTABAN [1]
Djakarta, Angkatan Bersendjata
Menurut harian “KAMI” (13 April) Ketua I DPP PNI Moh. Isnaeni kira2 berkata sbb. “Saja tdk setudju itu problem solving first, ideology later. Kalau begitu buat apa membangun negeri ini. Apakah sekedar kepentingan materiil. Apakah sekedar kebutuhan kebendaan”. Moh. Natsir beberapa hari jl. djuga mengatakan senada, bahwa membangun tanpa landasan ideologi adalah robot.
Menurut pendapat kami, bukan demikian jg dimaksudkan oleh orde baru. Bukan ideologi later, atau bekerdja tanpa landasan ideologi seperti robot. Tetapi djustru sebaliknya, supaya faham masing2 partai dimantabkan.
Bukankah kita sudah lebih dari dua puluh lima tahun hanja ribut atau berputar2 sekitar ideologi sadja, sehingga hampir2 melupakan pembangunan, jang berarti melupakan penderitaan rakjat, jang menurut pemeo sampai diibaratkan mengatakan “kapan Pak selesainya kemerdekaan ini”. Jang maksudnja kapan toh kehidupan ini mendjadi sedikit baikan. Malahan menurut tokoh Partai Katholik Lo SH Ginting: tudjuan berpolitik seharusnja adalah untuk mengabdi kepada kesedjahteraan umum (SU 15 April).
Menurut Pak Wilopo tokoh tua PNI jang salah adalah bila partai2 menganggap ideologi itu sebagai kuntji dari pada semua masalah. Ini tidak benar. Ideologi mesti dikadji, disaring, diteliti, ditimbang bila mau digunakan untuk memetjahkan suatu masalah kenegaraan. Bahkan kadang2 dalam menghasilkan suatu pemetjahan masalah unsur ideologi itu samasekali tidak kelihatan.
Ideologi hanja memberi arah jang benar sadja, kepada pemalaknja”. Memetik peladjaran dari pengalaman pahit dimasa2 pra gestapu dan sebelumnja, kita fikir bukankah kita semua kini sudah menjetudjui Pantjasila dan UU 45 sebagai landasan ideologi, jang didalamnja sudah mengandung “freedom of believe” serta menghormati faham masing2 golongan masjarakat.
Oleh karena itu kami tidak sependapat dengan Pak Wilopo jang mengatakan “Tidak bisa semua partai politik musti tidak punja ideologi ketjuali Pantjasila tok”. Sungguh tak pernah kita bermimpi demikian, melarang adanja ideologi lain seperti Marhaenisme atau lainnja.
Kita hanja mengharapkan, semoga sesudah 25 tahun kemerdekaan ini djustru faham masing2 partai telah mendjadi mantab. Kemudian kita mengalihkan perhatian kita kepada pembangunan negara dan kesedjahteraan umum jang sudah terlalu amat lama kita lupakan itu. Dan seperti dikatakan oleh Lo SH Ginting tsb diatas djustru mendjadi tudjuan dari kehidupan kepartaian jang sehat.
Inilah makna dari adjakan development-orientedness partai2 dan massa rakjat. Development orientedness bukanlah dimaksudkan untuk ideologi, melainkan sebaliknja. Agar ideologi masing2 golongan dimantabkan, sehingga ia tidak lagi mendjadi masalah untuk dipertengkarkan lagi. Djangan politik didambakan. Djangan “politic heavy” dan ideology centries menurut istilah Pak Frans Seda. (DTS)
Sumber: ANGKATAN BERSENDJATA (17/04/1971)
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku II (1968-1971), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 705-706.