Cara Terbaik Adalah Dialog

Jakarta, 21 Mei 1998

Kepada

Yth. Bapak H. M. Soeharto

di Jakarta

CARA TERBAIK ADALAH DIALOG [1]

Saya merasa simpati terhadap Bapak, karena saya seorang yang tahu diri. Saya anak seorang veteran pejuang kemerdekaan RI, yang memilih setelah kemerdekaan menjadi guru SD yang tidak selalu menuntut gaji seperti guru sekarang.

Saya merasa iba karena Bapak minta berhenti sebagai presiden secara terhormat. Saya mendoakan agar Bapak tabah dalam menghadapi musibah yang terjadi sekarang ini. Mungkin Tuhan Yang Maha Esa telah menakdirkan bahwa Bapak harus meninggalkan kepresidenan pada tanggal, bulan, dan tahun yang Bapak tentukan untuk minta berhenti secara kesatria sebagai pejuang yang tangguh dan menghadapi ancaman di segala bentuk.

Saya merasa iba dalam bangga akan ketenangan Bapak dalam membaca situasi. Tapi atas pengorbanan Bapak yang gigih, ada pihak lain yang tidak bertanggung jawab dan memanfaatkan situasi untuk menghancurkan cita-cita Bapak. Apa mungkin isme-isme PKI menyusup pada mahasiswa untuk berdemonstrasi, yang akhirnya perekonomian negara yang dipimpin Bapak jadi kacau, atau dalam Kabinet Pembangunan VII ada yang janggal. Sehingga dipakai kesempatan oleh orang-orang Barisan Sakit Hati menggerakkan mahasiswa yang mengatasnamakan “Pejuang Reformasi”.

Menurut saya pejuang reformasi bukan begitu caranya. Cara yang terbaik adalah dialogis dan kekeluargaan melalui forum-forum khusus yang ditentukan. Bapak terlalu percaya pada Bapak Harmoko, padahal Bapak sebenarnya dulu mau berhenti. Akhirnya sekarang ketiban pulung. Dolar makin menggila, harga barang-barang kebutuhan pokok membubung tinggi, sehingga rakyat kecil menderita. Kesempatan ini yang dipakai oleh orang-orang licik. Memang politik itu kejam.

Dan Bapak ketahui, kebringasan massa di ibu kota seperti pembakaran besar-besaran adalah persis ala PKI. Saya setuju ABRI bertindak tegas terhadap oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.

Semoga Bapak dan keluarga ada dalam keadaan sehat wal afiat dan dilindungi oleh Tuhan Yang maha Esa. (DTS)

Wassalam,

Iskandar Zulkarnain

Majalengka – Jawa Barat

[1]     Dikutip langsung dari dalam sebuah buku berjudul “Empati di Tengah Badai: Kumpulan Surat Kepada Pak Harto 21 Mei – 31 Desember 1998”, (Jakarta: Kharisma, 1999), hal 755-756. Surat ini merupakan salah satu dari 1074 surat  yang dikirim masyarakat Indonesia dari berbagai pelosok, bahkan luar negeri, antara tanggal 21 Mei – 31 Desember 1998, yang menyatakan simpati setelah mendengar Pak Harto menyatakan berhenti dari kursi Kepresidenan. Surat-surat tersebut dikumpulkan dan dibukukan oleh Letkol Anton Tabah.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.