DAUD BEUREUEH MENINGGAL DUNIA
Banda Aceh, Prioritas
Tokoh ulama besar Aceh, Abu Daud Beureuh, Rabu pukul 19:45, menghembuskan nafas terakhir di rumah sakit Dr Zainoel Abidin Banda Aceh setelah tidak sadarkan diri selama tiga hari sejak Senin malam. Bekas tokoh nomor satu Darul Islam/Tentara Islam Indonesia ini meninggal dalam usia 88 tahun.
Jenazah almarhum menurut rencana akan dimakamkan hari ini di kampung halamannya Beureneuh, kecamatan Mutiara, Kabupaten Pidie, di halaman Masjid Baitul Aqla, yang terletak 137km dari Banda Aceh. Malam itu juga jenazahnya dibawa pulang oleh keluarganya dari rumah sakit.
Sejak masuk ruang gawat darurat (ICU) RS Zainoel Abidin Senin malam, almarhum sempat bangkit sadar diri dan mengucapkan lafadz: ‘Allahu Akbar’. Demikian keterangan Dr HT Hanafiah yang merawat beliau bersama tiga dokter lainnya.
Tokoh terkemuka Aceh ini, menurut tim dokter yang merawatnya, menderita komplikasi, di samping usianya sendiri yang sudah sangat lanjut.
Sejak dirawat hingga meninggalnya, ribuan masyarakat Aceh datang ke rumah sakit namun tidak diperkenankan masuk menjenguk oleh tim dokter. Hadir pada saat jenazah diberangkatkan dari rumah sakit Kapolda Aceh Kol Pol Abdullah Muda, Wakil Gubemur Aceh M Asyiek, Ketua Majelis Ulama Aceh Prof Ali Hasyimi, bekas Menteri Luar Negeri DI/TII Hasan Ali dan sejumlah besar tokoh-tokoh masyarakat Aceh lainnya.
Almarhum meninggalkan tiga orang isteri dan 12 orang anak.
Berjuang
Daud Beureueh dikenal sebagai tokoh yang sejak muda terus berjuang dengan keyakinan agama. Pada tahun 1930 dia membentuk organisasi Jamiah Diniyah dan mendirikan Pesantren Saadah Abadiah di Blang Paseh, Sigli.
Pada 1939 tokoh kharismatik ini mendirikan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) di mana dia terpilih menjadi ketuanya untuk beberapa kali. Dengan PUSAnya sejak berdiri dia terus menentang feodalisme. Dia pemah elitahan Jepang.
Daud yang dikenal tidak pernah sekolah tapi tidak buta huruf itu, pada awal Proklamasi Kemerdekaan diangkat oleh Presiden RI pertama Soekarno, menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Dia kemudian membentuk laskar perjuangan Mujahiddin.
Pada saat agresi Belanda I 1947, oleh Wapres almarhum Moh Hatta, Daud diangkat menjadi Gubemur Militer untuk daerah Aceh, Langkat dan Tanah Karo.
Pada awal 1950, ketika propinsi Aceh digabungkan dengan Sumatera Utara, Daud diangkat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Jakarta, namun dia tidak pernah menduduki jabatan itu. Tahun 1953 dia memimpin pemberontakan DII/TII di Aceh.
Pada saat itu, oleh Kartosuwiryo, Presiden “Negara Islam Indonesia”, dia diangkat menjadi wali negara bagian Aceh. Selama kurang lebih sembilan tahun, Daud memimpin pemberontakan melawan pemerintah pusat di Jakarta.
Pada 1982, dia membangun mesjid di kampong halamannya, Beureuh, dengan dana yang sebagian besar berasal dari Presiden Soeharto.
Dan beberapa hari sebelum Pemilu lalu berlangsung, dia membuat pernyataan agar masyarakat Aceh memilih Golkar. Pernyataan ini dinilai banyak pengamat sebagai “mengejutkan”. Apalagi karena dia memang telah lama sekali mengambil sikap diam.
Sumber: PRIORITAS (11/06/1987)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku IX (1987), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 791-792