DAUD BEUREUEH TELAH TIADA
Jakarta, Kompas
Aceh, dan Indonesia, hari Rabu kehilangan salah seorang ulamanya yang ternama, Teungku H. Daud Beureueh. Bekas pejuang kemerdekaan yang kemudian memainkan peran kontroversial dalam panggung sejarah itu, tutup usia Rabu malam pukul 19.45 WIB di RSU Zainoel Abidin, Banda Aceh dalam usia 88 Tahun.
Kamis ini pukul 14.00 WIB almarhum yang pemah mengguncang Indonesia dengan memimpin pemberontakan Dl/TII di Aceh tahun 1953-1962, akan diistirahatkan untuk selamanya di mesjid Baitul Ala Lil Mujahiddin yang dibangunnya di kampung halamannya, Desa Beaureuneuen. Kabupaten Pidie, sekitar 100km timur Banda Aceh.
Dr T. Hanafiah, Direktur RSU Zainoel Abidin menjelaskan Rabu malam almarhum digerogoti komplikasi penyakit gula dan paru-paru di hari tuanya. Fisik almarhum memang sangat menurun sejak tahun 1982.
Almarhum pergi tanpa meninggalkan pesan akhir, karena tak sadarkan diri sejak Sabtu lalu. Begitu mendengar keadaan almarhum parah, RSU Zainoel Abidin segera mengirimkan ambulans menjemput almarhum hari Senin, dirawat tim dokter Ibnoe Chatab (ahli penyakit dalam), Dr. Darini (ahli jantung) dan Dr. T. Muad (ahli paru paru).
Ketika berita sakitnya diketahui masyarakat hari Selasa, berbondong-bondong orang mendatangi RSU Zainoel Abidin, tetapi hanya bisa menyaksikan tokoh yang pemah amat dipuja di Aceh itu dari balik kaca ruang gawat darurat.
Kalaupun ada pesan akhir almarhum, itu terjadi 27 Januari 1987 ketika dalam keadaan sakit ia menerima Menteri Bustanil Arifin yang diutus Presiden Soeharto untuk menjenguknya. Melalui Bustanil, almarhum menitipkan pesan kepada Presideh untuk tetap bertindak tegas melawan komunisme, dan tidak memberi peluang bagi bangkitnya kembali komunisme. ia juga berpesan, agar pembangunan agama tetap mendapat tekanan penting.
Merenungkan
Pada saat-saat akhir hidupnya, almarhum ditunggu satu dari ketiga isterinya. Hajjah Asiah yang dikenal dengan julukan Nyak Beureueh. Dua istrinya yang lain, Halimah dan Hajjah Asmah, sudah mendahuluinya, Almarhurn. meninggalkan 11 orang anak. Semalam, ribuan warga masyarakat telah melayat ke RSU Zainoel Abidin. Tampak pula Wagub DI Aceh, Mohammad Syah Asyik.
Rektor Unsyiah Dr Abdullah Ali MSc, Ketua MUI Aceh Prof A. Hisjmy dan sejumlah tokoh tua lain, termasuk bekas Menteri Pertahanan DI/TII, Abu Hassan Ali. Gubernur Aceh, Ibrahim Hasan sedang berada di Jakarta.
Prof A. Hasjmy mengenang “al-marhum bukan hanya sebagai ulama dan pemimpin di Indonesia, tetapi juga ASEAN. “Kepergiannya merupakan kerugian besar bagi umat Islam di Asia Tenggara. Dia adalah pemimpin yang pantas diteladani,” ujarnya.
Abu Hassan Ali nampak emosional di sisi jenazah almarhum .Matanya berkacakaca. “Kehilangan seorang pemimpin besar yang sulit dicari bandingannya. Ini adalah saatnya kita merenungkan kembali makna kepemimpinan Daud Beureueh bagi negara Indonesia umumnya dan Aceh khususnya, “katanya dengan suara serak.
Bekas Menteri Pertahanan Dl/TII itu menandaskan, Daud Beureueh adalah seorang nasionalis sejati. Dia adalah satu-satunya pemimpin waktu itu yang menolak penggabungan Aceh dengan Negara Federasi bentukan Belanda. Pada saat. Yogyakarta, Ibu Kota RI, jatuh ke tangan Belanda tahun 1949, Daud Beureueh mengumandangkan adanya wilayah RI di Aceh.
“Daud Beureueh juga secara tegas menolak ajakan Sultan Mansyur dari Sumatera Timur tahun 1949 untuk membentuk Negara Bagian, karena ia berprinsip Aceh harus tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Indonesia,”tegasnya.
Reformis
Peran Daud Beureueh kini memang hanya tingal penggalan sejarah, tetapi amat banyak untuk memahami betapa kaya dan beranekanya, wawasan maupun kepribadian para pemimpih Indonesia di masa silam.
Antara tahun 1945-1949 ia memimpin rakyat Aceh dalam perang kemerdekaan. Ketika Yogyakarta di duduki Belanda, dan Pemerintah RI berkedudukan sementara di Bukit tinggi, Angkatan Laut Belanda mencoba mengepung Sumatera termasuk Aceh.
Daued Beureueh bergerak dari Aceh mendobrak blokade tersebut, bahkan berhasil membuka jalan perdagangan ke Pulau Jawa dah luar negeri. Wakil Presiden, Bung Hatta mengangkatnya menjadi Gubemur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo 1947-1950, dan antara 1947-1948 menjadi Panglima Divisi X TNl Sumatera.
Tetapi tuntutannya akan otonomi penuh bagi Aceh, serta keistimewaan nyata bagi Aceh di bidang agama dengan memberlakukan Syariah Islam, tidak diterima oleh Pemerintah RI. Padahal menurut buku Tgk M. Daud Beureueh karangan M. Nur El Ibrahimy, Presiden Soekamo pernah secara eksplisit menjanjikan pemenuhan tuntutan itu tahun 1949 kepada Daud Beureueh.
Kecewa terhadap Bung Karno yang biasa menyapanya dengan “kakak”.
Daued Beureueh mencetuskan pemberontakan DI/TII tanggal 21 September 1953, dengan sebuah proklamasi yang menyatakan Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia. Dalam sebuah episode sejarah yang penuh misteri, tahun 1962 Daued Beureueh bersama pengikutnya ke luar dari hutan dan kembali ke pangkuan Negara Kesatuan RI, dengan mendapat amnesti massal dari Presiden Soekarno.
Babak kehidupan ini seakan-akan meletakkan ia sebagai tokoh separatis dalam perjalanan sejarah RI, bertolak belakarig dengan citra kehadirannya di masa perang kemerdekaan. Tetapi apa pun penamaan yang sah bagi dirinya, Daud Beureueh adalah seorang nasionalis.
Dan meski pernah menempuh jalan radikal melalui pemberontakan bersenjata, Daued Beureueh pada dasamya seorang reformis dan moderat. Bahkan sejak awal 1930an ia merintis pembaharuan pendidikan Islam modern di Aceh. POESA (Persatuan Oelama Seluruh Aceh) yang dipimpinnya tahun 1938-1942 adalah organisasi berhaluan moderat. Ketika menjadi Gubemur Aceh tahun 1950-1951 ia mendatangkan banyak teknokrat dari luar Aceh, termasuk dari Jawa.
Yang pasti, ia adalah ulama besar yang bertumbuh secara mengagumkan dari seorang rakyat biasa. la praktis tak pernah menjalani pendidikan formal, kecuali Dayah Tinggi di le Leubeue, Kabupaten Pidie, semacam lAIN sekarang. Dengan berbekal penguasaan huruf Arab, ia menimba pengetahuan yang luas, dan memberi alur pada lahirnya pendidikan modern di Aceh.
Tahun 1978, ia mulai menyusut dari panggung politik, meninggalkan Aceh dan tinggal di Jakarta hingga tahun 1982 untuk menjalani perawatan kesehatan. Tahun 1982 ia kembali ke Aceh, dan memilih tinggal di desanya, membangun mesjid, pondok pesantren, jalan raya, saluran irigasi, dengan mengajak rakyat bergotong royong. Ketika Kompas bertamu ke desanya itu bulan April 1976, Daud Beureueh mengatakan ia menjalani sisa hidupnya dengan bekerja keras untuk mengubur kekecewaan.
Tetapi di bulan-bulan terakhir sebelum tutup usia Daud Beureueh menyatakan bangga dengan Aceh dan Indonesia sekarang.
Sumber: KOMPAS (11/06/1987)
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku IX (1987), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 792-795