DEMOKRATISERING ABRI VIA KEANGGOTAAN DPR-MPR
Pemimpin2 Militer Jang Berkuasa Di Indonesia Lebih Demokratis Dari Pada Mereka Jang Berkuasa Di Burma Dan Mung Thai. [1]
Oleh:Widya
Djakarta, Angkatan Bersendjata
Benarkah pendapat setengah orang, bahwa makin banjak anggota ABRI duduk di DPR dan MPR, makin meluas demokratisering ABRI dan makin ketjil bahajanja terhadap militerisme?
Baiklah Kita Selidiki Kebenarannja
Jang djelas ialah, bahwa pendapat tsb. djauh berbeda dengan pendapat sebahagian besar dari pada para partai politisi di DPRGR, jang menginginkan supaja djumlah karjawan ABRI di DPR dan MPR ditekan seminimal2nja, antara 5 dan 10 persen dari djumlah anggota DPR – MPR semuanja. ada wakil dari parpol jang minta supaja karjawan ABRI setjepat mungkin kembali ke kandang menurut fungsingja semula. Koq meningatkan kita kepada orang Djerman jang bilang : “der Mohr kann gehen, der Mohr hat saine Schul tigkek getan”. Orang Mor boleh pergi; dia telah melakukan kewadjibannja.
Alasan jang dikemukakan oleh para partai politisi tadi ialah tuntutan demokrasi. Demokrasi jang murni menurut anggapan mereka, tidak mengenal badju hidjau dibadan perwakilan rakjat, walaupun diakui setjara rasionil bahwa pemakai badju hidjau itu djuga wakil sekelompok rakjat. Tetapi badju hidjau ini setjara irrasionil dianggap sebagai momok militerisme atau menurut istilah modem: momok dominasi ABRI.
Benarkah pendapat para partai politisi diatas?
Untuk menimbang kebenaran dua pendapat jang berlawanan itu kita harus berani melihat fakta2 setjara djudjur.
Baiklah kita sebentar melihat kepada fakta2 sedjarah.
DJAMAN REVOLUSI FISIK. 1945 -1950. Partai2 mulai tumbuh. KNIP dan Kabinet disusun dari partai politisi. Partai2 menderita penjakit kanak2. Situasi konflik antar partai jang berebutan kursi kekuasaan. Kabinet djatuh bangun. Tidak ada stabilitas politik. peristiwa 3 Djuli, disusul pemberontakan PKI. Disusul serbuan KNIL dan KM. Belanda. ABRI bertahan diri Panglima Besar SUDIRMAN menjatakan: “Satu2-nja modal Revolusi jang kompak adalah TNI.”
Djaman survival- 1960. UUD 1945 ditenggalkan. Diganti UUD RIS dan UUD Sementara R.I. Tendensi kearah demokrasi liberalisme, demokrasi kekanan-kananan. Keadaan partai2, DPR dan Kabinet tetap sama. Tidak ada stabilitas politik dan ekonomi. Inner Ipke Conflicten. Pemberontakan2 DI/ TII, PRRI, PERMESTA. Pertjobaan2 pembunuhan Presiden.
ABRI tetap dialat-politikkan. Protes ABRI jang menjuarakan desakan “kembali ke UUD 45” dan, “berhentikan perebutan kursi kekuasaan oleh partai2 jang tidak sehat” dan “kembali ke ideologi Pantjasila”. Peristiwa 17 Oktober 1952, dan peristiwa pengangkatan Kepala Staf Angkatan Darat 1955, menggambarkan konflik antara ABRI dan partai politisi. DJAMAN MANIPOL-USDEK 1960 -1966. Kembali ke UUD 45. ABRI sebagai anak Kandung Revolusi mendapat tempat dibidang eksekutif dan legislatif selaku golongan karja murni.
Lahirlah tertjapai stabilitas politik dengan ditandatangani Deklarasi Bogor, ikrar persatuan sepuluh partai. Rochaniah tetap mendidih panas. Tendensi kearah demokrasi kekiri-kirian. Dominasi militerisme PKI. Kultus individu. PKI menjuarakan kontrev mau mengganjang dan menghapuskan golongan karya ABRI. Pada suatu pihak ABRI diumpankan dalam konfrontasi dengan Malaysia dan pada pihak lain ABRI dipetjah belah.
Konflik situasi timbul antara ABRI sebagai pengawal Pantjasila dan PKI dkk sebagai penjeleweng Pantjasila. Meledak dengan peristiwa G-30-S. ABRI dibantu oleh rakjat Pantjasila dapat mengatasi konflik itu. Kemudian lahir SUPER SEMAR dengan Kabinet Amperanja.
DJAMAN ORBA 1960 seterusnja. Situasi konflik baru timbul berhubung dengan ngototnja Presiden SUKARNO untuk mempertahankan persatuan NASAKOM-nja. Konflik ini alhamdulillah bisa diselesaikan oleh Sidang Istimewa MPRS jang telah memutuskan untuk mengangkat djendral SOEHARTO mendjadi Pedjabat Presiden pada tgl. 12 Maret 1967.
Sekianlah fakta2 sedjarah. Njatalah, bahwa Golkar ABRI adalah suatu “historische noodwendigheld”, suatu keharusan sedjarah. Karena demonstrasi kita bukan demokrasi liberalisme kekanan-kananan, dan bukan demokrasi terpimpin kekiri-kirian. Demokrasi kita ialah demokrasi Pantjasila jang mempunjai tjiri2 chas jakni: musjawarah, mufakat dan perwakilan.
Maka dari itu sangat disesalkan, bahwa didjaman ORBA ini di DPRGR masih didengarkan suara mau “get-out”-kan Golkar ABRI dari lembaga perwakilan rakjat. Suara ini tidak realistis dan tidak rasionil. Nadanja memperingatkan kita kepada partai kekanan-kananan dizaman “survival” dan kepada partai kekiri-kirian dizaman Manipol. Suara itu bisa menimbulkan kesan, seolah2 mau memantjing lagi situasi konflik peristiwa konflik 17 Oktober 1952 atau peristiwa G-30-S. Suara itu tidak bidjaksana, ontaktis.
Adalah bidjaksana untuk memperhatikan kembali pidato alm. djendral ACHMAD JANI pada pembukaan Seminar AD di Bandung tgl. 3 April 1965 sbb.:
“Setelah pengakuan kedaulatan, maka dalam alam demokrasi liberal pada masa itu, AD (batja ABRI), senantiasa hendak didesak oleh golongan2 tertentu utk. di-DEGRADASIKAN mendjadi alat Pemerintah belaka. Teranglah, bahwa djiwa TNI-AD (batja (TNI-ABRI) jang murni dengan loyalitas dan toleransi jang bagaimanapun djuga tidak dapat menerima penghinaan ini. Dalam pergolakan2 jang ditjetuskan atau disertai oleh anggota2 AD (batja ABRI), betapa negatif-pun pada hakekatnja selalu dapat dilihat djiwa TNI AD (TNI-ABRI) jang tidak sudi menerima DEGRADASI tsb.”
Oleh karena itu alangkah bidjaksananja, demi kekompakan pendukung2 ORBA djika suara negatif untuk “mengandangkan kembali Golkar ABRI ke fungsinja semula” ditarik kembali atau setidak2nja dianggap tidak ada.
Suara “mengandangkan kembali” djuga memperingatkan kita kepada kritik TRUMAN terhadap pentjalonan djendral EISENHOWER sebagai presiden dalam bukunja Memoirs, bagian II, Years of Trial and Hope. sbb.:
“Satu alasan, bahwa kita begitu berhati2 untuk menempatkan para militer didalam kandangnja sendiri (to keep the military within its own preserve) ialah bahwa chodrat dari pada hierarki djabatan tidak memberi kesempatan banjak kepada para komandan militer utk beladjar BERENDAH HATI jang diperlukan buat melajani kepentingan rakjat banjak. Setiap orang jang muntjul karena proses pemilihan politik mengerti bahwa sukses adalah tjampuran dari prinsip2 jang dipertahankan kuat2, dan penilaian jang dibuat pada waktu serta tempat jang tepat, penilaian untuk kondisi2, bukan penilaian dari prinsip2. Ini adalah hal2 jang tidak dipeladjari oleh seorang perwira militer didalam perdjalanan djabatan militernja. Kata2 jang mendominasi pikirannja ialah “perintah” dan “taat” dan pengertian militer dari kata2 ini bukan pengertian buat ditrapkan disuatu republik”.
Nah, andai kata kritik TRUMAN ini benar, bahwa perwira tidak mengenal berendah hati (humility), maka DPR dan MPR, jakni gelanggang musjawarah dan mufakat antara wakil2 golongan rakjat merupakan tempat latihan utama bagi karyawan ABRI untuk menguasai dan mengetrapkan sifat humility, rendah hati, jg. diperlukan buat melajani kepentingan rakjat, berkat pergaulan jang ramah tamah dengan para politisi jang berpengalaman.
Atau kesimpulannja, lebih banjak karyawan ABRI di DPR dan MPR, lebih segar dan luas pengaruh demokrasi murni kepada ABRI, dan lebih tipis kansnja bagi muntjulnja militerisme.
Bahwa, dalam realitasnja pradjurit2 ABRI berbakat demokrasi, telah disaksikan oleh penindjau2 bangsa asing, antara lain oleh ULF SUNDHAUSEN, jang datang di Indonesia untuk membuat studi tentang peranan militer dalam dunia politik di Indonesia, dan jang menjatakan pendapatnja seperti dikutip pada permulaan tulisan ini.
Dimanakah dunia ada perwira dalam pakaian seragam komplit, menghormati kenalannja sipil dengan ketawa lebar dan membongkokkan badan dan mengajunkan djempolnja, ketjuali di Indonesia? Bukankah ini gedjala demokrasi murni dikalangan ABRI? (DTS)
Sumber: ANGKATAN BERSENJATA(16/03/1967)
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku I (1965-1967), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 481-485.