DEWAN KEHORMATAN PWI: WARTAWAN PERLU
“BACK TO BASIC“ [1]
Jakarta, Antara
Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (DK PWI) menyerukan supaya pers nasional “back to basic” dalam arti melaksanakan etika jurnalistik secara konsekuen dan konsisten. Dalam siaran pers yang ditandatangai Ketua DK PWI Sjamsul Basri dan Sekretaris RH Siregar, S.H. di Jakarta, Selasa, diserukan juga supaya jajaran pers nasional mampu menjadikan kode etikjurnalistik seperti halnya dengan hukum yang bersifat mengikat terhadap dirinya.
“Tanpa memperlakukan etika jurnalistik seperti itu, dikhawatirkan para wartawan tergoda melakukan praktek-praktek pers yang tidak sehat dan tidak bertanggungjawab,” demikian tulis siaran pers menjelang Hari Pers Nasional 19 Februari 1994 itu.
Lebih-lebih lagi, katanya, dalam era globalisasi dan keterbukaan serta makin tajamnya sorotan masyarakat luas terhadap pers nasional akhir-akhir ini, maka pentaatan terhadap kode etikjurnalistik PWI menjadi sangat mutlak.
DK PWI hasil Kongres XIX di Bandar Lampung dalam sidangnya yang pertamakali pekan lalu secara khusus juga membahas masalah kebebasan pers dan keterbukaan supaya segala sesuatunya itu selalu didasarkan pada ketentuan kode etikjurnalistik.
Terutama, Ianjut siaran pers itu, mengenai kepribadian, pertanggungjawaban, cara pemberitaan dan menyatakan pendapat, kedudukan sumber berita, pelanggaran kehidupan pribadi (privacy), sensasionalitas, immoral, melanggar kesusilaan, hak jawab dan asas praduga tak bersalah. Selain itu dibahas juga masalah bagairnana menghindari pengadilan oleh pers (trial by the press) dan masalah Jain yang sudah diatur dengan jelas dan tegas dalam etika profesi wartawan. Dewan juga mengingatkan pendapat yang dikemukakan Presiden Soeharto sewaktu menerirna pengurus pusat PWI di Istana Merdeka, yang mengatakan bahwa sekarang banyak yang ingin menjadi wartawan hanya untuk sekadar menggunakan kebebasan dan keterbukaan.
Jangan Salah gunakan Keterbukaan
DK PWI juga mengimbau agar segenap jajaran pers nasional jangan sampai menyalahgunakan keterbukaan yang telah berkembang dengan baik, dan hal itu hanya bisa dilakukan apabila para wartawan tetap berpegang teguh kepada etikajurnalistik sebagai landasan profesinya.
DK PWI meminta sumber berita yang merasa dirugikan oleh berita, tulisan, gambar, dan lain-lain supayajangan “main hakim sendiri”, sebaliknya agar mengadukan hal itu kepada DK-PWI. Seperti dikemukakan Menteri Penerangan Harmoko dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR-RI, bahwa yang menjadi “polisi” bagi pers adalah Kode Etik Jurnalistik PWI. DK PWI menyadari sepenuhnya bahwa jajaran pers nasional sedang mengalami transformasi yang menyeluruh akibat kemajuan teknologi imformasi dan komunikasi, pergeseran nilai sesuai dengan arus globalisasi secara secara internal menghadapi dinamika keterbukaan.
Oleh karena itulah DK PWI menyerukan supaya jajaran pers nasional “back to basic” dalam arti melaksanakan etika jurnalistik secara konsekuen dan konsisten. Sesuai dengan imbauan Kepala Negara maka saringan penerimaan wartawan akan ditingkatkan dengan ujian serta pendidikan, disamping menanamkan kode etik jurn alistik secara terus menerus. DK PWI berpendapat dengan adanya keputusan Kongres XIX PWI di Bandar Lampung yang pada prinsipnya menerima wartawan televisi dan radio swasta menjadi anggota PWI, maka KEJ-PWi juga harus menjadi acuan etis media elektronik dan media siaran. (Tz-PU-02/1:28PM 2/8/94/DN02- 8/02/9414:04/RU3)
Sumber: ANTARA(OS /02/1994)
______________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVI (1994), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 703-704.