DIA DIKENAL KUKUH, TAAT ASAS

DIA DIKENAL KUKUH, TAAT ASAS[1]

Jakarta, Suara Karya

MANA MUNGKIN saya bisa melakukan tugas presiden, saya merasa kurang mampu untuk memegang kepercayaan yang begitu besar, kata Pak Harto ketika sementara Presiden. Pak Harto yang rendah hati itu ternyata dipercaya oleh rakyat sampai kini, tetap memimpin Republik yang berpenduduk lebih dari 185 juta jiwa. Pak Harto terpilih sebagai Presiden tercatat 6kali, sekali sebagai pejabat presiden untuk masa setahun dan sekali sebagai Ketua Presidium Kabinet Ampera untuk masa sekitar setahun juga. Pada tahun 1967 Pak Harto sudah memancing kekaguman pihak-pihak di luar negeri. Pers Jerman misalnya melalui surat kabar Handelsbladtt yang terbit di Dusseldorf mengatakan, “Jenderal Soeharto sebagai jenderal yang selalu tersenyum, terlalu Jawa, tidak suka kekerasan dan berjalan terus pantang mundur”.Die Welt di Hamburg menilai Pak Harto suka damai, dan musyawarah serta jujur. Pak Harto menerima kepercayaan yang paling besar dari rakyat Indonesia ketika para wakil rakyat di MPRS melihat kepiawaian Pak Harto mengatasi begitu besar kemelut setelah pemberontakan PKl. Sejak menerima Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) Pak Harto mengambillangkah-langkah penting yang membawa negara dan bangsa ini menuju perbaikan. Ia misalnya dengan berani mengambil keputusan membubarkan PKl, hanya satu hari setelah menerima Supersemar itu, yakni pada 12 Maret 1966. Pembubaran PKl pada waktu itu adalah masalah yang palingberat, karena Bung Karno menolak melakukannya. Bung Karno merasa kehilangan muka jika membubarkan PKl karena ia telah melancarkan penyatuan ideologi bangsa melalui Nasakom (Nasionalis, Sosialis dan Komunis). Program Nasakom itu telah pula dikenal luasdi seluruh dunia bahkan ketika itu juga dikagumi.

Namun Pak Harto mempunyai keyakinan untuk membubarkan PKl, karena partai komunis initelah dua kali mengkhianati bangsa dan memberontak. Pemberontakan pada 30 September 1965 oleh PKl dirasakan sebagai suatu yang paling menyakitkan  bangsa Indonesia. Keadaan menjadi kacau, ekonomi tidak terkendali sehingga inflasi sampai 600 persen setahun. Disamping itu, terjadi pembunuhan di mana-mana. Pak Harto mengambil berbagai keputusan penting setelah itu, sehingga keadaan negara kemudian berangsur-angsur mulai terkendali. MPRS melihat langkah-langkah yang diambil Pak Harto sebagai Ketua Presidium Kabinet Ampera perlu dikukuhkan. Para wakil rakyat ketika itu melihat tindakan yang diambil oleh Pak Harto menuju pada suatu perbaikan. Akhirnya MPRS bersidang dan menetapkan Pak Harto sebagai pejabat sementara Presiden (Pjs Presiden). Keputusan MPRS ini diambil bersamaan dengan keputusan mencabut kekuasaan pemerintahan dan negara dari Presiden Soekarno, pada 27 Maret 1967.

Terperangah

Pak Harto dalam pertemuan di Tapos baru-baru ini mengungkapkan bahwa ia pada waktu itu merasa terperangah juga. Sebab katanya, sama sekali tidak terbayangkan bahwa ia akan menggantikan kedudukan Soekarno. Pertanyaan pada diri sendiri yang diungkapkan Pak Harto pada waktu itu bahwa Bung Karno itu adalah orang besar, apakah, dirinya mampu melakukan tugas seperti yang diemban Bung Karno. Namun pada waktu itu, menumt Pak Harto ia tidak bisa menolak, karena MPRS tidak mempunyai calon lain untuk menggantikan Bung Karno. “Baiklah saya terima kepercayaan ini, tetapi hanya sebagai Pejabat sementara Presiden, dan setahun MPRS harus dapat memilih Presiden yang tetap,” kata Pak Harto.

Setelah setahun, MPRS pada Sidang Umum ke 5 benar-benar menetapkan Presiden secara tetap. Yang dipilih adalah Jendral TNl Soeharto. Pemilihan secara bulat itu setelah Pak Harto dengan jujur menyampaikan pertanggungjawaban kepada wakil rakyat mengenai semua langkah yang diambil dalam setahun terakhir. Setelah terpilih, sebagai Presiden RI langkah yang dilakukan Pak Harto adalah menyusun strategi untuk pembangunan. Pembangunan dirancang untuk jangka waktu 5 tahun yang kemudian disebut sebagai Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Sektor ekonomi memang menjadi menu harian utama pada waktu itu, karena Pak Harto berpendapat tidak mungkin stabilitas nasional dipertahankan, jika peut rakyat lapar. Maka rencana pengadaan panganlah yang diutamakan. Dampaknya sangat luas. Tidak hanya padi yang bertambah produksinya, tetapi ternyata pupuk produksinya bisa meningkat dari 100.000 ton pada Repelita I menjadi 6 juta ton sekarang. Pengadaan pangan yang bersandar pada beras juga menunjukkan basil yang menakjubkan setelah tahun 1984 Indonesia swasembada beras.

Pembangunan Politik

Pembangunan tidak hanya bidang ekonomi. Kehidupan politik juga mendapat perhatian. Pak Harto ingin setiap warga negara Indonesia mengetahui secara pasti hak dan kewajibannya. Ini tidak mudah, walau menyebutkannya serasa gampang. Sebab untuk itu harus ada pendidikan politik. Berkeinginan adanya suatu pendidikan politik pada tahun 1968 bukan masalah yang sederhana pula. Pada tahun-tahun itu kehidupan politik Indonesia belurn sehat. Bangsa Indonesia menganut berbagai ideologi. Setidak-tidaknya ada 9 partai politik pada waktu itu yang mempunyai ideologi sendiri-sendiri. Pak Harto melihat masalah ini dengan keinginan memecahkannya melalui cara penyeder hanaan kehidupan politik. Partai politik harus disederhanakan. Ideologi harus disatukan yakni Pancasila.

Walaupun semua partai politik pada waktu itu setuju menerima Pancasila sebagai pandangan hidup, dasar negara dan ideologi, tetapi mereka masih mempertahankan ideologi mereka. Pada waktu itu Presiden mengimbau partai politik mengajukan proposalnya untuk penyederhanaan. Ternyata tidak berhasil. “Ada yang mengusulkan kita kan sudah Nasakom, mbokya ganti saja ‘kom ‘nya menjadi ‘sos’ saja, sehingga jadi Nasasos.” Pak Harto memberi jalan keluar pada waktu itu. Namun sebelumnya para tokoh Parpol diajak terlebih dahulu menyatukan pandangan.

Titik Tolak

Presiden mula-mula mengatakan, titik tolaknya Orde Baru lahir adalah untuk melakukan koreksi total kembali kepada Pancasila dan UUD 45. “Ini kita pegang teguh. Ada yang berpendapat lain?,” tanya Pak Harto. Semua menjawab tidak ada, sehingga semua sependapat. Langkah kedua, Pak Harto menawarkan Pancasila dan UUD 45 dipertahankan kemurniannya. Sekarang Pancasila yang mana? Pak Harto lalu menunjuk pada Pancasila yang tercantum dalam UUD 45. “Ini sudah kita terima, karena dalam Mukadimah dicantumkan dasarnya misalnya Ketuhanan Yang Maha Esa dst. Ini sebagai dasar negara. “Siapa yang tidak setuju berarti tidak setuju dengan UUD 45,” ujar Pak Harto. Para tokoh Parpol itupun semua sepakat. “Nah kalau Pancasila itu sudah kita terima sebagai dasar negara, seharusnya kan kita terima sebagai ideologi dan pandangan hidup kita. Dalam kehidupan kita negara yang majemuk itu adalah bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, “kata Pak Harto. Para tokoh dari 9 partai politik tidak ada yang keberatan.

Saya katakan bagi ABRI terikat oleh Pancasila sebagai ideologi, karena disebutkan dalam Sapta Marga yaitu dalam marga kesatu, kedua dan ketiga.

“Kalau itu setuju berarti ideologi yang saudara anut itu diparkir saja. Ya memang konsekwensinya begitu. Dihilangkan memang tidak tctapi diparkir dulu,”kata Pak Harto menawarkan.

Pak Harto menawarkan agar Parpol memprogramkan bagaimana Pancasila bisa terwujud dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. “Mari kita programkan kecukupan materil, spiritual dan dunia akhirat. Kita harus berlomba-lomba, ajak Pak Harto. Gampangnya kata Pak Harto, membuat program untuk kecukupan lahir dan batin. Jadi kalau buat program mengenai spiritualnya tetapi jangan lupa materilnya, juga sebaliknya. Semua setuju dari 9 partai yang macam-macam ideologinya yang terdiri dari partai agama sampai partai nasionalis. Yang partai agama mengutarakan program spiritualnya tanpa mengorbankan materilnya. Partai-partai nasionalis mengutamakan program materilnya tetapi tidak melupakan spiritualnya. Jadi sembilan partai menjadi dua. “Pada waktu itu saya tanyakan kepada Katholik dan Protestan, ini saudara mau memilih mana. Kalau mau pilih spiritual berarti sama-sama dengan Islam,” tanya Pak Harto, lalu dijawab: “Kami pilih partai yang materil saja.”

Walaupun demikian karena ideologi itu telah ditinggalkan jangan membawa ideologi itu lagi. Jangan kemajemukan itu dibawa dalam penyusunan kekuatan sospol, tetapi programnya. Persatuan Pembangunan, silahkan, demokrasi Indonesia silahkan. Jadi bukan partai nasionalis dan bukan lagi partai Islam karena kalau begitu lagi akan mengembalikan kepada ideologi lama, Demikian Pak Harto mengingatkan kepada tokoh-tokoh Parpol. “Jadijangan lagi dibawa Partai Islam, karena akan menimbulkan kecurigaan pada agama lain. Begitupun nasionalis, semua juga nasionalis, tetapi tirnbulkan demokrasi, tambah Pak Harto.

Konsensus

Akhirnya tercapai konsensus 9 partai menjadi 2 partai politik. Mengenai Golkar Presiden menjelaskan, Golkar itu berjuang untuk mencapai keseimbangan antara sprituil materil dan dunia akhirat. Walau penyederhanaan partai itu diterima tetapi partai-partai politik ingin pernilu tahun 1971 masih menggunakan tanda gambar masing-masing. Pak Harto mengetahui bahwa parpol-parpol itu ingin mengetes kekuatannya . Namun Pak Harto minta agar basil Pernilu 1971 itu nanti di dalam fraksi-fraksi di MPR dan DPR sudah atas dasar konsensus nasional. Itu disetujui. Yaitu Fraksi Persatuan Pembangunan, Fraksi Demokrasi Indonesia dan Fraksi Golongan Karya.Walaupun pada waktu itu belum ada undang-undangnya. Ini membuktikan dalam sejarah bahwa konsensus itu ada. Konsensus itu kemudian disempumakan untuk menjadi Undang­ undang Kepartaian pada tahun 1975.

Dalam UU Kepartaian tahun 1975 walaupun sudah menerima asas Pancasila, tetapi Parpol masih mencantumkan asas ciri. Ini berarti belum yakin. “Saya sudah peringatkan ini nanti akan menimbulkan perpecahan. Dan benar tetjadi pada kampanye pemilu tahun 1977 asas ciri yang dikampanyekan dan menimbulkan gejolak,”ujar PakHarto. Jalan yang terbaik kata Pak Harto adalah menghilangkan asas ciri. Jadi untuk itu harus dipelaj ari Pancasila sebagai dasar negara, pandangan hidup dan ideologi. Oleh karena itu dalam SU MPR 1978 keluar mengenai P4 itu,” ujar Pak Harto.

Baru tahun 1983 Pancasila diterima sebagai satu-satunya asas. Dan ini dimantapkan dalam GBHN dan direalisasikan dalam kehidupan Parpol dan Golkar serta organisasi masyarakat melalui UU.Pemaparan itu menggambarkan betapa kukuhnya Pak Harto pada pandangannya yang diyakini benar. Keinginan yang muncul pada tahun 1968 secara perlahan-lahan diwujudkan sehingga baru 15 tahun bisa tercapai. Pandangan persJerman pada tahun 1967 itu memang ada benarnya yakni Pak Harto adalah orang yang berjalan maju terus pantang mundur, suka bermusyawarah dan jujur. (Agutianto)

Sumber: SUARA KARYA( 8/06/1994)

___________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVI (1994), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 708-713.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.