DINILAI TEPAT, PERGESERAN DIPLOMASI INDONESIA DARI POLITIK KE EKONOMI

DINILAI TEPAT, PERGESERAN DIPLOMASI INDONESIA DARI POLITIK KE EKONOMI[1]

 

Jakarta, Kompas

Pergeseran diplomasi Indonesia dari penonjolan dimensi politik ke ekonorni dinilai sebagai suatu kebijaksanaan yang tepat dan sejalan dengan tuntutan akibat perubahan-perubahan dalam lingkungan global. Dengan berperan aktif dalam diplomasi ekonomi, Indonesia akan memperoleh peluang dan keuntungan-keuntungan ekonomis untuk menjamin suksesnya pembangunan nasional jangka panjang kedua. Pendapat itu dikemukakan Marzuki Darusman SH dan Imron Rosyadi SH, masing-masing adalah anggota dan Ketua Komisi I DPR RI serta Dr. Riswandha Imawan-dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) UGM Yogyakar tahari Senin (28/9).

Ketiganya dihubungi Kompas di tempat terpisah untuk menanggapi, semakin aktifnya peranan Indonesia dalam forum internasional dengan menonjolkan dimensi­ dimensi ekonomi dalam diplomasinya. Hal tersebut tercermin dalam keberhasilan Indonesia mengarahkan perhatian GNB pada isu-isu ekonomi dalam hubungan Utara­ Selatan maupun Selatan-Selatan, maupun pidato Presiden Soeharto di PBB pekan lalu.

Menurut Marzuki Darusman , sesuai dengan titik berat perhatian dunia saat ini dengan berakhimya era Perang Dingin, terpusat pada masalah-masalah ekonomi. Kecenderungan pergeseran diplomasi dari politik ke ekonomi semakin kuat sekalipun dimensi politik dan militer bukannya kehilangan makna. Oleh karena itu, lanjut Marzuki Darusman, sangat tepat bila Indonesia menonjolkan dimensi ekonomi dalam diplomasi internasionalnya, tanpa harus mengabaikan tujuan-tujuan politik eli dalamnya.

Sebagai Ketua GNB, Indonesia mesti memainkan peranan yang lebih besar dalam diplomasinya, khususnya sebagai penengah terhadap kepentingan ekonomi dan politik negara-negara maju dengan negara-negara yang sedang berkembang.

 

Tugas Bersama GNB

Sedang Imron Rosyadi berpendapat, penonjolan dimensi ekonomi dalam diplomasi yang dilakukan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari terpilihnya negara kita sebagai Ketua Non-blok. Dikemukakan, GNB berpendapat bahwa masa kolonialisme telah berakhir sehingga perjuangan Non Blok sudah saatnya dialihkan pada perjuangan untuk melaksanakan pembangunan ekonomi. Oleh karena itu tugas diplomasi ekonomi untuk melaksanakan hasil-hasil KTT X HNB tidak hanya menjadi beban Indonesia melainkan pula menjadi tanggung jawab negara-negara anggota GNB lainnya.

Dalam lingkup nasional, regional, maupun global, kata lmron Rosyadi, ada dua aspek yang menonjol dalam pendekatan politik yakni mendahulukan keamanan (security) ataukah kesejahteraan (welfare). Sampai saat ini belum ada satu kesepakatan di antara para ahli strategi mengenai masalah tersebut. Lepas dari masalah itu, Indonesia secara diam-diam telah menunjukkan keberhasilannya dalam pembangunan ekonomi. Bila semula aspek keamanan yang ditonjolkan saat ini telah terjadi pergeseran yakni aspek pemerataannya. Hal itu merupakan suatu model yang perlu diikuti negara-negara sedang berkembang lainnya, meskipun ada sejumlah negara anggota Non Blok yang bergulat dengan masalah keamanan .

Hubungan intemasional saat ini, kata Imron Rosyadi, dimensi-dimensi ekonomi lebih diunggulkan, khususnya berkaitan dengan usaha-usaha komersial dan perdagangan. Dalam hal ini tugas pemerintah adalah mengusahakan bagaimana kita lebih mengenal negara-negara lain karena hubungan dagang baru dapat dilakukan apabila sudah saling mengenal.

“Apabila pemerintah sudah membukapintunya, swasta yang selanjutnya harus berinisiatif melaksanakan kerja sama dalam bidang perdagangan maupun industri,” kata Imron Rosyadi.

Riswanda secara khusus menyoroti perlunya Indonesia sebagai Ketua GNB untuk mengupayakan kekompakan GNB sebagai suatu tim dalam melaksanakan diplomasi intemasional. Mayoritas negara anggota Non Blok, kata Marzuki Darusman, menghadapi persoalan-persoa lan yang hampir sama, seperti masalah utang dan perdagangan komoditi yang dihasilkan. Dengan demikian sangat mungkin akan terjadi persaingan-persaingan di antara anggota GNB sendiri dalam rangka memecahkan masalah.

“Karena itu GNB harus kompak. Bila tidak kompak GNB akan menjadi medan laga sementara negara-negara maju yang berada di luar akan menjadi petaruhnya,” kata Riswandha.

Ia menyebutkan pula mengenai perlunya GNB membangun suatu konsep sendiri mengenai pembangunan yang cocok dengan kondisi sosial masyarakat GNB. Hal tersebut, kata Riswandha, perlu dilakukan karena konsep pembangunan negara­ negara sedang berkembang  masih meminjam konsep modemisasi yang dibangun berdasarkan kondisi dan pengalaman negara-negara Barat. Selama konsep itu belurn ada, ketergantungan negara-negara sedang berkembang terhadap negara maju tetap kuat.

 

Beban dan Keuntungan

Marzuki Darusman mengakui, peningkatan peran Indonesia dalam diplomasi intemasional bukannya tanpa beban. Sebagai Ketua GNB, yang diawali dengan ditunjuknya Indonesia sebagai tuan rumah KTT X GNB,membutuhkan mobilisasi dana yang tidak kecil. Namun apabila Indonesia mampu memainkan peranan yangjitu dengan kekuatan yang kita miliki untuk menciptakan suatu tatanan dunia baru yang lebih adil, bukan tidak mungkin akan melahirkan peluang-peluang baru yang memberikan keuntungan ekonomis kepada Indonesia. Imron Rosyadi menyebutnya dengan suatu ungkapan, “untuk memancing ikan besar perlu umpan yang besar pula”.

“Dengan meningkatnya ak:tivitas diplomasi akibat terpilih sebagai Ketua GNB, beban kita secara ekonomis bertambah pula. Namun untuk memancing ikan besar, dibutuhkan umpan yang besar juga,” tuturnya.

Sebagai contoh, ia mengemukakan apabila Indonesia berhasil memperjuangkan agar negara ­negara sedang berkembang untuk memperoleh keringanan utang, kita pasti akan ikut memperoleh manfaatnya. Marzuki Darusman berpendapat, Indonesia saat ini hampir mencapai titik optimum dalam memainkan konstelasi ekonorni dunia untuk pembangunan ekonorni di Indonesia sehubungan terjadinya perubahan-perubahan besar dalam ekonorni dan politik internasional. Sumber-sumber daya yang diperlukan untuk melakukan pembangunan semakin langka karena diperebutkan banyak negara lain. Apabila Indonesia berdiam diri, besar kemungkinan dana-dana intemasional akan mengalir ke Eropa Timur dan negara-negara sedang berkembang akan dikalahkan .

“Apabila kita” hanya mengandalkan apa yang ada saat ini, kita hanya berputar­ putar pada sumber-sumber daya yang diperebutkan oleh banyak negara. Karena itu kita harus dapat meyakinkan kepada dunia intemasional akan perlunya membangun suatu tata ekonorni dunia baru yang adil,” kata Marzuki Darusman.

Perjuangan itu, lanjutnya, bukan merupakan suatu hal yang mudah karena negara­ negara maju akan berusaha mencairkan konfrontasi Utara-Selatan dengan menggeser perdebatan dari Tata Dunia Baru menjadi interdependensi. Negara-negara maju akan berusaha memindahkan sasaran perjuangan politik negara-negara sedang berkembang secara internasional menjadi persoalan individual dan pendekatan-pendekatan bilateral.

 

 

Sumber: KOMPAS (30/09/1992)

__________________________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 384-387.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.