Dipercaya lagi Menjadi Presiden RI (1973-1978)[1]
Dengan pemilihan umum tahun 1971 dapatlah dibentuk DPR dan MPR. Sesuai dengan konstitusi kita, maka MPR melakukan tugasnya seperti yang disebutkan dalam UUD ’45, di antaranya ialah menetapkan GBHN dan memilih Presiden sebagai mandatarisnya serta memilih Wakil Presiden untuk membantu Presiden. Saya merasa terpanggil untuk turut menyukseskan tugas konstitusional MPR itu, dengan mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan, dari masyarakat luas secara demokratis. Pengalaman Sidang Umum MPRS tahun 1968 yang pada waktu itu karena perbedaan pandangan politik belum dapat menghasilkan GBHN dan belum juga mampu memilih Wakil Presiden, tidak boleh terulang kembali. Alhamdulillah, ternyata bahan-bahan yang dikumpulkan itu memperlancar MPR menghasilkan GBHN. Bahkan GBHN yang pertama itu memuat suatu jaminan kesinambungan Pembangunan Nasional, berdasarkan sistematika pola dasar Pembangunan Nasional, pola umum pembangunan jangka panjang dan pola dasar pembangunan jangka pendek, ialah pembangunan lima tahunan atau Repelita. Juga ditentukan tumpuan Pembangunan Nasional ialah “Trilogi Pembangunan”: Stabilitas Nasional, Pertumbuhan Ekonomi, dan Pemerataan Pembangunan menuju keadilan sosial.
Dalam pada itu, sewaktu Kabinet Pembangunan I itu, kita mengalami kerumitan mengenai keuangan kita sehingga devaluasi yang pertama di zaman Orde Baru saya tetapkan, yakni 10%. Nilai dollar AS terhadap rupiah, yang semula satu dollar sama degan Rp 378, menjadi Rp 420,-.
Sementara itu saya dengar pernyataan dari kiri, dari kanan, meminta saya supaya sedia kembali menjadi Presiden untuk masa jabatan berikutnya. Beberapa pihak mendekat kepada saya, bertanya apakah saya bersedia lagi memimpin negeri ini. Kemudian partaipartai dan GOLKAR menyampaikan hasratnya yang serupa kepada saya. Itu lagi-lagi satu tantangan buat saya, yang sekaligus merupakan kepercayaan yang harus saya jawab.
Di tengah-tengah kesibukan tadi, di tahun 1972, saya memenuhi undangan pemerintah Perancis dan menjadi tamu Presiden Pompidou.
Sidang MPR pada tahun 1973 mendekat. Maka setelah saya menjawab permintaan wakil-wakil rakyat agar saya bersedia kembali menjadi Presiden dengan ucapan “ya”, saya ditanya mengenai Wakil Presiden. Sebenarnya yang berhak memilih Wakil Presiden adalah MPR, bukan Presiden/Mandataris. Tetapi dalam rangka itu, menghitung bahwa Wakil Presiden itu akan bekerjasama dengan Presiden, maka saya ditanya, siapa kiranya yang dapat melaksanakan tugas itu. Saya lihat, di antara pejuang-pejuang nasional kita yang ada waktu itu, yang rasanya masih bisa diterima oleh seluruh rakyat, terutama oleh MPR pada waktu itu, ialah Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Sidang Umum MPR dilangsungkan. Saya mengucapkan pidato pertanggungjawaban saya sebagai Presiden/Mandataris MPR atas apa yang sudah kami laksanakan dalam periode 1966-1973. Dan pidato pertanggungjawaban itu adalah yang pertama dalam sejarah ketatanegaraan R.I. sejak proklamasi RI 28 tahun yang lalu. Suatu penghormatan bagi saya dapat merintis jalan bagi pelaksanaan kehidupan konstitusional yang setepat-tepatnya dengan semangat UUD ’45. Dengan penyampaian pertanggungjawaban Mandataris ini, terlaksana ketentuan yang sangat penting dalam UUD ’45 mengenai hubungan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, penjelmaan rakyat yang melaksanakan kedaulatan rakyat dengan Presiden sebagai Mandatarisnya.
Maka setelah itu, setelah saya terpilih dan diangkat kembali menjadi Presiden masa bakti 1973-1978 pada tanggal 23 Maret 1973, diangkatlah Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Wakil Presiden Rl.
Saya rasa, hubungan saya dengan Wakil Presiden Sultan Hamengku Buwono IX selama periode itu baik-baik saja. Baik sekali. Harmonis. Tidak ada masalah.
***
[1] Penuturan Presiden Soeharto, dikutip langsung dari buku “Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya” yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH, diterbitkan PT Citra Kharisma Bunda Jakarta, tahun 1982, hal. 276-277