DIRJEN: PENURUNAN BMT KERTAS KORAN TEKAN ONGKOS PRODUKSI

DIRJEN: PENURUNAN BMT KERTAS KORAN TEKAN ONGKOS PRODUKSI[1]

 

Jakarta, Antara

Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Tommy Poedjhiar mengharapkan penurunan Bea Masuk Tambahan (BMT) kertas koran dari 20 menjadi lima persen akan membantu perusahaan penerbitan pers menekan ongkos produksi, sehingga harga jual produknya makin terjangkau masyarakat.

“Keringanan harga itu akan membantu meningkatkan oplah koran atau majalah, karena masyarakat yang daya belinya masih rendah mampu membelinya,” katanya pada Kongres Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) XIX di Jakarta, Sabtu.

Menurut dia, penurunan BMT kertas koran selain akan menguntungkan para penerbit pers juga memudahkan terlaksananya program pembangunan manusia seutuhnya.

“Apabila memasuki tahun 1994 baru dicapai satu eksemplar koran dibaca 41 penduduk, di masa mendatang rasio antara oplah dan pembaca akan menjadi satu koran untuk 10 penduduk sesuai tolok ukur UNESCO secara bertahap akan dapat dicapai,” ujarnya.

Diingatkan, peranan SPS sebagai wadah kerjasama antara pelaku usaha penerbitan pers sangat penting dalam menghadapi globalisasi ekonomi yang terus berkembang. Ia memperkirakan, pasar domestik akan semakin luas sejalan dengan mcningkatnya pendapatan perkapita penduduk Indonesia, yang pada akhir Pelita VI diharapkan mencapai 1.000 dolar AS/tahun. Dengan jumlah penduduk mendekati 200 juta jiwa, pendapatan tersebut total akan mencapai 200 miliar dolarAS/tahun, jauh melampaui pendapatan negara-negara di kawasan ASEAN. Dalam era globalisasi, peluang pasar penerbitan pers Indonesia tidak terbatas di dalam negeri namun juga di negara-negara tetangga yang menggunakan bahasa Melayu dan di negara-negara yang rakyatnya mempunyai kecenderungan besar belajar bahasa Indonesia. Departemen Perdagangan menyadari arti strategis kertas koran karena kedudukannya sangat penting sebagai bahan baku bagi penerbitan pers, tambahnya.

Sejarah Kertas Koran

Dalam kongres tersebut, yang dibuka Presiden Soeharto di Istana Negara, Sabtu pagi, Dirjen juga menjelaskan sejarah kertas koran di Indonesia. Semula kertas koran seluruhnya diimpor sehingga hal itu mendorong pemerintah berupaya agar kertas koran dapat diproduksi di dalam negeri, yang terlaksana pada tahun 1985 dengan keberhasilan PT. (Persero) Kertas Leces dan PT. Aspex Paper memproduksi kertas koran.

Namun pemerintah belurn juga dapat menghentikan impor kertas koran karena kuantitas dan kualitas produksi pabrik dalam negeri hingga kini masih belum optimal. Sejak tahun 1992 kapasitas produksi kedua pabrik itu sudah mencapai 285.000 ton/tahun, tetapi produksi riilnya tahun itu hanya 168.825 ton terdiri atas produksi PT. Kertas Leces 47.124 ton dan PT. Aspex Paper 121.701 ton.

“Kebutuhan kertas koran pertahun lebih 196.000 ton, sehingga untuk mencukupi kebutuhan diimpor dari Amerika Serikat, Kanada dan negara-negara Skandinavia ,”katanya.

Pada tahun 1992 impor kertas koran mencapai 21.883 ton dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya 12.000 ton. Dalam upaya mengamankan pengadaan dan penyaluran kertas koran produksi dalam negeri, pemerintah melalui SK Menteri Perdagangan No. 403/M/XI/86 menunjuk PT. Inpers menjadi distributor tunggal dengan tujuan memudahkan pengawasan terhadap harga yang berlaku sama di seluruh Indonesia.

Namun dengan SK Menteri Perdagangan No. 334/M/X/91 tanggal 22 Oktober 1991, penunjukan PT. Inpers sebagai distributor tunggal dicabut, dengan demikian ketentuan mengenai harga jual kertaskoran produksi dalam negeri juga dicabut. Untuk melindungi dan mendorong produksi dalam negeri, pemerintah kemudian menaikkan bea masuk (BM) kertas koran putih dari lima persen menjadi 20 persen ditambah BMT lima persen. Bersamaan itu, harga kertas koran produksi dalam negeri tidak ditetapkan oleh pemerintah, melainkan diserahkan kepada mekanisme pasar. Untuk membantu perusahaan-perusahaan pers di daerah yang umumnya beroplah kecil, selanjutnya diadakan kesepakatan harga antara produsen kertas dan penerbit pers yaitu Rp l.235/kg untuk kertas Leces dan Rp l.257/kg untuk kertas Aspex.

Selain itu, guna melindungi industri kertas koran dalam negeri BM kertas koran putih tetap 20 persen tetapi BMT-nya dinaikkan dari lima persen menjadi 20 persen. Namun dengan SK Menkeu No.287/KMK.Ol/94 tanggal 27 Juni 1994, pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan baru yakni menurunkan BMT kertas koran dari 20 menjadi lima persen. (T-PU18/ 17.40/EU01/22:10/RE2/ 9/07/94 23:06)

Sumber:ANTARA(09/07/1994)

_______________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVI (1994), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 305-306.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.