DUA TRADISI, DUA DUNIA

DUA TRADISI, DUA DUNIA

London Masih Memelihara

Oleh: Buddy Suryasunarsa

DALAM PROSESSI melalui "Music Room" (ruang antara bilik resepsi dengan "Ball Room") kita menyaksikan pemandangan yang menarik para tamu Inggris termasuk bangsawan dari keluarga di raja mengenakan pakaian resmi, dengan bintang dan tanda jasa, para puteri mengenakan tiara (mahkota kecil dari pennata) yang gemerlapan, hingga tamu. Indonesia nampak sangat sederhana dengan pakaian resmi Black Tie tanpa tanda jasa. Prosessi ini dimulai dengan para undangan yang terdiri dari para diplomat dan keluarga kerajaan, para perwira tinggi dan para Menteri, kemudian disusul iringan tuan rumah Ratu Elizabeth bersama Presiden Soeharto, dan Pangeran Edinburgh bersama lbu Tien Suharto.

Prosessi ini melewati barisan pengawal yang disebut "Yeomen of The Guards" prajurit pengawal yang tingginya rata2 1,8 sampai 2 meter, dengan seragam merah menyala bersenjata tombak panjang. Secara tradisional Yeoman of The Guard ini adalah pengawal pribadi Ratu (resminya disebut Her Majesty s Body Guards of Honourable Gentlemen at Arms dan the Queens Bodyguard of the Yeomen of the Guard). Jika saudara ingin melihat bagaimana bentuk seragam kala pribadi ratu ini, belilah sebotol minuman merk Dry Gim merk "Beefeaters" karena masyarakat menamakan Yeomen ini sebagai "Beefeater".

Baik resepsi maupun jamuan kenegaraan tidak dapat di cover oleh wartawan, tulis dan foto maupun film sesuai dengan ketentuan protokol inggris.

Para wartawan tulis, sejam sebelum jamuan makan ini, mendapat kesempatan untuk melihat ruangan jamuan dan ruang yang akan dilalui prosesi, sedang dua juru kamera resmi Indonesia dan juru potret resmi diperbolehkan mengambil jalannya prosesi.

Itupun setelah menunggu kurang lebih setengah jam di pos penjagaan polisi di luar Istana, menunggu clearance dari pejabat pers Istana, para juru foto dan kamera dengan bergegas dibawa melalui gang2 dapur, pantry dan ruangan2 lain, menaiki tangga yang penuh dengan footman (pelayan istana yang mengenakan seragam merah tua).

Saya ditempatkan disamping Yeoman yang tingginya 2 meter untuk dapat mengambil prosesi Kerajaan itu.

Dalam hal memperdengarkan lagu kebangsaan terdapat perbedaan ketentuan protokol Indonesia dan Inggris. Bagi kita lagu kebangsaan adalah penghormatan tertinggi yang harus disambut dengan cara berdiri tegak dan sikap sempurna ("at attention"). Tetapi di Inggris lagu kebangsaan God Save the Queen adalah mempakan "Royal Salute" (penghormatan kepada Raja). Jadi lagu ini selalu dimainkan pada saat Raja/Ratu tiba di suatu tempat atau meninggalkan tempat. Cara memainkannya-pun berkali-kali, sampai gerakan Ratu selesai misalnya beliau sudah duduk di meja jamuan, atau sudah duduk dalam kendaraannya.

Seluruh prosesi ini berlangsung tidak lebih dari lima menit, hingga tamu terakhir meninggalkan "Music Room", tidak ada alasan lagi bagi kami untuk tinggal di tengah­tengah para Yeoman yang gagah berani dan bersenjata tombak panjang, meskipun usia mereka rata2 sudah diatas separo baya.

"Mari kita cepat keluar, sebelum diusir oleh footman" kata Mr Denis Healy dari Dinas Penerangan Inggris (COl) yang setia mengawal rombongan pers Indonesia selama kunjungan. Maka kita pun bergegas melewati barisan ”fotmen" yang sudah siap membawa hidangan ke dalam "Ball Room" melewati gang2 sempit, dapur, pantry, yang dindingnya dihiasi lukisan2 Indah maupun potret Raja2 Inggris, kembali ke penjagaan Polisi untuk mengambil mantel.

Suhu di luar sudah mendekati 0 derajat, atau mencapai titik beku.

Tapi di luar masih ramai dengan kendaraan yang lalu lalang, lampu2 dijalan2 dan lampu reklame menyala dengan garangnya, seolah-oleh tidak ada kesulitan energi yang pemah hampir melumpuhkan negeri itu lima tahun lampau, saat teijadi perang Timur Tengah menjelang akhi tahun 1973.

London tetap mempertahankan gaya kehidupan malamnya yang khas. Jika dalam penyambutan2 resmi istana memegang peranan utama dalam penerimaan kunjungan Presiden Soeharto ke Inggris, maka masyarakat kota London yang diperintahkan oleh the City Cooperation juga memberikan jamuan kehormatan yang tidak kalah semaraknya denganjamuan negara.

Sir Peter Gadsen, Walikota London yang ke-652 menyelenggarakan jamuan makan malam di Guidhall, balaikota yang terletak dijantung City of London, bagian kota yang tertua (kira2 sama dengan Jakarta kota kita).

The city of London mempakan setumpuk tanah, yang luasnya hanya 1 mill persegi, tetapi bahwa ini merupakan pusat kehidupan industri dan keuangan Inggris, Persemakmuran bahkan dunia Barat pada umumnya.

Dibagian kota inilah terletak Bank of England Stock Exchange, Kantor Pusat Asuransi Llyod yang kesohor itu,juga markas besar korporasi2 raksasa seperti Rotschild, Morgan, Samuel Montagu, Lazard Bross, Guinness, Kleinworth, Benson dll. Mereka ini merupakan raksasa2 keuangan yang besar pengaruhnya terhadap perputaran uang ekonomi dunia. Secara tradisionil, pusat kegiatan keuangan terletak di Threadneedle Street.

Fleet Street yang menjadi pusat penerbitan surat kabar2 raksasa seperti The Times dan Financial Times juga terletak di bagian kota lama ini.

Perputaran modal yang terjadi di City ini, melalui 300 bank, Lembaga Keuangan dan pusat2 korporasi Multinasional, mencapai laba 10 milyard dollar tiap tahun.

Disini juga terdapat klub2 eksklusif (bukan semacam night club disini) sebanyak 10 tempat, seperti City Livery Club, Ommar Khayyam, Birch, Simpson Travem, Jamaica Winehouse,dll.

Club ini adalah tempat pertemuan para saudagar dan milyuner setiap petang, sebelum mereka kembali ke rumah masing2. Disini mereka datang untuk menyambung pembicaraan bisnis atau sekedar minum brandy, bersama kawan dekat, atau menjamu relasi. Klub2 ini sangat konservatif dan tidak dapat dimasuki oleh orang2 yang bukan anggota kecuali jika dibawa oleh seorang anggota atau sponsor.

Karena tradisinya sudah berakar, transaksi yang teljadi di City maupun kegiatan sehari-hari, tidaklah disamakan dengan Wallstreet di Manhattan atau di Paris, Frank­furt atau Zurich. Kode etik yang berlaku di sini adalah "My word is my bond" (berarti tiap janji yang sudah diucapkan sudah cukup mengingat seperti kontrak).

Transaksi berjuta-juta dollar cukup ditutup dengan pembicaraan lewat telpon, atau sekedar dentingan gelas liquour di klub2 mereka. Bisnis disini sangat informal. Mereka berunding sebagai kawan, jika ada hal2 yang akan diselesaikan secara formal, para pengusaha di City saling mengenal, baik pribadi maupun asal-usul keluarganya, latar belakang kehidupannya; dan yang terpenting sekali sudah tercapai persetujuan, tak ada jalan lain kecuali melaksanakannya.

Dengan latar belakang ini, kita akan merasakan betapa pentingnya jamuan makan malam yang dilangsungkan di Guild House pada tanggal 14 Nopember 1979, yang dihadiri oleh 700-orang pemuka masyarakat, para bankir, pengusaha2 dan industrialis terkenal. Sri Ratu di wakili oleh the Duke of Kent dan Duchess yang menyambut Presiden dan Ibu Tien Soeharto di pintu masuk Balai Kota bersama Lordmayor Sir Peter Gadsen.

Jajaran pasukan kehormatan yang terdiri dari satu Kompi dari Honourable Artilery Company di bawah pimpinan mayor Stephen Sellon memberikan penghormatan pada saat Rolls Royce kerajaan yang membawa Presiden dan lbu Tien Soeharto tiba dihalaman Balaikota. PakHarto tersenyum kembali ketika Mayor Sellon melaporkan bahwa Pasukan Siap diperiksa, dalam bahasa Indonesia yang lancar.

Didahului oleh pembawa pedang dan slogan (scepter) yang merupakan lambang kebesaran, Presiden, Ibu Tien Soeharto the Duke dan Duchess of Kent memasuki ruang Perpustakaan (Old Library), di mana sudah siap menerima Majelis Kota (Court of Common Council). Sambutan secara resmi dibacakan oleh Recorder (pejabat yang bertugas sebagai pengacara) dan dibalas oleh Presiden. Pidato2 balasan Presiden ini tidak diserahkan kepada walikota atau Recorder, tetapi kepada Ajudan dinas yang selanjutnya akan menyerahkan kepada Panitia. Teks2 Pidato dicetak pada saat itu juga dalam Majalah Resmi dan diedarkan kepada para hadirin sementara jamuan makan malam berlangsung.

Guidhall yang terjepit di antara bangunan2 besar bertingkat di tengah City, merupakan Balaikota Tua yang bentuknya, luar maupun dalam menyerupai katedral. Bangunan Gothik ini di dalamnya sangat luas, berhias ukiran2 batu dan marmer.

Pada Dua Tradisi, Dua Dunia kedua sisi ruang dalam terletak patung2 dan monumen memperingati orang2 Besar seperti Laksamana Nelson, Duke of Wellington (yang mengalahkan Napoleon di Waterloo), Earl of Chattla, William Pitt Jr., dan Sir Winston Churchill. Pada bagian atas dinding kanan dan kiri tergantung 12 bendera Perusahaan2 Besar yang berdiri sejak abad ke-XVI, demikian juga perisai dengan lambang2 mereka.

Di bawah lantai Balaikota ini terdapat gua pemakaman, yang diduga berasal dari sebelum abad ke-XIV Masehi.

Bangunan itu sendiri merupakan pusat kedudukan pemerintah kota London (City Corporation) sejak abad ke-XV. Sebagian dari padanya rusak akibat kebakaran besar yang melanda London pada tahun 1666, setelah diperbaiki dalam perang dunia II terbakar lagi oleh bom2 Jerman di masa Battle of Britain di tahun 1940. Kerusakan2 ini telah diperbaiki, dan atapnya diganti baru tahun 1954.

Selesai acara di Old Library, rombongan Presiden didahului oleh Kepala Polisi (The Marshall), Pendeta, pembawa pedang dan chogan, qiawali oleh 4 peniup sangkala memasuki ruangan pesta. Terompet dibunyikan secara bersahutan, disambut dengan tepuk tangan 700 hadirin dan Presiden Soeharto masuk ke ruang jamuan, mengelilingi meja2 dan duduk di tempat kehormatan.

Suasana serba megah dan antik, seperti dalam film2 kuno atau drama Shakespeare.

WalikotaLondon, Sir Peter Cadsen mengawali pidatonya dengan mengemukakan persamaan antara Indonesia dan Inggeris, antara lain bahwa kedua bangsa sama2 memakai aturan lalu lintas di jalur kiri, yang disambut dengan tertawa gembira oleh para hadirin.

Demikian juga dikemukakan fakta, bahwa bahasa Inggeris adalah merupakan bahasa kedua yang diajarkan di sekolah2 Indonesia. Maka sungguhpun upacara terasa sangat formal dengan terompet, dan segala panji yang bergantungan di atas meja pesawat, suasana terasa sangat akrab dan santai.

Di hadapan para hadirin yang terdiri dari pemuka dunia usaha dan perdagangan Inggeris ini, Presiden Soeharto menyampaikan pidatonya yang menggambarkan secara ringkas perkembangan Indonesia sejak kemerdekaan, usaha untuk meningkatkan taraf hidup rakyat melalui pembangunan yang terencana dan terarah, serta usaha2 politik untuk membantu membina stabilitas perdamaian dunia, terutama di kawasan Asia Tenggara.

Presiden juga menawarkan kesempatan berusaha kepada para usahawan dan industralis Inggeris untuk ber-sama2 pemerintah Indonesia, membangun masa depan di samping tidak lupa menyampaikan penghargaannya kepada mereka yang telah merintis usahanya di Indonesia.

Sungguh suatu pemandangan yang menyenangkan, dari balkon atas Guidhall, para juru potret dan televisi mengabadikan jamuan makan malam yang meriah ini. Para wartawan tulis dengan mengenakan pakaian Black tie (yang disewa oleh KBRI duduk di tengah-tengah meja jamuan (They are Cremn, kata Mr. Healy yang menyertai rombongan juru kamera dan foto).

Kami juga menikmati santapan malam di ruang lain yang lebih modern (Livery Hall) dengan menu anggur merah, anggur putih, sepotong steak yang sangat tebal, kopi dan des­sert yang sangat manis.

Acara ini Berakhir Menjelang Tengah Malam Perlu dicatat, bahwa sebelum Presiden Soeharto tiba, di seberang Balaikota, terdapat sekelompok demonstran yang terdiri dari kira2 20 orang, meng-acung2kan poster yang men-jelek2kan pemerintah Indonesia. Mereka menggugat2 masalah Tapol (yang sebagian terbesar sudah dibebaskan itu), juga masalah Fretilin. Di sisi lain, terdapat sekelompok warga Indonesia yang dengan gagah berdiri melawan hawa dingin, dengan poster2 We Love Indonesia, dan foto2 besar Presiden Soeharto. Namun mereka lebih sopan, dan tidak berteriak2, seperti demonstran di kelompok lain, yang kabarnya mendapat bayaran 17 pound (kira2 Rp 30.000,-) untuk "unjuk perasaan" di bawah cuaca London yang dingin mencekam itu.

Di Inggeris yang demokrasi dijunjung tinggi itu, semua dapat terjadi, lebih2 jika penggerak demonstrasi itu sanggup membuka dompetnya untuk beberapa ratus pound.

Jika dalmn sejarah kuno kitamengenal Roma yang berhasil mengembangkan suatu imperium (Kemaha rajaan) yang membentang dari Eropa smnpai Afrika Utara, maka dalmn sejarah modern, hanya lnggris yang berhasil membangun suatu imperium yang memerintah secara efektif antara smnudera Atlantik sampai Pasifik.

Bangsa lain seperti Jerman dan Italia mencoba membangun imperium dengan tangan besi fasisme; nmnun kandas dalam perjalanan sejarah. Sampai enam puluh tahun yang lalu, Imperium Britannia masih menguasai seperempat dari bulatan dunia hingga "matahari tidak pemah terbenam di Britannia."

Maka seperti halnya dengan kota-kuno Roma, London adalah kota yang penuh dengan bangunan dan monumen2 megah, seperti Marble Arch, Victoria Memorial, Trafalgar Square (dengan Nelson Column) Cenotaph, Obelisk dan tidak terbilang patung orang2 terkenal, jendral, admiral serta politis2 Inggris lain.

Gedung2 pemerintah sekitar Whitehall pun dibangun dengan megah penuh dengan pilar2 seperti kuil Roma. Kini di masa modern, di mana harga bangunan dan tanah ("estate") meningkat dengan tajamnya, bangunan2 di Whitehall dan Westminster nampak seperti pemborosan. Lebih jika diingat bahwa harga bahan bakar untuk memanaskan gedung2 di musim dingin, dan beaya listrik untuk menyejukkan ruangan di muslin panas selalu membubung sejak krisis dari energi tahun ’74.

Namun bagi bangsa Inggris yang bangga akan tradisi itu, tidak ada alasan Gika hanya sekedar penghematan beaya bahan bakar) untuk merobohkan gedung tua dan bersejarah untuk menggantinya dengan bangunan kotak2 kaca. Hotel2 tua seperti Claridge, Savoy, Ritz atau Stafford tetap dipertahankan dalam bentuknya yang kuno. Bagaimana dengan hotel Duta Indonesia kita?

Di balik itu semua, sebenarnya tersembunyi ketahanan nasional atau "resiliency" bangsa lnggris dalam menghadapi segala pergolakan.

Dua tahun yang lalu, Inggris memperingati Jubile Perak pemerintahan Ratu Elizabeth. Untuk pertama kalinya sejak berakhir perang Dunia, rakyat menikmati pesta dan liburan dua hari penuh (meskipun disindir oleh kaum kiri dan golongan anti monarchist sebagai pemborosan).

Inggris adalah salah satu diantara sedikit negara2 di dunia yang masih diperintah oleh Mahkota, meskipun monarki ini adalah konstitusionil. Namun mahkota, dan dalam hal ini Ratu Elizabeth, tetap merupakan ikatan yang menambat bangsa Inggris (atau lebih tepatnya Britannia) pada tradisinya yang tua.

Selama 25 tahun Era Elizabeth, lnggris telah kehilangan Imperiumnya; di Asia tinggal Hongkong yang merupakan koloni Inggris, dan Brunei sebagai negara protektorat terakhir. Sir Winston Churchill waktu mengundurkan diri dari jabatannya mengatakan, bahwa ia tidak dapat memimpin pemerintahan yang menghapuskan Imperium (I cannot preside over liquidation of the Empire).

Era Elizabeth inisangat berlawanan dengan era Victoria, di mana lnggris mencapai puncak kejayaannya. Hanya dalam empat generasi Raja Edward VII, George V, Edward VIII dan George VI, Inggris telah demikian banyak kehilangan, hingga negeri yang mencetuskan Revolusi Industri pada akhir abad-XIX kini hanya menduduki tempat ke-8 dalam deretan negara2 industri besar dunia.

Di bidang politik, kemunduran ini semakin terasa. Bayangkan saja, jika di tahun 1896, Raja2 Ashanti mencium kaki perwira2 Inggris sebagai tanda takluk setelah perang Zulu yang tersohor itu; pada tahun 1976 dengan kehendak Tuhan, orang2 putih di Uganda berlutut di hadapan Marsekal Idi Amin Dada menyatakan setia kepada bekas sersan tentera kolonial lnggris itu.

Kenyataan yang pahit ini kita rasakan lagi dalam buku spionase John le Catre The Honourable Schollboy (1977) tentang kegagalan usaha Kepala Dinas Rahasia Inggris George Smiley untuk membekuk seorang agen Rusia di Hongkong sambil menculik seorang pentolan dinas rahasia Cina. Setelah operasi ini berhasil, ternyata yang mengeruk keuntungan adalah CIA.

Dalam dialog2 yang kadang2 terasa kasar, kita merasakan perasaan apa yang tersembunyi dalam diri penulis ini (nama aslinya David Cornwell, bekas diplomat, alumnus Oxford dan Berne). Dalam satu bagian digambarkan agen rahasia Jerry Westerby baru kembali dari penyusupannya ke Kamboja dan Laos, diterima oleh agen CIA setempat Mayor Masters.

"Saat itu, Amerika sedang menarik diri dari Vietnam, dan regim Presiden Thieu mulai dipukul mundur,” kata Masters.

"The United States has just applied to joint the club of second class powers, of which I understand your own fine nation to be chairman, President and oldest member.”

"Proud to have you aboard," kata Jerry menyambut jabatan perwira CIA itu. Berbeda dengan kisah 2 James Bond yang fantastik dan tidak masuk akal itu, spionase le Carre amat menyentuh hati-nurani pembaca karena kejujurannya menggambarkan kekuatan dan kelemahan dinas rahasia Inggeris. Agen2 rahasia itu tidak semuanya pahlawan, tetapi merekamanusia dengan ketakutan dan kelemahannya seperti Alec Leamas ("The Spy who came in from the cold").

Tapi apa suasanaini merupakan gambaran umum, dari kehidupan kelabu di Inggris atau sekedar rekaan penulis2 dan ahli pikir yang menyimak zamannya dan menulis gagasan semacam apologia pro sua?

Nampaknya demikian, karena dari segi lahiriah, London tetap hiruk-pikuk seperti biasa. Pada petang hari, orang membanjiri pusat2 hiburan, dari yang paling elite seperti konser dan opera di Albert Hall, sampai hiburan murahan di Piccadilly yang buka terus sampai pagi. Tidak peduli betapapun dinginnya malam, para pencari hiburan tetap membanjiri pubs (rumah2 minum) maupun bioskop2 yang memutar film X- rated, artinya film dewasa yang kisah dan gambarnya sudah mendekati film biru.

Orang Inggris nampaknya semakin toleran dengan gaya2 kehidupan seks yang menyimpang. Parlemen, meskipun bukan tanpa tantangan telah meluluskan Undang2 Aborsi, perceraian dan homoseksualitas. Maka di pusat2 hiburan seperti Piccadilly ini dengan terang2an kaum homoseks ini beraksi di depan umum, bahkan mempunyai klub sendiri, suatu hal yang tidak dapat dibayangkan sampai lima tahun yang lalu tanpa mereka berurusan dengan Polisi.

Membanjirnya imigran kulit berwarna ke daratan Inggris akibat penindasan rezim ldi Amin terhadap bangsa2 Asia di Uganda, juga menimbulkan masalah sosial tersendiri dan mendapat tentangan dari golongan Ultra Konservatif dengan rasulnya Enoch Powell yang telah mencanangkan tantangannya terhadap imigrasi bangsa2 kulit berwarna, dalam kedudukannya sebagai Parlemen selama 6 tahun.

Gagasan Enoch Powell inidihimpun dalam buku A Nation orNo Nation?" mempunyai pengaruh yang cukup dalam pemikiran politik pada permulaan era tujuh puluhan, meskipun tidak pernah mencapai sasarannya.

Jumlah imigran kulit berwama tetap meningkat, bahkan menurut perhitungan terakhir, penduduk yang berasal dari keturunan India/Pakistan saja pada tahun 1979 ini telah mencapai jumlah 900.000 jiwa.

Pada masa membanjirnya Petro Dollar, Inggris tidak ketinggalan menerima berkah dengan banyaknya modal yang ditanam di City, dan dari segi lain orang2 Arab pun datang membanjir ke London, hingga tokoh2 terkemuka, restoran dan hotel tidak segan2 memasang tarif dan keterangannya dalam huruf Arab.

Milyuner Arab seperti Adrian Kahsougi, atau Sheikh Sayeed dari Abu Dhabi, atau kepala dinas rahasia Saudi Kamal Adhani, Menteri minyak Sheikh Yamani, kini merupakan bagian kehidupan elite London yang tak pernah terpikirkan 10 tahun yang lalu. Apartemen2 mewah di Park Lane menjadi incaran parajutawan Arab, demikian juga hotel2 di Gorvernor Square, Knightsbridge, Kensington, tidak luput dari permainan spekulasi agen jual beli rumah ("real estate").

Dan bagaimana dengan rakyat kebanyakan?

Mereka terjerat dengan beaya hidup yang semakin tinggi, pemogokan2 yang tidak habis2nya sejak tahun 1977, pertikaian prinsip antara partai konservatif dan buruh yang bertolak belakang (Buruh hendak menciptakan sosialisme semacam Welfare State, Konservatif mengembalikan pada prinsip anggaran berimbang).

Namun di tengah kemelut dunia dan kesulitan hidupnya, orang Inggeris terutama di London masih memelihara humomya yang tinggi. Dalam suatu perjalanan ke City, petugas Dinas Penerangan Inggris menjelaskan bahwa Walikota London merupakan jabatan yang dipilih sekali setiap tahun. Supir mikrobus yang mengantar wartawan dan juru kamera memberi komentar, bahwa ia pernah ditawari jabatan Lord Mayor itu. Tapi?

"Ideclined it", katanya sambil mencari sela2 jalan yang lowong untuk kembali ke Hotel setelah 20 menit terjebak kemacetan dari Tower Bridge. (DTS)

London, Sinar Harapan

Sumber: SINAR HARAPAN (04/12/1979)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku V (1979-1980), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 278-285.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.