DUA TUJUAN KONKRIT DIHARAPKAN DARI KUNJUNGAN PRESIDEN SOEHARTO
Pandangan di India Bilateral dan Politik
Kunjungan Presiden Soeharto ke India diharapkan mencapai dua tujuan konkrit, yang biasanya tidak menjadi tujuan suatu kunjungan resmi persahabatan biasa. Demikian laporan Prithvis Chakravarti, koresponden Kompas di New Delhi.
Kunjungan Presiden Soeharto diharapkan bisa mempercepat perluasan hubungan bilateral Indonesia-India, yang selama 14 tahun pemerintahan Orde Baru di Indonesia telah menunjukkan pertumbuhan manfaat timbal-balik secara ajek, dan memenuhi sasaran.
Kalangan pejabat di sini menilai perkembangan itu amat menggembirakan, terutama kalau dibandingkan dengan suasana hubungan yang tidak mantap dan kurang berarti pada masa sebelumnya.
Tujuan kedua adalah dalam bidang politik. Kalangan pejabat India terutama banyak menaruh harapan pada pertukaran fikiran langsung antara Presiden Soeharto dengan PM Ny. Indira Gandhi, mengenai pelbagai masalah kawasan. Kamboja, Afghanistan, perang Iran-Irak merupakan beberapa soal yang amat penting yang akan dibicarakan pada tingkat puncak.
Pentingnya masalah-masalah tadi terutama diperlihatkan oleh keprihatinan yang sama dirasakan oleh Jakarta dan New Delhi, terhadap situasi kacau dalam hubungan internasional dewasa ini, serta bergesernya kegiatan konfrontatif antara dua super power, yaitu Amerika Serikat dan Uni Soviet, dari mandala Eropa ke Asia dan Afrika.
Presiden Soeharto yang didampingi tiga menterinya, mengadakan tiga kali perundingan dengan PM Indira Gandhi.
Hal Baru
Perhatian Pemerintah India untuk mencapai suatu saling pengertian politik dengan Indonesia adalah suatu perkembangan yang boleh disebut baru.
Pemerintah India, sudah lamamakin dikecam di dalam negeri, karena terlalu sibuk berurusan dengan negara-negara di Asia Barat, tapi kurang semangat mengembangkan perhatian ke arah timur, terutama kawasan Asia Tenggara.
Terputusnya secara mendadak hubungan ekonomi dan politik yang luas antara India dengan tetangganya di Asia Barat, sebagai akibat meletusnya perang lrak-Iran, telah menonjolkan ketidakseimbangan politik luar negeri India.
Pendudukan militer Rusia atas Afghanistan, sebuah negara sahabat India dan negara Non Blok, dan ketidak perdulian Moskwa akan kecemasan India dan kawasan India dan kawasan Asia Selatan, merupakan angin dingin yang telah menyadarkan New Delhi untuk mawas diri. Berlarut-larutnya entah sampai kapan kehadiran pasukan tentara Vietnam di Kamboja juga sumber keresahan New Delhi, yang sekaligus membuyarkan harapan India bahwa dengan mengakui rezim Heng Samrin di Kamboja, maka situasi di situ akan menjadi stabil dan memulihkan kedaulatan dan kemerdekaan rakyat Kamboja.
Dalam kedua masalah itu, proyeksi kebijaksanaan politik India dan Indonesia berbeda dalam nuansa dan tekanan. Tapi kalangan pejabat India di New Delhi menegaskan, perbedaan hanyalah dalam istilan dan bukan dalan substansi.
Misalnya mengenai Afghanistan. Mesti ketidak setujuan India atas pendudukan oleh Rusia, tidak diperlihatkan setegas oleh Indonesia, namun Moskwa tahu benar bahwa New Delhi bersikap bahwa tentara Rusia tidak boleh selamanya berada disitu. Nampaknya sikap itu akan lebih ditegaskan lagi kepada Presiden Soviet Leonid Brezhnev yang akan tiba di New Delhi pekan depan.
Tentang soal Iran-Irak, juga India dan Indonesia sependapat bahwa kekerasan dan permusuhan harus segera dihentikan. Dilanjutkannya perang, selain hanya akan saling menghancurkan, juga akan membuat kawasan Asia Barat dan Selatan menjadi terbuka bagi tekanan super power.
Dengan ditempatkannya sejumlah besar kapal perang Uni Soviet dan Amerika Serikat di Samudera Hindia serta sekitar Teluk Parsi, maka sebenarnya sudah terjadi situasi konfrontasi antar super-power. Hal ini membuat India maupun Indonesia resah, yang melihat hal itu tidak dalam pandangan jangka pendek saja
Dalam soal Kamboja, ada harapan cerah bahwa pembicaraan Soeharto-Indira Gandhi akan melahirkan suatu pendekatan bersama. Karena keduanya, secara prinsip, menentang hadirnya pasukan asing (yaitu pasukan Vietnam) di Kamboja untuk selamanya.
Selain itu, pengakuan India atas rezim Heng Samrin maupun pengakuan Indonesia terhadap rezim Demokratik Kamboja, tidak menutup kemungkinan bagi mereka untuk mengembangkan suatu pilihan ketiga yang bisa mantap dengan dukungan murni rakyat Kamboja sendiri, tanpa dukungan mana pun dari luar negeri.
Penyelesaian masalah Kamboja terletak pada pembebasan negara itu dari hegemoni asing, baik yang varitas Moskwa-Hanoi seperti pada kasus rezim Heng Samrin, atau dari RRC yang sebenarnya menjadi tulang punggung kekuatan rezim Khmer Merah.
Tujuan Berganda
Sehubungan dengan kunjungan Soeharto ini, tujuan India adalah berganda. Pada satu pihak, Nyonya Gandhi dalam pembicaraannya dengan Soeharto akan menjajagi prospek pendekatan bersama Indonesia-India pada semua masalah tadi dalam konperensi Menlu Non Blok di New Delhi nanti.
Ketiga masalah tadi akan mencuat dalam pembicaraan di situ, dan memang sudah sewajarnya demikian. Semua negara yang terlibat dalam ketiga masalah tadi adalah negara-negara Non Blok. Dengan demikian, Gerakan Non Blok mempunyai tanggung-jawab khusus untuk mencari penyelesaian secara sungguh. Memang, dari KTT Non Blok di Havana tahun lalu, gerakan ini sarat dengan desakan untuk mendekati satu atau lain super power, dan hal itu cenderung memecah gerakan itu menurut pola Perang Dingin. Di sinilah suatu pendekatan gabungan Indonesia-India bisa memberikan pengaruh yang meluweskan dan konstruktif.
Kepentingan lain, adalah menjajagi prospek hubungan bilateral dalam pelbagai bidang untuk jangka panjang. Hal ini juga akan merintis hubungan menguntungkan bagi India dengan negaralain anggota ASEAN.
India memang mempunyai sejarah panjang dalam hubungannya dengan bangsa-bangsa di kawasan Asia Tenggara. Tetapi hubungan itu menjadi beku selama zaman kolonial, dan tidak menjadi hidup kembali ketika India dan negara-negara Asia Tenggara menjadi merdeka.
Menggembirakan
Usaha bersama India dan Indonesia dalam membangun kembali hubungan itu, berhasil dengan menggembirakan.
Indonesia sekarang menjadi partner dagang India yang terbesar di Asia Tenggara, meskipun dalam nilai danjumlah perdagangan masih agak rendah. Dalam tahun fiskal 1979-80, neraca perdagangan menguntungkan India, dalam mana ekspor India berjumlah 800 juta rupee India (sekitar 60.000 juta rupiah), sedang impornya hanya bernilai 200 juta rupee. Dan, ini aneh, sebagian besar ekspor India itu adalah berupa gula yang mencapai 60 persen dari seluruh ekspor India ke Indonesia. Sisanya berupa hasil pabrik, mesin dan perlengkapan untuk perusahaan patungan India-Indonesia.
Impor India dari Indonesia lebih beragam, antaranya pupuk buatan (urea), semen, minyak sawit dan kertas stensil.
Impor India dari Indonesia akan meningkat, kalau minyak mentah mulai menjadi komoditi ekspor Indonesia ke India. Perhatian India terhadap rninyak mentah Indonesia, sudah lama tercatat di Jakarta, yang sudah setuju untuk mempelajari kemungkinan mengekspornya ke India, kalau mungkin. Terutama setelah Indonesia memenuhi komitmennya terhadap Jepang, Amerika Serikat, Muangthai dan Filipina.
Kemungkinan kerjasama industri juga luas. Sekarang memang baru mencakup beberapa bidang, misalnya tekstil, obat-obatan, kertas dan bubur-kayu, bahan warna, dan tentu saja skuter Bajaj.
Kerjasama antara kedua negara ini maju pesat atas dasar Memorandum of Understanding yang ditandatangani tahun 1979.Dan berdasarkan persetujuan itu, ada tiga proyek yang akan dikembangkan yaitu pabrik besi-spons, pabrik semen, dan masih dalam rencana adalah suatu kerjasama antara beberapa industri Indonesia dengan Hindustan Machine Tools.
Yang menarik dari proyek pabrik besi spons adalah bahwa bahan mentahnya, berupa lempengan bijih besi, akan disediakan oleh India, tapi nantinya India akan membeli kembali seluruh hasil olahannya berupa besi spons, selama sepuluh tahun setelah pabrik beroperasi. Pembicaraan dalam rangka proyek initelah dikembangkan lebih Ianjut ketika Menteri Perindustrian India, Charanjit Chanana, berkunjung ke Jakarta dan mengadakan diskusi meluas dan mendalam dengan Menteri Perindustrian A.R. Suhud. (DTS)
…
New Delhi, Kompas
Sumber: KOMPAS (03/12/1980)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku V (1979-1980), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 667-671.