DUNIA IKLAN MASIH DIDOMINASI KREATIVITAS DANGKAL[1]
Jakarta, Antara
Dunia periklanan Indonesia masih didominasi oleh kreativitas yang dangkal, sehingga terkesan masih kasar dan berkutat pada usaha menjatuhkan merk lain dari produk sejenis, kata pakar komunikasi LIPI Rusdi Muchtar MA, di Jakarta, Kamis. “Ide sempit menjadi penyebab utama masih banyaknya iklan lokal yang secara tidak langsung maupun langsung melanggar kode etik periklanan itu sendiri,” kata Rusdi mengenai etika periklanan di media massa.
Menurut dia, iklan yang diproduksi kreator iklan lokal umumnya masih berkutat pada promosi keunggulan suatu merk terhadap merk lain dari barang sejenisnya, soal itu terlihat jelas antara lain dalam iklan obat nyamuk, pasta gigi, dan deterjen.
“Padahal dalam etika periklanan sebenarnya hal ini dilarang,”katanya. Olehkarena itu, katanya, sikap moral dari pengusaha dan pembuat iklan merupakan penentu untuk tidak membuat iklan yang menyerang merk lain, karena kode etik periklanan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Kasus dipakainya nama Presiden Soeharto dalam iklan-iklan di media massa Sumatera Utara, seperti dikeluhkan Mensesneg Moerdiono, katanya, juga adalah pelanggaran, karena Tata Krama Periklanan menyebutkan bahwa iklan tidak boleh menampilkan seseorang untuk kepentingan iklan tanpa persetujuan terlebih dahulu.
Kecenderungan pemakaian referensi yang tidakjelas seperti itu, katanya, juga tampak dalam beberapa iklan televisi, misalnya referensi hasil penelitian ilmiah dari merk pasta gigi dan obat, yang memperlihatkan jaminan penelitian ilrniah yang tidak jelas terhadap mutu yang dimiliki secera khusus oleh suatu merk.
“Padahal dalam Tata Krama Periklanan jaminan mutu terhadap suatu produk harus benar-benar jelas sumbernya,”katanya.
Kreativitas
Rusdi mengatakan, masalah kedangkalan kreativitas pembuat iklan lokal tampak lebih jelas dalam iklan-iklan di televisi, karena mereka masih terkungkung oleh pola iklan lama, yaitu mengunggulkan produk yang di iklankannya sebagai produk nomor satu.
“Padahal kecenderungan iklan televisi saat ini sudah beranjak pada konsep bahwa produk iklan tidak lain adalah tontonan, seperti film pada umumnya,”katanya.
Pembuat iklan yang terkungkung pada konsep lama, akan makin tertinggal, karena beberapa produk produksi lokal sudah mampu menjadikan produk iklan sebagai tontonan yang bagus, misalnya iklan rokok Bentoel Biru, yang terkenal dengan I Love Blue Of Indonesia, dan Gudang Garam yang memperlihatkan keindahan panorama Bromo. Rusdi menyatakan setuju jika keterlambatan kreativitas pembuat iklan lokal ini juga akibat terlalu tiba-tibanya mereka bergerak dalam periklanan, karena kebutuhan akan iklan televisi memang hal baru. Untuk mengejar ketertinggalan ini, katanya, perguruan tinggi yang memiliki studi komunikasi harusnya segera mengantisipasi kebutuhan akan ahli di bidang iklan, dan untuk jangka pendek kursus-kursus singkat periklanan akan berguna bagi perbaikan kondisi periklanan Indonesia.(T.PU22/B/PU08/RB1/27 /10/9414:42)
Sumber : ANTARA(27/10/1994)
__________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVI (1994), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 397-398.