EDI SWASONO: PROYEK INPRES

EDI SWASONO: PROYEK INPRES

Laporan Kamal Hamzah

"KALAU KITA perhatikan keadaan yang ada, maka rasanya kita ini dalam membangun telah ‘disoriented’. Bukan hajat orang banyak yang terpenuhi tetapi hanya sekelompok kecil masyarakat kita yang berpenghasilan tinggi," Dokter SriEdi Swasono, ahli ekonomi mengatakan kepada Kamal Hamzah dari Merdeka.

Edi Swasono mengemukakan bahwa dia kurang sepaham dengan pendapat bahwa di dalam mengatur perekonomian ada kesalahan dalam teori dasar ekonomi.

"Saya lebih setuju bahwa kesalahan adalah pada orientasinya," katanya.

Dalam kaitan ini Swasono menunjuk statement ILO (International Labour Organization) mengenai perlunya pembangunan mengutamakan "basic needs" masyarakat (kebutuhan pokok masyarakat) pada tahun 1976 yang lalu. Tapi dia juga menegaskan bahwa sebelumnya Bung Hatta telah lebih dahulu mengemukakan "ba­sic needs" itu dari ILO, baik dalam visi beliau yang tercetus dalam pasal 33 UUD 45 dan apa yang sering diucapkannya sebagai Ketua Perhimpunan Indonesia sebelum tahun 1930, atau lebih eksplisit pada tahun 1957."

Tapi sayangnya, kalau ILO yang bilang lantas kitajadi sering ikut-ikutan dan memuji-mujinya," kata Edi Swasono sambil ketawa.

Dia menekankan bahwa pasal 33 UUD 45 adalah suatu politik perekonomian yang harus dianut dalam pembangunan sekarang inidan bukan mekanisme pasar.

Kurang Sesuai

"Saya tidak bisa mengatakan bawa perekonomian sekarang ini telah sesuai dengan pasal 33 UUD 45. Keadaan yang ada jelas kurang sesuai dengan pasal ini," katanya lebih Ianjut.

Edi Swasono mengajak agar pasal 33 UUD 45 diperhatikan ayat demi ayat. Dikatakan bahwa yang diurus oleh pasal ini jelas adalah "politik perekonomian" Indonesia.

Dari ayat-ayatnya jelas bahwa asal ini tidak menghendaki berlakunya mekanisme pasaran bebas.

"Kita tidak boleh rely onprice mechanism," kata Swasono.

Dengan berlakunya mekanisme pasar yang begitu bebas, tidak bisa terhindarkan bahwa pola industri dan pola produksinya menjurus kepada kegiatan ekonomi yang memberikan keuntungan yang paling menarik bagi pengusaha. Kegiatan produksi akan menjurus kepada tenaga beli tinggi, menjurus kepada kepentingan sekelompok kecil masyarakat yang berpenghasilan tinggi.

”Maka terciptalah sekarang ini,"katanya, "pola industri yang lebih melayani kepentingan sekelompok kecil masyarakat dengan penghasilan tinggi.”

Dia menunjuk kepada mobil-mobil mewah yang diproduksi di sini. Tapi di balik itu, perlunya kecukupan produksi dalam negeri akan beras, ikan asin, garam dan lain-lain kebutuhan pokok masyarakat dilalaikan.

"Ibaratnya kita yang masih miskin ini malu mengimport mobil, tetapi tidak malu mengimport kebutuhan pokok masyarakat yang kita sebut the basic needs of the people," kata Swasono.

Dittekankan bahwa Indonesia seharusnya lebih main lagi bahwa yang gemerlapan itu seperti assembling mobil, obat-obatan dan lain-lain seperti coca-cola dan sejenisnya yang 90 persen bahannya adalah import.

"ltu kegemerlapan yang semua artinya," ucap ahli ekonomi yang masih muda itu.

Dalam hal ini Edi Swasono mengungkapkan pula bagaimana Presiden Suharto telah memberikan petunjuk korektif dengan delapan jalur pemerataan yang hingga saat ini sudah beljalan selama satu tahun. Tetapi para pelaksananya, menurut Swasono, belum selekasnya menjabarkan secara nyata dan belum "cak-cek" atau belum gesit. Padahal pelaksanaan riil delapanjalur pemerataan itu tidak boleh tertunda-tunda.

Menyinggung kembali kepada masalah perekonomian Indonesia dewasa ini yang dinilainya masih kurang sesuai dengan pasal 33 UUD 45, Swasono berpendapat bahwa hal ini akan menjadi kurang relevant jika pemikiran ditujukan pada pertanyaan atau justification "apa sesuai atau tidak sesuai" dengan pasal 33 Itu.

"Yang penting sekarang kita teliti, apakah kita sedang berjalan menuju pasal 33 atau menjauh dari pasal 33 ini," ucap Edi Swasono.

Dia menegaskan bahwahanya dengan tekad nasional yang sungguh-sungguh maka bangsa Indonesia akan bisa mendekat dan menuju kepada realisasi pasal 33 ini. Hal mana caranya cukup memberikan tantangan, tetapi belum terlambat.

Kasus Mengkhawatirkan

Doktor Sri Edi Swasono belum bersedia untuk memberikan keterangan secara lebih terperinci dengan alasan bahwa hal itu merupakan persoalan Umiyah danjika diperlukan akan bersedia dihadapinya dalam forum Umiyah pula. Dia hanya mengtmgkap kasus-kasus yang teljadi yang disebut sebagai cukup mengkhawatirkan

akibat peranan dari mekanisme pasaran bebas yang sedemikian rupa. Misalnya apa saja yang mau diiklankan, baik pada suratkabar, majalah maupun khususnya tivi akan termuat dan tersiar secara luas.

Dia menunjuk pada iklan-iklan dalam TVRI, yang merupakan pola hidup yang tidak sederhana. Menurutnya, barang -barang mewah dan gaya hidup mewah sebagaimana digambarkan dalam iklan-iklan itu akan menempel pada benak-benak anak-anak dan remaja dan merembeti keseluruhan sikap mereka dan kemudian tentu pasti akan mempola. Sikap hidup produktif kurang mendapat perhatian dan sikap konsumtif merangsang mereka.

"Saya juga heran kenapa iklan bumbu masak bisa menyewa Bagio, alat-alat foto bisa menyewa Titiek Puspa, tetapi bank-bank Pemerintah tidak menyewa jasa-jasa mereka untuk Tabanas dan lain lain misalnya untuk ke-pramukaan," katanya.

Diakui bahwa soal initidaklah akan dengan gampang dapat dipecahkan. Seperti iklan-iklan di TVRI, tidak cukup dengan koreksi

"teliti sebelum membeli."

hal ini menurutnya harus diimbangi dengan proporsi yang cukup besar acara-acara yang merangsang produksi, mendidik dan mencerdaskan kehidupan bangsa dantidak cukup hanya mencerdaskan otak bangsa saja.

Salah Kutip?

Swasono lebih jauh mengemukakan tentang sesuatu kenyataan yang cukup memalukan, bahwa pasal 33 UUD 45 telah dikutip salah dalam GBHN (Garis Garis Besar Haluan Negara). Entah MPR ataukah Panitia Sebelas yang kurang hati-hati, atau kurang menghayati atau memahami arti pasal 33 itu sehingga hal tersebut dapat terjadi.

Diungkapkan bagaimana dalam Demokrasi Ekonomi pada GBHN tertulis "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas kekeluargaan" padahal seharusnya berbunyi "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.”

"Berapapun hal ini dapat diselesaikan dengan usaha interpretasi, namun paling tidak menjadi tidak otentik," katanya

Suatu kekeliruan besar, demikian menurut Swasono, bahwa kekeluargaan dapat dirasakan sama dengan azas kekeluargaan. Dia mengatakan bahwa azas kekeluargaan itu lebih dekat dengan arti: brotherhood atau "mutuality" ala Taman Siswa dari pada dengan arti ”family relationship” yang sempit sebagaimana ditemukan dalam terjemahan resmi yang ada.

Olehnya ditegaskan pula bahwa semangat keusaha-bersamaan dan berazas kekeluargaan harus dihidupkan di dalam seluruh kegiatan usaha swasta, apakah itu berbentuk perseroan terbatas (PT) ataupun lainnya, apakah itu asing, patungan asing, domestik pribumi ataukah domestik non pribumi.

Unsur keusahaan-bersamaan itu harus dihidupkan sehingga dapat tertahan dan terkendali sifat kapitalisme. Dengan semangat keusaha-bersamaan itu, buruh-buruh dan karyawan dapat memiliki saham-saham perusahaan.

Dengan demikian maka modal sesuatu perusahaan itu akan merupakan modal bersama, betapapun mungkin masih akan pincang komposisinya pada tahap-tahap tertentu.

Sistim pengupahan dan penggajian perlu diatur sehingga sebahagian upah dan gaji dapat diarahkan kepada pemilihan saham oleh buruh dan karyawannya.

"Uang lembur, hadiah lebaran, kenaikan upah dan gaji dan lain lain insetif untuk buruh dan karyawan dapat dibayar dalam pecahan pecahan saham. Hal inisekaligus mendidik agar mereka tidak boros dan memahami arti menabung dengan baik," kata Edi Swasono.

Ditekankannya bahwa di dalam perusahaan negara-pun, semangat keusaha bersamaan dan berazas kekeluargaan harus segera di realisasi dan ditumbuhkan.

Dalam penjelasannya yang singkat itu Edi Swasono sempat memuji apa yang direncanakan Pemerintah di bidang proyek-proyek Inpres yang katanya patut terus ditingkatkan. Dengan pelaksanaan yang lebih terkontrol, proyek-proyek Inpres akan besar manfaatnya. Seperti proyek "Candak Kulak" juga akan besar manfaatnya pula.

Tentang Kepres 14/1979, yaitu kebijaksanaan yang diberikan bagi pengusaha pribumi dalam proyek-proyek pemerintah, menurut Swasono perlu adanya tindakan yang ”cak-cek" atau gesit.

"Kadin, asosiasi dan perhimpunan perhimpunan pengusaha harus selekasnya cepat komersiil. Jika tidak, peluang ini akanlepas pula," kata Doktor Sri EdiSwasono.

Jakarta, Merdeka

Sumber: MERDEKA (15/08/1979)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku V (1979-1980), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 319-322.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.