EDITORIAL: 71 TAHUN PAK HARTO

EDITORIAL: 71 TAHUN PAK HARTO[1]

Jakarta, Media Indonesia

“Jangankan mampu menjadi presiden. Untuk memiliki kesehatan seperti Pak Harto dalam usianya sekarang ini, saya pun belum tentu mampu, “ujar seorang generasi muda yang terdaftar sebagai caleg.

Kesehatan tentu saja penting bagi setiap orang. Apa lagi bagi Soeharto, putra Kemusuk, Yogyakarta yang dilahirkan 8 Juni 1921, yang kini tengah mengabdikan dirinya sebagai pemimpin negara ini. Setiap pribadi agaknya memiliki caranya sendiri­ sendiri dalam merawat kesehatan jasmani dan rohaninya. Pak Harto menapak sejarah hidupnya sebagai seorang prajurit.

Profesinya itu selayaknya memberikan dukungan pula bagi kesehatan beliau lahir maupun batin. Lebih dari itu, mungkin sekali ada faktor-faktor lain yang ikut memperkuat daya lahirnya.

Misalnya faktor mental dan spiritualnya. Katakanlah, itu pandangan atau falsafah hidupnya. Beberapa tahun yang lalu terbit sebuah buku. Isinya kumpulan nilai-nilai luhur yang dirangkum Pak Harto untuk diwariskan kepada  putra-putri serta cucu-cucunyaa.

Ajaran-ajaran luhur itu bisa juga dilacak pada karya sastra klasik seperti pada Serat Wadhatatria, Wulangreh, Serat Centhini dan sebagainya. Salah satu nilai yang terdapat di sana, yang juga selalu dipegang teguh Pak Harto njunjung dhuwur mendhem jero dalam bahasa Indonesia adalah “mengangkat tinggi­ tinggi dan mengubur dalam-dalam”.

Arti dari ucapan simbolis dan prismatis itu kurang lebih, “mengangkat nama baik dan menghormati orang-orang yang Ielah berjasa”, seperti orangtua, guru, para pahlawan dan sebagainya.

Tak aneh jika Pak Harto memberikan gelar “Pahlawan Proklamator” kepada Bung Karno dan Bung Hatta. Keduanya juga dibuat patungnya di Proklamasi, Jakarta. Nama proklamator itu juga dijadikan nama bandara internasional Soekarno-Hatta, gerbang utama Republik ini.

Nilai lain yang dipegang teguh adalah falsafah nrimo alias menerirna takdir Illahi. Antara lain, ia juga menerima ketika dirinya menyadari sebagai orang yang harus muncul dalam suasana kritis, yang menyangkut nasib bangsanya.

Pernah satu saat, dunia sudah menganggap sepi Indonesia. Pemerintah Rl dianggap sudah tidak ada. yang ada hanyalah pemerintah penjajahan Belanda. la pun segera melancarkan Serangan Umum 1 Maret 1949. Belanda kalang kabut, mata dunia terbuka, bahwa Pemerintahan Indonesia benar-benar masih eksis dan terus berjuang mempertahankan  kemerdekaannya.

Ketika Tri Komando Rakyat (Trikora) dikumandangkan Presiden Soekarno untuk merebut kembali Irian. Barat, Pak Harto muncul pula sebagai Panglima Mandala Irian Barat pun kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.

Krisis tersebut adalah ketika negeri ini terancam bahaya, ketika 1965 meletusnya pemberontakan G.30.S/PKI. Lebih berat lagi, sebab selatan harus mengamankan bangsa dan negara ia juga harus melakukan setahap demi setahap pembangunan di segala bidang.

Terakhir menyangkut “Insiden Dili”, di saat dunia begitu gencar memojokkan Indonesia, Pak Harto tampil dengan pernyataan yang di luar dugaan membentuk Komisi Penyelidik Nasional, Kasad di instruksikan membentuk Dewan Kehormatan Militer. IGGI dibubarkan, sehingga image Indonesia pulih, bahkan dihargai.

Berbagai pengalaman hidupnya itu seakan-akan membuat dirinya terbiasa sebagai pakar management of crisis dalam sejarah kehidupan bangsa.

Sehari sebelum pelaksanaan pemilihan umum, usia beliau genap 71 tahun. Selamat berulang tahun. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selaju memberikan taufiq dan hidayah­ Nya. Amien.

Sumber: Media Indonesia (08/06/1992)

______________________________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 693-694.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.