EDITORIAL: KEADILAN SEBAGAI SENJATA [1]
Jakarta, Media Indonesia
TIAP hari berita tentang kejahatan menampar integritas aparat penegak keadilan. Kecanggihan instrumen penangkal belum mampu membuat penjahat kecut. Para pakar masih saja “perang lidah” soal diagnosa. Ada yang menjagokan pendidikan moral, dan ada yang mengandalkan pelipatgandaan pengadaan posisi. Bila perlu seorang penduduk dikawal oleh seorang polisi. Tapi para pakar pun yakin cara ini tidak mengatasi persoalan.
Pilihan yang umum diterima adalah pencegahan kejahatan melalui pendekatan kesejahteraan dan keadilan. Dimensi inilah yang ditekankan Presiden Soeharto ketika menerima Hiroyushi Sugihara, Direktur lembaga PBB untuk Pencegahan Kejahatan Asia dan Timur Jauh, di Bina Graha Senin.
Penegasan Kepala Negara ini sungguh membuka dan menyegarkan wawasan kita tentang dimensi-dimensi keadilan dan kesejahteraan dalam upaya memerangi kejahatan.
Berbarengan dengan ikhwal kejahatan yang menampar kita setiap hari, berita maupun peristiwa ketidakadilan pun menguak cukup intens dari berbagai sisi kehidupan.
Ada cerita tentang warga tergusur yang tidak mendapat imbalan secara wajar. Ada kisah tentang orang-orang yang dikalahkan di Pengadilan secara kontroversial. Ada tragedi tanah wong cilik yang dibuldoser demi proyek tanpa ganti rugi yang proporsional.
Di bidang ekonomi kisah-kisah ketimpangan hukum masih menggejala. Kita mendengar ada ketidakadilan dalam memanfaatkan peluang-peluang bisnis yang tersedia. Kita pun melihat tentang tidak meratanya informasi peluang dan kesempatan berusaha.
Dan di tengah persoalan ketidakadilan kita menyaksikan berbagai ironi keadilan. Ada aparat golongan III bisa hidup bagai konglomerat. Berbagai ketimpangan dalam penyelesaian masalah keadilan, membuat orang memilih ke DPR ketimbang datang ke kantor pengadilan. Ironi-ironi seperti ini menyuburkan naluri kejahatan manusia. Maka kita menyambut gembira ketika Presiden mengingatkan lagi bahwa dimensi kesejahteraan dan keadilan hams diandalkan dalam memerangi kejahatan.
Bila kesejahteraan dijawab melalui pembangunan ekonomi, bagaimana dengan perwujudan keadilan?
Pembangunan itu sendiri bisa saja berdampak pada peningkatan keadilan. Tetapi cara yang lebih jitu adalah menegakkan keadilan dengan apa yang disebut law enforcement. Artinya hukum yang tidak berpihak harus benar-benar ditegakkan. Pedang Demokles tidak miring letaknya. Mereka yang bersalah harus dinyatakan salah. Orang kecil tidak perlu rikuh ke pengadilan kalau haknya dirampas. Rakyat hams tahu ke mana dia mengadu bila kehilangan hak miliknya.
Kita berpendapat hanya dengan law enforcement masalah keadilan dan kejahatan terjawab sekaligus. Sebab kita tahu bukan hanya orang lapar yang marah. Ketidakadilan biasanya menimbulkan rasa dendam yang pada gilirannya menggoda orang melakukan kejahatan.
Tapi upaya menegakkan law enforcement bukan hanya sekadar tekad moral. Ia membutuhkan biaya, karena mendidik orang untuk sadar hukum bukan pekerjaan murah. Sayangnya dalam RAPBN 1992/1993 alokasi anggaran pembangunan hukum terlihat sangat minim.
Kendati demikian ada kelegaan, karena Presiden mengingatkan lagi bahwa kemakmuran dan keadilan adalah senjata ampuh melawan kejahatan.
Sumber: MEDIA INDONESIA (22/01/1992)
_______________________________________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 661-662.