EDITORIAL: PAK HARTO KE BOSNIA[1]
Jakarta, Media Indonesia
SEUSAI menghadiri KTT Pembangunan Sosial di Kopenhagen, Presiden Soeharto 13 Maret akan melakukan kunjungan ke Sarajevo, ibukota Bosnia Herzegovina. Sebelumnya Pak Harto berrnalam di Zagreb, ibukota Kroasia. Kunjungan kenegaraan pertarna ke luar negeri Pak Harto di tahun 1995 ini adalah mernenuhi undangan Presiden Bosnia Alja Izetbegovic saat berkunjung ke Jakarta, Januari 1994. Sebagai Ketua Gerakan Non Blok Pak Harto sangat diharapkan kedatangannya di Sarajevo, tercermin dari permintaan Perdana Menteri Kroasia, Presiden Kroasia dan Presiden Bosnia-Herzegovina ketika berkunjung ke Indonesia tahun lalu. Para pemimpin dari sempalan negara Yugoslavia itujuga yakin dengan kunjungan tersebut, Pak Harto bisa mendengar dari tangan pertama pandangan-pandangan para pemimpin Bosnia-Herzegovina tentang prospek penyelesaian menyeluruh dari pergolakan yang terjadi di sana. Dalam usaha penyelesaian masalah perang Bosnia yang telah berlangsung selama 35 bulan dan menelan jiwa sekitar 200.000 warga Bosnia, Pak Harto pemah menyampaikan gagasan perlu dilaksanakannya konperensi internasional khusus menyelesaikan konflik Bosnia itu. Begitu prakarsa tersebut disepakati Presiden Izetbegovic saat berada di Jakarta, Presiden Soeharto menginstruksikan Dubes RI untuk PBB membicarakan masalah ini di Biro Koordinasi GNB di PBB.
Penyelesaian konflik Bosnia sangat bertarut-larut, sehingga pembantaian yang dilakukan pasukan Serbia terhadap etnis Bosnia yang Muslim bagai tak kunjung berhenti. Padahal di Bosnia terdapat puluhan ribu pasukan perdamaian PBB dengan nama UNPROFOR, termasuk 219 pasukan Indonesia (Garuda XIV) sejak September 1994 lalu. Bahkan pesawat-pesawat tempur NATO pemah melakukan pemboman terhadap pasukan Serbia. Bukan saja PBB yang berusaha menyelesaikan konflik yang telah menghancurkan ribuan gedung di berbagai kota Bosnia Herzegovina, dan direbutnya sekitar 70% wilayah Bosnia oleh Serbia, tetapi NATO, OKI dan berbagai kalangan intemasional sudah turun tangan.
Di Bosnia kredibilitas PBB telah dicemoohkan oleh kekuatan kekerasan senjata dari pihak yang memiliki keunggulan persenjataan terhadap pihak yang tidak dapat melakukan hak mempertahankan diri, sehubungan dengan embargo senjata oleh PBB terhadap seluruh wilayah bekas Yugoslavia. Bayangkan, dalam usaha perdamaian di Bosnia yang telah diterima sebagai anggota PBB dan diakui sekitar 80 negara, PBB telah melahirkan 30 resolusi, tetapi hanya satu resolusi saja yang terlaksana dengan baik yakni embargo senjata, yang justru merugikan pihak Bosnia.
Rencana kunjungan Pak Harto ke Bosnia minggu depan merupakan momentum politik tersendiri, mengingat Maret ini adalah bulan terakhir dari kesediaan Presiden Izetbegovic menerima penundaan pencabutan embargo sebagaimana yang dikehendaki PBB (baca AS). Soal pencabutan embargo senjata initelah menimbulkan pertentangan antara AS di satu pihak dengan Prancis, Inggris dan beberapa anggota NATO di pihak lainnya, sehingga diambiljalan tengah, menunda pencabutan embargo selama enam bulan sejak September 94. Kehadiran Pak Harto di Kopenhagen, di mana Presidenjuga menyempatkan untuk mengadakan pembicaraan dengan pemimpin dunia, selanjutnya di Zagreb dan Sarajevo, tentunya merupakan momentum emas bagi kemungkinan terlaksananya gagasan Konferensi Bosnia. Hal itu lebih dimungkinkan, setelah Presiden AS Bill Clinton dan Presiden Rusia Boris Yeltsin bersama 53 pemimpin negara anggota Konferensi Keamanan dan Kerjasama di Eropa (CSCE) yang mengadakan pertemuan puncak di Budapest, Hungaria, Desember 94 lalu khusus membahas konflik Bosnia, toh gagal mengambil keputusan kongkret. Suatu hal yang pasti, perlawatan Pak Harto ke Bosnia merupakan terobosan strategis terhadap kegamangan percaturan politik dunia, seusai perang dingin sekaligus menempatkan posisi GNB lebih diperhitungkan pada arena tarik-menarik politik intemasional.
Sumber: MEDIA INDONESIA (07/03/1995)
_________________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVII (1995), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 55-57.