EDITORIAL: PESAN DARI TAPOS

EDITORIAL: PESAN DARI TAPOS

 

 

Jakarta, Media Indonesia

HARI Minggu (16/2) Tapos, sebuah tempat yang sejuk di daerah Bogor, Jawa Barat, kembali mencatat peristiwa penting dalam kehidupan kita bermasyarakat dan bernegara.

Di hari itu berkumpul sekitar 200 anggota Forum Komunikasi dan Konsultasi BP-7 se-Indonesia yang terdiri dari para manggala penatar P-4, dan pejabat BP-7.

Presiden Soeharto yang menerima mereka menggunakan kesempatan tersebut untuk menjelaskan latar belakang historis konsensusnasional yang sangat menentukan jalannya sejarah perpolitikan di tanah air kita ini.

Belum lama ini timbul suara-suara yang mempersoalkan masa lah konsensus nasiona l tersebut, ada sementara oknum yang memandang konsensus nasional itu merupakan rekayasa dari seseorang yang mempunyai tujuan tertentu untuk mempertahankan status quo, bahkan untuk mempertahankan kekuasaannya agar tidak goyah.

Masalah itulah yang dijawab dan dijelaskan serinci-rincinya oleh Kepala Negara. Ia kembali mengingatkan jalannya sejarah sejak dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno.

Jenderal Soeharto berdasarkan Supersemar kemudian segera membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) sesuai dengan keinginan dan tuntutan rakyat. Dengan Supersemar itu kekuasaan Jenderal Soeharto memang luar biasa, namun ia hanya sekali itulah menggunakannya. Selanjutnya Supersemar dikukuhkan sebagai Tap MPR sehingga memiliki kekuatan konstitusional.

Sebenarnya, kalau mau, bisa saja Presiden Soeharto mempergunakan Tap MPRS No IX/1 966 itu apabila keadaan memang menghendakinya. Ternyata tidak. Sebagai pemimpin tertinggi Republik ini ia lebih suka menggunakan musyawarah dan mufakat.

Itulah juga yang terjadi ketika hingga akhir tahun 1969 usaha DPR untuk menghasilkan UU tentang pemilu mengalanli kemacetan. Kemacetan itu bukan karena pemerintah dan DPR berbeda pendapat.

Kemacetan ini terjadi justru karena perbedaan tajam fraksi-fraksi dalam tubuh DPR itu sendiri. Dalam keadaan darurat seperti itu bisa saja pengemban Supersemar menggunakan Tap MPRS No IX/1 966 untuk mengatasi keadaan.

Tetapi hal itu dihindari dan ditempuhlah musyawarah dengan semua fraksi parpol dan Sekber Golkar. Selanjutnya untuk mengamankan dan mengamalkan Pancasila sebagai ideologi negara, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) disetujui mempunyai wakil dalam DPR/MPR.

Konsensus itu diterima semua pihak atas dasar kenyataan bahwa ABRI adalah tentara rakyat, sebab berasal dari rakyat dan untuk rakyat. Dengan kata lain ABRI juga hadir sebagai kekuatan sospol yang berperan sebagai stabilisator dan dinamisator.

Dengan demikian jelaslah sudah bahwa konsensus itu menyiapkan jalan terobosan yang menentukan untuk menyelamatkan keadaan dari bahaya kebuntuan dan kemacetan.

Namun demikian yang teijadi, ABRI masihjuga tepo seliro. Dalam ketentuan disebutlan I 00 orang dari seluru anggota DPR diangkat melalui Keputusan Presiden. Tetapi kemudian hanya diangkat 75 orang atas usul Menhankam/Pangab dan 25 sisanya berasal dari non-ABRI atas usul organisasi yang bersangkutan atau atas prakarsa ABRI.

Apabila kemudian ada suara-suara yang menghendaki agarABRI tidak merniliki wakilnya lagi dalam DPR itu berarti jelas akan mengundang kecurigaan yang luar biasa.

Meminta ABRI pulang kandang jelas akan ditafsirkan sebagai upaya untuk manggoyahkan posisi Pancasila sebagai falsafah dasar negara. Dan itujelas tidak akan ditolerir oleh segenap kekuatan Pancasilais.

 

 

Sumber : MEDIA INDONESIA (18/02/1992)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 89-90.

 

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.