EGOISME SEKTORAL BIROKRASI HARUS DIKURANGI

EGOISME SEKTORAL BIROKRASI HARUS DIKURANGI [1]

Jakarta, Pelita

Presiden Soeharto meminta agar egoisme sektoral di kalangan birokrat harus dikurangi. Sifat yang menganggap diri sebagai yang paling penting dikalangan instansi pemerintah itu, hingga kini masih banyak ditemukan.

Kalangan birokrat harus mengetahui bahwa pekerjaan yang mereka lakukan sangat terkait dengan kewenangan dan pekerjaan orang lain. “Untuk itu para pejabat kita harus berpikir secara integratif, ” kata Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (Men-PAN) Sarwono Kusumaatmadja kepada wartawan setelah bersama Ketua Lembaga Administrasi Negara (LAN) JB Kristiadi diterima Presiden Soeharto di IstanaMerdeka, Rabu (12/8).

Menurut Sarwono, sifat egois sektoral agak kompleks masalahnya, karena ada hubungannya dengan fakta bahwa birokrasi di Indonesia sangat berlebihan dalam sistem, sehingga menimbulkan tumpang tindih kewenangan.

“Jadi ada beberapa jabatan yang mempunyai kewenangan yang mirip, danmasing-masing merasa dialah yang paling berwenang, ” katanya. Sifat egois sektoral itu, menurut Men-PAN hanya bisa dipecahkan melalui perampingan birokrasi dan penciptaan komunikasi.

Bukan Sendirinya

Menyinggung mengenai kebijakan, Sarwono menyatakan kebijakan bukan dengan sendirinya keluar begitu saja, tapi ada latar belakangnya. Ada yang ingin dituntut dengan dikeluarkannya kebijakan itu. Yang jelas, kata Sarwono satu kebijakan tidak pernah dikeluarkan untuk memperkuat kewenangan pejabat.

Sebenarnya suatu kebijakan dikeluarkan untuk memecahkan persoalan, tapi karena komunikasi tidak lancar seringkali pejabat menyangka satu kebijakan ditujukan untuk memperkuat kewenangannya semata.

Selain soal komunikasi dan organisasi, hal lain yang perlu dimiliki oleh para aparatur negara adalah wawasan. Wawasan aparatur saat ini lebih banyak memikirkan diri sebagai abdi negara. Kalau mereka berfikir seperti itu, maka yang keluar adalah kesadaran kekuasaan. Karenanya, hal-hal seperti ini ingin di imbangi dengan kesadaran yang lebih besar tentang posisi aparatur sebagai abdi masyarakat, sehingga akan tumbuh kesadaran pelayanan.

Untuk itu, ditempuh penyelesaiannya melalui pendidikan dan latihan yang sekaligus terkait dengan karir, sehingga seseorang tidak akan bisa mencapai jenjang lebih tinggi jika tidak mengikuti pendidikan seperti Sespa (Sekolah Staf Pimpinan).

Sehubungan dengan itulah, Men-PAN dan Ketua LAN melaporkan kepada Presiden kegiatan yang dilakukan LAN sebagai tindak lanjut dari berbagai instruksi Presiden.

“Intinya adalah kegiatan pendidikan latihan dan komunikasi, karena diklat tersebut dirasakan perlu, dikaitkan dengan karir, “ucap Sarwono.

Dengan demikian, setiap pejabat calon pejabat eselon II terlebih dulu harus mengikuti pendidikan Sespa. Pendidikan tersebut sudah dilakukan dua angkatan, tapi pada angkatan terdahulu keikutsertaan seseorang di dalam pendidikan Sespa tidak dikaitkan dengan promosi.

Selain itu, karena pemerintah sudah banyak menghasilkan berbagai kebijakan baru, maka dirasa perlu mengkomunikasikan kebijakan-kebijakan tersebut bukan hanya di antara pejabat pemerintah, tapi di kalangan masyarakat. “LAN, baik atas penugasan dari Presiden maupun inisiatif sendiri sudah mulai melancarkan berbagai komunikasi tersebut,”katanya.

Keppres 38/1991

Kepada Kepala Negara juga dilaporkan tindak ianjut dari Keppres No .3811991 tentang Unit Swadana. Lahirnya Keppres itu dimaksudkan untuk mencapai dua tujuan sekaligus, pertama adalah supaya unit pelaksana teknis pada saatnya nanti tidak membebani APBN dalam operasional. Mereka harus bisa mandiri, karena menyediakan pelayanan-pelayanan yang ada tarifnya.

Kedua, dengan kemandirian itu mereka bisa memberikan pelayanan murah, cepat dan bermutu. Berdasarkan pengalaman, hal itu bisa dilakukan.

Dua instansi yang antusias mengenai hal itu, menurut Sarwono adalah Departemen Kesehatan dan Departemen Pertambangan dan Energi. Selain itu yang masih perlu penelitian mendalam adalah usulan-usulan dari Departemen PU.

Ketiga departemen itu rnempunyai potensi penswadanaan yang sangat besar. Masyarakat diharapkan tidak perlu khawatir bahwa kemandirian itu akan rnenciptakan beban yang berat bagi masyarakat, karena unit pelaksana teknis tersebut berbeda dengan swasta. (be)

Sumber: PELITA ( 13/08/1992)

_____________________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 601-603.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.