ERAT NIAN TANTANGAN PSSI, BANYAK YANG PRIHATIN

ERAT NIAN TANTANGAN PSSI, BANYAK YANG PRIHATIN[1]

Oleh Umbu Rey

Jakarta, Antara

Kongres Luar Biasa (KLB) dan Sidang Pengurus Paripurna II (SPP) Persatuan Sepakbola Indonesia (PSSI) telah dilangsungkan di Bogor dalam suasana keprihatinan terhadap prestasi sepakbola Indonesia yang sangat merosot akhir-akhir ini.

Setelah berembuk dalam kongres dua hari itu, dalam sidang SPP II para peserta sidang itu setuju untuk melaksanakan kompetisi sepakbola divisi utama, divisi satu dan divisi dua, sekali dalam setahun.

Keputusan untuk melaksanakan kompetisi setahun sekali itu dianggap amat penting karena dengan begitu pengkaderan dan pencarian bibit-bibit baru pemain sepakbola yang tangguh dapat dilakukan.

Selama ini, kompetisi sepakbola di Tanah Air dilakukan dengan jadwal dua tahun sekali, itupun tidak teratur sehingga menyebabkan pemain jenuh dan prestasinya menurun, dan karena itu pula jadwal kompetisi lama dianggap tidak lagi memadai.

Tapi, kemampuan PSSI untuk bangkit kernbali dari kemerosotan prestasinya itu masih harus memerlukan banyak perangkat pendukung, baik perangkat lunak maupun perangkat keras yang berkaitan dengan itu, kata Ketua Harian KONI Pusat Suweno.

KLB dan SPP II PSSI tahun 1993 telah mewujudkan kesepakatan untuk melakukan sesuatu demi kebangkitan PSSI, tetapi para pengamat sepakbola yang pesimistis dan yang optimistis dalam KLB itu justru mempertanyakan kemampuan badan olahraga paling populer di Indonesia itu.

Yang optimistis dengan sabar menantikan kebangkitan PSSI dari kemundurannya untuk kembali berjaya seperti ketika Ramang dan kawan- kawannya menahan seri kosong-kosong kesebelasan favorit juara Rusia di Olimpiade Melbourne, Australia tahun 1956.

Yang pesimistis secara terang-terangan mengecam kepengurusan PSSI karena tak becus mengatur persepakbolaan di Tanah Air. Macam-macam pula alasan yang dikemukakan mereka sebagai penyebab kemunduran PSSI, mulai dari sistem pembinaan yang tidak cocok, kekurangan sarana dan prasarana, sampai pada masalah gaji pemain yang tidak memadai untuk menunjang kesejahteraan mereka secara layak.

 

Paling Suram

Lepas dari setuju atau tidak dengan alasan mereka yang pesimitis itu, kenyataan di lapangan telah membuktikan bahwa PSSI kini memang sedang dirundung malang, dan seakan-akan tenggelam di tengah-tengah kesibukan pertandingan di Eropa. Masyarakat penggemar sepakbola di Tanah Air tampaknya telah mengabaikan PSSI dan lebih suka berbicara tentang sepakbola Eropa yang ditayangkan lewat televisi daripada menghabis-habiskan waktu dan uang untuk pergi ke Stadion Senayan.

Ketua Harian KONI Pusat Suweno melukiskan kenyataan yang dialami PSSI kini sebagai “masa-masa paling suram sepanjang sejarah persepakbolaan nasional, dan mima Indonesia nyaris tidak lagi diperhitungkan oleh lawan-lawan yang dihadapi di berbagai event internasional.”

Dia mengatakan ada sesuatu yang tidak jalan atau yang tidak pas letaknya dalam pelaksanaan program yang digariskan semula, dan itulah yang mesti dibenahi lebih dahulu, sebelum faktor lain yang berhubungan dengan itu.

Jika Menpora Hayono Isman, telah menyatakan keragu-raguannya pada kemampuan Indonesia dalam pelaksanaan program ini, rasanya tak salah jika seorang peserta kongres yang lain menyatakan bahwa PSSI telah menyebabkan “keresahan nasional”.

Seorang peserta kongres berkomentar, “Dulu semua orang kenai nama Ramang, Sutjipto Suntoro, Iswadi Idris, Roni Pasla, atau Aliandu. Sekarang, tak seorang pun pemain yang muncul menjadi bintang di lapangan dan namanya layak dikenang.” Masyarakat penggemar sepakbola di Indonesia saat ini mengenal dengan baik nama dan wajah Marco van Basten atau Diego Maradona, tetapi siapa itu Edi Harto atau Rocky Putiray, hampir tak seorang pun tabu, kata peserta yang lain dari Sumut.

Prihatin

Mendagri dalam sambutan tertulisnya menyatakan dengan nada lebih prihatin, “Kita perlu merasa malu karena dari 187 juta jiwa penduduk Indonesia tak ada bibit dan kader satu pun memadai untuk menjadi pemain tangguh di lapangan.”

“Jika hanya mampu menjadi penonton, pengamat dan komentator pertandingan yang baik, tetapi belum mampu menjadi pembina, pengasuh dan pemain yang tangguh di lapangan,” katanya.

Pada putaran Pra-Piala Dunia bulan lalu, tim Indonesia dicukur habis-habisan oleh lawan-lawannya. PSSI ketika itu kebanjiran 19 gol dan hanya mampu memasukkan enam gol setelah bertanding dalam dua putaran.

Kesebelasan Indonesia itu “untung-untungan” dapat membalas kekalahannya dari Vietnam pada putaran kedua di Singapura, yang kemudian menyelamatkannya dari kedudukan sebagai juru kunci dalam grup Asia.

“Masa’ dengan Vietnam saja kalah. Ini benar-benar keterlaluan,” kata beberapa peserta di luar sidang KLB. ”Tak bisa main kok dimasukkan ke tim Piala Dunia. Pemain itu pasti bukan pilihan Toplak (pelatih PSSI, red),” kata yang lain.

Menko Kesra Azwar Anas, yang dalam sidang SPP itu dengan tegas menyatakan bahwa sebagai ketua umum mandataris dia bertanggung jawab penuh atas kemerosotan prestasi PSSI, barangkali merupakan satu-satunya peserta kongres di Bogor itu yang masih menaruh harapan pada kesebelasan Indonesia tersebut.

Ia mengatakan untuk mempertahankan gelarnya sebagai juara SEA Games, PSSI masih mempunyai peluang. Untuk masuk ke semifinal, menurut dia, PSSI masih berpeluang karena Indonesia berada dalam satu grup dengan Singapura, Filipina, dan Vietnam.

Azwar Anas agaknya mendasari harapannya itu pada perhitungan bahwa dalam grup yang hanya terdapat empat negara, Indonesia hanya bermain tiga kali di grup lemah itu dengan sistem setengah kompetisi, dan di atas kertas Indonesia unggul atas Filipina dan Vietnam.

Namun Gareng, panggilan akrab Suijipto Suntoro, mantan bintang lapangan pada masa jaya PSSI, agaknya meragukan kemampuan Indonesia karena Singapura dalam Pra-Piala Dunia unggul atas Indonesia, dan Vietnam pernah mengalahkan Indonesia. “kita berlatih di Carita, apa anda kira Singapura dan Vietnam diam saja?”ujarnya.

Di tengah-tengah pro dan kontra pada kemampuan sepakbola rakyat itu, sidang SPP II PSSI berjalan lancar dan secara terbuka membeberkan kekurangan yang perlu dibenahi.

Ketua Umum PSSI Azwar Anas, yang memimpin sidang pengurus paripurna itu, dengan lantang pula mengungkap kelemahan dan penyebab utama kegagalan PSSI. “Sebagai ketua mandataris , sayalah yang bertanggungjawab atas kegagalan PSSI, sebab yang bertanggungjawab atas kegagalan hanya seorang, tetapi jika kita menang, itu adalah keberhasilan semua pengurus,” katanya.

Dia mengatakan, terdapat kesan bahwa pengurus PSSI kurang kompak dan “law enforcement” kurang dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Pengurus

Selama ini yang tampak banyak menimbulkan masalah adalah pengurusnya, tambahnya.

“Kita melihat hampir tiap hari wajah pengurus saja yang terpampang di surat kabar, sehingga masyarakat lebih kenai pengurus daripada pemain di lapangan. Saya minta ini jangan sampai terjadi lagi.”

Ia juga melihat pelaksanaan kurikulum olahraga di tingkat SD, SLTP, dan SLTA belum intensif dan tidak sistematis, sementara pengadaan sarana lapangan dan stadion sebagai pusat kegiatan latihan dan pertandingan sangat minim dan terus mengalami kekurangan.

Selain faktor teknis tenaga pelatih yang terbatas dan wasit yang kurang berwibawa, letak geografi Indonesia juga menyebabkan jarak, waktu dan biaya mempengaruhi kelancaran kegiatan kompetisi.

Dengan mengutip kembali amanat Presiden Soeharto pada tahun 1990 dan Ketetapan II MPR 1993, Azwar Anas mengatakan, olahraga adalah bagian dari pembangunan nasional, dan peningkatan prestasi haruslah dapat rasa kebanggaan nasional.

“Karena itu, dalam pembinaan sepakbola yang akan datang tidak boleh ada lagi sukuisme, golongan, dan kelompok-kelompok tertentu apalagi agama yang tersangkut di dalamnya,” katanya dengan tegas.

Azwar Anas mengatakan, keputusan tiga komisi SPP II di Bogor yang menyepakati pelaksanaan kompetisi sepakbola sekali dalam setahun di Indonesia itu akan membuka peluang bagi pemunculan bintang-bintang sepakbola.

Sementara bibit baru masih sedang dicari, SEA Games Singapura telah menunggu, dan PSSI tertatih-tatih memikul beban target mempertahankan gelar juara sepakbola Asia Tenggara itu.

Yang menjadi sasaran kini adalah mempertahankan gelar juara umum pada SEA Games XVII di Singapura. “Tapi kita masih ragu apakah medali emas pada cabang olahraga sepakbola akan tetap kita pertahankan ?”kata Hayono Isman.

Inilah yang menjadi tantangan berat bagi PSSI, mengingat prestasi sepakbola Indonesia akhir-akhir ini  sangat memprihatinkan. (T.OK-05/ 16.00/0K02)

Sumber: ANTARA(29/5/ 1993)

_________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 751-754.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.