FANATISME GOLONGAN PERLU DIBERI MUATAN MAKNA BARU

FANATISME GOLONGAN PERLU DIBERI MUATAN MAKNA BARU

 

 

Jakarta, Kompas

Fanatisme golongan sudah saatnya diberi muatan makna baru. Sebab fanatisme golongan kini bukan hanya berarti penggunaan isu agama, kedaerahan dan ras, melainkan juga sikap-sikap yang mengukur kebenaran secara subyektif. Seringkali teijadi golongan-golongan tertentu ingin menyatakan peran atau melakukan gugatan eksistensial dengan mengklaim bahwa golonganyalah yang paling benar atau paling beijasa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun di sisi lain, fanatisme justru harus diarahkan pada pengertian nasionalisme yang berarti menjauhkan diri dari kelompok ataupun golongan.

Demikian rangkuman pendapat Ketua DPP Golkar Drs. Jacob Tobing, Sekjen Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Matori Abdul Djalil, dan Sekjen DPP Partai Demokrasi Indonesia yang dihubungi Kompas secara terpisah pekan ini, menanggapi seruan Presiden Soeharto agar organisasi peserta pemilu (OPP) tidak membangkitkan fanatisme golongan untuk kepentingannya (Kompas, 2 Januari 1992).

Jacob Tobing mengatakan, sesungguhnya kalau gugatan eksistensial itu berlangsung aman, tidak ada masalah. Bagaimanapun suasana seperti itu harus dilihat sebagai aspek dinamika. Tetapi kalau keinginan itu diejawantahkan dengan jargon­jargon yang tajam, termasuk di dalamnya kepentingan golongan, itu akan membahayakan.

Namun, tambah Jacob, ketiga organisasi peserta pernilu (OPP) telah bersepakat untuk berusaha mencegah tersedianya sumber potensial ke arah fanatisme golongan itu, seperti pelarangan tindakan jor-joran dan mempergunakan bahasa yang menggelitik fanatisme goIongan dalam kampanye pemilu nanti.

Hal senada dikemukakan pula oleh Matori Abdul Djalil . Dikatakan, bagi PPP, Pemilu 1992 justru ujian untuk memantapkan diri menjadi kekuatan sosial politik yang tidak terjebak ke dalam fanatisme goIongan. “Melihat perkembangan yang ada dalam tubuh partai politik tampaknya tidak perlu lagi ada kecurigaan bahwa parpol akan terjebak dalam fanatisme goIongan. Apalagi menggunakannya untuk memenangkan pemilu.

Diterimanya Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi salah satu bukti adanya komitmen orsospol terhadap ideologi dan wawasan kebangsaan. “Ideologi dan wawasan kita telah sama, karena itu komitmen orsospol tidak perlu diragukan. Hanya mereka yang tidak tahu aspirasi rakyat yang menggunakan fanatisme goIongan sebagai alat memenangkan pernilu,” ujar Matori.

 

Nasionalisme

Sementara itu, Nico Daryanto, Sekjen PDI, lebih condong mengartikan fanatisme sebagai nasionalisme, bukan lagi hanya sebagai suatu kelompok atau goIongan tertentu. Oleh Nico nasionalisme diartikan sebagai membuka diri untuk semua tanpa membedakan agama, ras, tua, muda, kaya, atau miskin.

Bahkan ia pun mengatakan, sudah saatnya perlu mengadakan fusi tuntas yang artinya, melupakan primordialisme dari golongan yang ada dan bergabung menjadi satu kekuatan.

Meski begitu, ia tidak mengartikan sebuah partai lalu tidak memiliki pegangan. “Pegangan tetap ada,” katanya. Dalam hal ini, Nico memilih nasionalisme sebagai pegangan. Dengan alasan, nasionalisme merupakan jiwa dan pendorong semangat peljuangan. “Dan itu yang betul-betul perlu dikembangkan,” ujarnya. Lebih lanjut ia menjelaskan, nasionalisme tersebut pada dekade ini diakui telah terkandung dalam Pancasila.

Walau begitu Nico menilai sebagai hal yang wajar atau diistilahkan sebagai “paspasan” bila seorang tokoh politik atau anggota partai rnengataka n partainya yang terbaik. “Itu sudah pas-pasan karena bila tidak begitu berarti dia bukan anggota yang baik. Tapi itu lain dengan fanatisme,” tandasnya. Karena itu, ia lalu tidak berharap banyak pada pemilu mendatang. Baginya, yang lebih penting bukan kernenangan dalam pemilu , melainkan kesinambungan kehidupan bangsa dan negara.

 

Kenyataan di Lapangan

Jacob Tobing mengungkapkan, adalah suatu kenyataan yang tidak bisa dihilangkan, katanya, bahwa bangsa Indonesia ini memiliki golongan, baik itu dari segi etnik, agama, ekonomi rnaupun asal-usul. Keberbagai beragarnan itu selain merupakan faktor pengkayaan dan pemersatu bangsa, juga sekaligus merupakan faktor disintegrasi bangsa.

Dan, lanjutnya. dalam setiap peristiwa politik, menyatakan satu golongan lebih besar atau lebih baik dari golongan lain secara emosional sering kali tidak dapat dihindarkan.

“Sebab itu, rnasalahnya sekarang adalah bagaimana kenyataannya nanti di lapangan ? Maka, mencegah terjadinya fanatisrne golongan itu bukan saja menjadi tanggungjawab pemerintah, petugas pemilu atau petugas pengarnanan, tetapi juga tanggungjawab ketiga OPP,” ujar Jacob.

“Dalam kaitan ini lapisan kepemimpinan formal dan non-formal harus pandai rnengelola kepelbagaian ini. Toh, bagaimanapun tidak akan ada suatu suasana tanpa ada gelornbang gejolak,” ujarnya.

 

Tiga Isu Sentral

Matori Abdul Djalii berpendapat, tuntut an rnasyarakat terhadap keterbukaan akan mengubur fanatisme golongan. “Masyarakat menghendaki agar elit politik tidak lagi bicara tentang prirnordiali sme, sektarianisme rnaupun fanatisme lainnya,” katanya.

Menurut Matori, elite politik diharapkan dapat memecahkan tiga isu sentral yang menjadi probl em kehidupan berbangsa, yakni, demokrasi dalam politik, pemerataan ekonomi, dan tumbuhnya budaya emansipatif. Demokrasi politik dan pemerataan ekonomi tidak akan terwujud bila terhambat oleh budaya politik dan sosial yang tidak emansipatif, yang masih dipengaruhi oleh sikap feodalisme.

Sernua pihak, lanjutnya, sepertinya sudah sadar bahwa keterbukaan sudah tidak dapat ditunda-tunda lagi. Namun pemerintah sendiri tampaknya masih malu-malu dan sering terkejut dengan dampak dari keterbukaan. “Sebenarnya bukan keterbukaannya yang harus jadi persoalan, tapi bagaimana mengantisipasi agar keterbukaan atau demokratisasi tidak menimbulkan chaos.”

Ditambahkan, keterbukaan yang berkembang di masyarakat memiliki kaitan yang erat dengan tanggungjawab sosial. Yakni, mempertanyakan kernbali aktualisasi sistem politik yang berlaku. Apakah sudah benar-benar menampilkan secara utuh partisipasi rakyat dan rnelindungi hak­hak asasi rakyat.

Ekspresi yang muncul dari rasa tanggungjawab sosial itu bisa beragam. “Selama tidak untuk mengacau, biarkan tanggungjawab sosial itu berkernbang. Dan pemerintah tidak usah ragu untuk mengernbangkan keterbukaan,” tutur Matori.

 

 

Sumber : KOMPAS (07/01/1992)

Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 39-42.

 

 

 

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.