FILIPINA-MORO CARl PENYELESAIAN ADIL DI JAKARTA

FILIPINA-MORO CARl PENYELESAIAN ADIL DI JAKARTA[1]

Oleh M. Subandi

Jakarta, Antara

Baik Pemerintah Filipina rnaupun pihak gerilyawan Moro (Moro National Liberation Front -MNLF) rnenganggap Jakarta adalah tempat ideal untuk merundingkan soal otonorni penuh atas tanah Mindanao, Filipina Selatan, yang mereka sengketalcan.

Konflik berdarah yang sudah berlangsung selama 20 tahun itu kerap diwarnai bentrokan bersenjata yang menimbulkan korban jiwa tidalc sedikit di kedua pihak.

Presiden Filipina Fidel Ramos,dalam kunjungan kenegaraan ke Indonesia belum lama ini telah rnendapat jarninan dari Presiden Soeharto bahwa Jakarta siap mernbantu , bila diperlukan, khususnya dalam menyedialcan tempat perundingan dengan pihak Moro. Komitmen Presiden Soeharto itu telah disarnbut baik oleh kedua pihak yang bertikai, yang tentunya rnengacu pada keberhasilan perternuan pendahuluan rnereka di Cipanas, Bogor, 14-16 April 1993, yang dilakukan secara diam-diam.

Dalam perternuan di Istana Presiden Cipanas itu,pihak Pernerintah Filipina diwakili anggota parlernen Eduardo Errnita,sedang Moro dipimpin langsung oleh Ketua MNLF Nur Misuari.

Dipilihnya kembali Indonesia untuk perternuan lanjutan (menurut rencana pada 25 Oktober 1993di Hotel Indonesia) itu atas pertimbangan bahwa Jakarta akan mampu memberikan kesempatan kepada kedua pihak untuk berbicara secara bebas.Selain itu, di mata mereka Indonesia mempunyai faktor yang menunjang, yakni sebagai pengawas dan penengah, yang bisa diterima kedua pihak.

“Jadi bukan karena rnayoritas penduduknya Islam, tetapi karena sebagai anggota ASEAN dan Organisasi Konperensi Islam (OKI),” kata Menlu Ali Alatas.

Menurut Alatas, konflik Moro-Pernerintah Filipina adalah rnasalah OKl, tetapi Indonesia termasuk dalam “Komite Enam” OKl yang terlibat langsung dalarn penanganan masalah itu. Pertemuan lanjutan di Jakarta itu, alcan merupakan perternuan formal pertama setelah Tripoli,Libya, pada 15-23 Desernber 1976,yang alcan dihadiri paling sedikit ernpat pihak yakni Pemerintah Filipina, MNLF, Sekretariat OKl dan Indonesia selaku tuan rumah dan anggota “Komite Enam”, katanya.

Presiden Ramos awal pekan ini rnengatakan, ia akan mengirim delegasi ke perundingan lanjutan itu di Jakarta untuk mencari penyelesaian yang adil, terhormat dan berkelanjutan.

Diharapkan, delegasinya akan mampu menyerap semangat perdarnaian nasional tanpa mengorbankan kepentingan nasional dan kesejahteraan rakyatnya.

Ramos menyadari bahwa konflik yang berlarut-larut hanya akan menghambat pembangunan di pulau terbesar kedua di Filipina itu. Kepada delegasi pemerintah yang akan dipimpin mantan Dubes Filipina untuk Indonesia, Manuel T. Yan, Ramos berpesan untuk segera mengupayakan diakhirinya konflik bersenjata yang bekepanjangan melalui suatu penyelesaian yang adil, terhormat dan berkelanjutan.

Ia juga minta delegasinya untuk mengkaji cara-cara yang mungkin ditempuh MNLF untuk ikut serta dalam segitiga pertumbuhan yang melibatkan dua negara ASEAN lainnya, yakni Malaysia dan Indonesia.

Tuntut Otonomi

MNLF yang didirikan pada 1972, telah mencanangkan  perang terhadap Pemerintah Filipina, menuntut kemerdekaan dan otonomi penuh bagi kelompok minoritas Muslim di Pulau Mindanao. Pertikaian bersenjata diawali setelah Presiden Ferdinand Marcos memberlakukan keadaan darurat perang, September 1972.

Konflik berdarah kedua pihak sedikit mereda setelah Libya mengulurkan tangan sebagai perantara perundingan tahun 1976, yang menghasilkan Formula Tripoli. Namun keputusan itu tidak meredakan kontak senjata antara pasukan pemerintah Filipina dan sekitar 15.000 gerilyawan Moro.

Delegasi Pemerintah Filipina saat itu dipimpin isteri Presiden Marcos, imelda Marcos.  Kedua  pihak  pada  mulanya  mencapai  kata  sepalfat,  tapi  kemudian kesepakatan itu buyar karena Pemerintah Filipina melanggarnya.

Namun pertemuan Tripoli itu berhasil meletakkan dasar bagi diselenggarakannya perundingan lebih lanjut guna merumuskan pokok-pokok penyelesaian yang komprehensif.

Pertemuan berikutnya diadakan di Manila semasa Presiden Corazon Aquino, namun ternyata juga nihil, tidak menghasilkan keputusan yang memuaskan pihak gerilyawan Moro.

Negosiasi selanjutnya diadakan di beberapa negara Arab, tetapi seperti yang sudah-sudah, pertemuan juga gagal mencapai kesepakatan karena masing-masing tetap ngotot pada pendiriannya terhadap otonomi yang dituntut kelompok Muslim di Pulau Mindanao itu.Ada selisih pendapat mengenai pengertian otonomi yang dituntut pihak gerilyawan. Pihak Moro menghendaki agar Mindanao diberi kebebasait untuk mengatur sesuai agama yang dianut mayoritas penduduknya, sedangkan Pemerintah Manila mendasarkannya pada konstitusi yang disusun anggota kongres yang mayoritas Katholik.

Beda dalam menafsirkan soal otonorni tersebut membuat perundingan menemui jalan buntu, dan itu pula yang menyebabkan pihak Moro menolak berunding sebelum para penguasa di Manila berhasil menyamakan pendapat tentang arti otonorni yang dituntutnya itu.

lktikad Baik

Beberapa pengamat politik di Indonesia menyambut baik rencana perundingan formal Pemerintah Filipina-MNLF di Jakarta itu.

Direktur Lembaga Studi Agama dan Filsafat Dawam Rahadjo, dan peneliti utama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Luhulima, berpendapat pertemuan di Jakarta itu sangat tepat, mengingat posisi Indonesia yang akan bertindak sebagai penengah dan pengawas memungkinkan kedua pihak yang bertikai mempunyai kedudukan yang sama.

Keduanya juga membantah sinyalemen bahwa keputusan yang diambil dalam pertemuan itu nanti akan banyak terpengaruh karena mayoritas penduduk Indonesia adalah Islam.

“Walau mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim,pemerintah tidakmungkin mendukung usulan yang berusaha mernisahkan Moro dari Filipina,”kata Luhulirna.

Bagi Filipina , katanya , Indonesia tentu akan mendukung usaha yang akan

mempertahankan Moro sebagai bagian dari negara Filipina, sedang bagi Moro, faktor mayoritas Muslim Indonesia tentu akan memberikan dukungan sikap yang akan diajukannya.

Ketua Umum PB NU KH Abdurrachman Wahid berpendapat, pertemuan formal Jakarta itu menunjukkan iktikad baik kedua pihak untuk mengusahakan penyelesaian damai, walau diakui akan berjalan alot.

“Sebab bisa saja Pemimpin MNLF Nur Misuari , terns menuntut otonomi sepenuhnya bagi masyarakat Moro di Filipina Selatan,”kata cendekiawan Muslim yang akrab,dipanggil Gus Dur itu.

Memirut dia, sekalipun permintaan mereka nanti terpenuhi , bisa saja muncul perselisihan baru dengan kelompok gerilyawan Moro lainnya.

Selain MNLF, di Mindanao ada kelompok gerilya lain yang tergabung dalam BMLO (Bansa Moro Liberation Organization) yang dipimpin Dimas Pundato . Kelompok itu tergolong lunak dan lemah, yang semasa Presiden CorazonAquino sudah bisa diajak kerjasama .

 

 

Gus Dur mera sa optimistik bahwa pertemuan Jakarta itu akan mencapai kemajuan , mengingat Presiden Ramos telah memberikan angin barn bagi tercapainya perdamaian di kawasan Filipina Selatan itu. (T.MSIRB 1/SP04/21/10/93 11:32)

Sumber :ANTARA (21/ 10/ 1993)

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XV (1993), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 372-375.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.