FOKUS: RI ANGGOTA TETAP DK PBB?[1]
Indonesia
KETUA Gerakan Non Blok telah menetapkan empat duta besar keliling masing masing Sayidiman (untuk Afrika), A.Tahir (Eropa), Alamsyah Ratuprawiranegara (Asia) dan Hasnan Habib (Amerika Latin). Secara kebetulan keempat duta besar keliling ini berpangkat Letnan Jenderal Pumawirawan dan mantan diplomat. Sehingga dari segi apapun, sesuai dengan jabatan baru tersebut, tak ada lagi yang perlu disangsikan dari mereka. Modal pengalaman mereka yang luas di bidang diplomasi, menjadikan penetapan tersebut sebagai satu keputusan yang sangat matang. Mereka berempat sama-sama pemah menjadi Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Jepang (Sayidiman), Perancis (A.Tahir), Belanda (Alamsyah Ratuprawiranegara) dan Thailand serta Amerika Serikat (Hasnan Habib).
Dengan penetapan empat duta besar keliling tersebut, ini berarti tim pelaksana Indonesia dalam diplomasi GNB bertambah kuat. Dan otomatis di pihak lain, beban Presiden Soeharto selaku Kepala Negara merangkap Ketua GNB, menjadi lebih berkurang. Dikatakan demikian, antara lain karena Presiden Soeharto dalam kapasitas selaku Ketua GNB tidak perlu lagi secara khusus melakukan lobbying ke 108 negara anggota GNB tersebut apabila pekerjaan hal seperti itu diperlukan. Di samping mereka berempat, Presiden masih dibantu lagi oleh dua diplomat kawakan: Nana Sutresna dengan pangkat baru Ambassador at large dan Menlu Ali Alatas sendiri.
Tapi sebetulnya bukan hal ini semata yang menjadi soal yang menarik dari penetapan tersebut. Melainkan adanya pergeseran dalam pelaksanaan politik luar negeri dan kesadaran akan perlunya maksimalisasi secara proporsional posisi dan jabatan Ketua GNB periode 1992-1995. Klirnaks dari ini semua, target dan keinginan Indonesia menjadi Anggota Tetap Dewan Keamanan PBB-pemegang Hak Veto badan dunia.
Di masa-masa yang lalu ada kesan, politik luar negeri masih menjadi pelengkap semata-mata. Bahkan penentu kebijakan dan pelaksana politik luar negeri, juga kadang-kadang tidak begitu jelas. Dan akibatnya seperti yang dirasakan dari dampak sikap seperti itu, Indonesia kurang begitu banyak “didengar” di forum-forum internasional. Atau Indonesia kurang banyak berhasil dalam memenangkan pertarungan-pertarungan politik intemasional. Jabatan-jabatan kunci di lembaga lembaga intemasional, baik yang ada dibawa payung PBB maupun non PBB, semakin langka bahkan nyaris tak ada sama sekali dipegang Indonesia.
Ketika berbicara dengan wartawan dalam penerbangan pulang rute Tokyo Jakarta awal pekan ini. Presiden Soeharto menjelaskan berbagai pernikiran dan konsep GNB dalam rangka restrukturisasi PBB. Antara lain pemikiran supaya Jepang dan Jerman Barat, di samping Indonesia dan India serta wakil dari negara Amerika Latin, dapat diterima oleh dunia untuk menjadi Anggota Tetap Dewan Keamanan PBB. Di sinijelas tergambar keinginan Indonesia untuk menjadi Anggota Tetap Dewan Keamanan PBB, tidak lagi dilakukan secara retorika. Tetapi lebih matang, konseptual dan terbuka. Semua menyadari, bahwa perjuangan untuk mendapatkan posisi kunci di PBB tersebut,bukanlah satu hal yang mudah. Satu etape sulit menuju ke arab itu, sudah dilalui Indonesia, berupa peluang menyampaikan suara dari 108 anggota GNB di forum PBB. Etape yang lebih berat adalah perjuangan untuk bisa tampil dalam forum lebih kecil tapi sangat berpengaruh, yaitu G-7. Bila berhasil berbicara atau diterima dalam forum G-7 yang beranggotakan Jepang, Jerman, Inggeris, Perancis, Italia, Kanada dan Amerika Serikat, maka perjuangan menjadi Anggota Tetap DK PBB diperkirakan akan lebih mulus.
Sumber: MEDIA INDONESIA (03/10/1992)
__________________________________________________
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XIV (1992), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 419-421.