GELAR BAPAK PEMBANGUNAN
Wakil Ketua DPR, Mashuri SH, telah mengemukakan pendapatnya bahwa usul "Bapak Pembangunan" yang banyak dikumandangkan oleh unsur-unsur masyarakat di daerah-daerah agar perlu direm. Salah satu alasannya: Presiden Soeharto sebenarnya tak begitu senang jika dikultus-individukan.
Atas pernyataan Mashuri itu orang tentu dapat menjawab: Pak Harto sebenarnya tidak meminta gelar itu diberikan padanya. Itu datang dari rakyat sebagai pernyataan spontan keyakinan mereka akan peranan Pak Harto dalam pembangunan nasional kini. Jika ada anjuran supaya rakyat merem kegairahan dan kecintaan mereka kepada kepala negaranya apakah itu akan diacuhkan dan disetujui rakyat?
Kita berpendapat bahwa apa yang datang dari rakyat, dari masyarakat, biarkanlah itu berjalan menurut apa adanya. Rakyat mempunyai kedaulatan untuk mengutarakan sikap pendiriannya, maka itu seyogianya kita jangan mencoba merintangi dan menghalanginya.
Gelar Bapak Pembangunan kita kira wajar dan tepat. Kecuali bila orang memakai gelar ”Pembangun Agung” untuk Presiden Soeharto, predikat itu memang sudah keluar dari nilai kekeluargaan nasional, ukuran demokrasi dan budi nurani keindonesiaan kita. Keluar dari proporsi sosial dan psikologis yang ada.
Tetapi jika usul masih berada dalam konteks yang logis dan memiliki dasar argumentasi yang secara nasional dan politis dapat dipertanggungjawabkan hal itu perlu diakui. Merintangi Rakyat menyatakan ekspresi pendiriannya bisa melahirkan penafsiran tertentu.
Dalam hubungan ini pernyataan Mashuri SH perlu dicatat, sebagai hanya sekedar usaha untuk menjaga agar supaya tingkah laku masyarakat tidak melahirkan situasi psikologis yang kontroversiil. Sudah tentu mencegah rakyat melakukan sesuatu yang menurut ukuran Indonesia adalah positif bisa saja, dianggap sebagai kecenderungan yang tidak wajar. Itu terserah pada penilaian pihak yang bersangkutan terhadap pernyataan Wakil Ketua DPR itu.
Kita tidak melihat bahwa usul rakyat bagi Presiden Soeharto sebagai "Bapak Pembangunan" sebagai sesuatu yang merisaukan jangan pula terlalu jauh orang menafsirkan itu sebagai ada hubungannya dengan psikologi politik menjelang Pemilu.
Spontanitas Rakyat adalah spontanitas Rakyat dan itu suatu kenyataan yang harus diperhitungkan dalam tingkah laku dan keharuan politis masyarakat untuk memberi nilai kepada perkembangan pembangunan dan segala segi yang dikandungnya. Bahwa orang melihat ada kemajuan dan menerimanya sebagai suatu fenomena zaman, hal itu tak boleh di ingkari oleh siapapun.
Dalam hal ini memang perlu dicatat sikap Presiden Soeharto. Beliau seorang yang tidak ingin disanjung-sanjung. Akan tetapi beliau juga tidak ingin mencegah apa yang dirasakan rakyat layak dan sah untuk dilakukannya untuk menyatakan sikapnya, yang relevanl dengan kondisi perkembangan bangsa dan negara dewasa ini.
Memasyarakatkan semangat tut wuri handayani adalah lebih baik daripada mencegah Rakyat mengekspresikan kedaulatannya secara kongkrit. (DTS)
…
Jakarta, Merdeka
Sumber: MERDEKA (05/12/1981)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku VI (1981-1982), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 303-304.