HABIBIE MENGENAI PASCA-SOEHARTO

HABIBIE MENGENAI PASCA-SOEHARTO[1]

 

Jakarta, Suara Pembaruan

ADA dua hal penting yang ingin dicatat sepanjang hari Rabu (4/12/1996) kemarin.

Sekalipun substansi kedua hal penting itu berbeda dan dikemukakan di tempat yang berlainan, namun erat kaitannya satu sama lain. Yaitu berkaitan dengan kelangsungan hidup bangsa dan negara serta kesinambungan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila.

Hal penting pertama ialah penegasan Presiden Soeharto ketika menerima sekitar 100 peserta Kursus Reguler XXIII Sesko ABRI di Bina Graha Jakarta hari Rabu (4/12/1996).

Kepala Negara menegaskan, kesetiaan ABRI kepada bangsa dan negara tidak bisa dikompromikan dengan cara apa pun dan dengan siapa pun juga. Sesuai dengan sumpahnya, ABRI akan terus memegang teguh kesetiaan kepada Pancasila dan UUD 45.

Hal penting kedua ialah pendapat yang dikemukakan Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Prof. Dr. BJ. Habibie pada pembukaan Silaturahmi Kerja Nasional (Silaknas) ke-6 ICMI hari Rabu (4/12/1996) di Hotel Cempaka, Jakarta. Dalam sambutannya, Habibie yang juga Menristek itu mengatakan, kita tidak perlu khawatir atau menjadi pesimis akan kesinambungan pembangunan Pasca-Soeharto dan Generasi 45.

“Tidak ada alasan untuk meragukan kesinambungan pembangunan, kehidupan politik serta stabilitas politik dan ekonomi di bumi Indonesia. Juga tidak ada alasan untuk memikirkan bagaimana jika Mandataris MPR atau Generasi’45 tidak ada lagi di kalangan bangsa Indonesia.” demikian ditegaskan.

PEMIKIRAN Habibie tersebut di atas menjadi makin jelas, tatkala diuraikan bahwa memang tidak ada manusia yang hidup 1000 tahun. Yang terus hidup adalah cita-cita danpemikiran manusia.Demikian pula dengan Mandataris MPR dan Generasi ‘45.Yang abadi bukanlah tubuh dan keberadaannya, melainkan jiwanya, jiwa yang selalu mekar dan hidup dalamjiwa generasi mudanya.

Pendapat Ketua Umum ICMI di atas memang sengaja kita kaitkan dengan penegasan Kepala Negara tentang komitmen bahkan obsesi ABRI yang akan terus memegang teguh dan setia kepada Pancasila dan UUD 45. Sebab secara nasional dan objektif harus diakui, ABRI tidak hanya stabilisator dan dinamisator pembangunan tapi juga sebagai pengaman dan pengawal setia Pancasila dan UUD 45. Selama ABRI tetap setia pada sumpahnya itu, maka seperti dikemukakan BJ Habibie, kita tidak perlu khawatir akan kesinambungan pembangunan pasca-Soeharto dan Generasi 45.

Penegasan seperti itu memang diperlukan. Karena berbagai kalangan selama ini sering mempertanyakan bagaimana kita atau kesinambungan pembangunan nasional nantinya pada pasca-Soeharto. Sesuatu yang menurut hemat kita wajar-wajar saja. Sebab pada awal tahun 60-an pun para pemikir bangsa kita sudah ada juga yang mempertanyakan bagaimana keadaan bangsa dan negara ini pasca-Soekarno.

KEINGINAN untuk mengetahui dan atau dorongan membicarakan kesinambungan pembangunan pasca- Soeharto tersebut antara lain juga dikarenakan oleh pengalaman bangsa kita yang masih sangat minim mengenai suksesi. Selama 51 tahun merdeka kita baru memiliki dua putra terbaik bangsa ini yang menjadi Presiden. Itu pun Presiden RI pertama, Bung Karno dipilih satu hari setelah proklamasi yakni pada rapat PPKI tanggal l8 Agustus  1945, jadi belum melalui  Sidang Umum MPR seperti diamanatkan oleh UUD 45. Pemilihan Presiden melalui Sidang Umum MPR hasil Pemilihan Umum baru untuk pertama yang memilih Pak Harto pada SU-MPR tahun 1973.

Bukti lain dari minimnya pengalaman kita dalam suksesi ialah perbincangan yang hangat baru-baru ini, apakah Presiden jika berhalangan tetap dan digantikan oleh Wakil Presiden, sekaligus juga mengemban tugas sebagai Mandataris MPR. Karena Wakil Presiden, sekalipun dipilih dan diangkat oleh MPR tidak merupakan Wakil Mandataris MPR. Dengan demikian, apabila Wakil Presiden menggantikan Presiden yang berhalangan tetap, dia tidak dengan sendirinya mengembanjabata n sebagai Mandataris MPR.

KEMBALI kepada pendapat yang dikemukakan Ketua Umum ICMI seperti dikemukakan di atas, tentunya cukup kuat alasannya untuk mengatakan kita tidak perlu khawatir akan kesinambungan pembangunan paca-Soeharto.

Pertama, barangkali dari penegasan Presiden Soeharto di depan peserta Sesko ABRI seperti disinggung di atas yang menandaskan kesetiaan ABRI kepada Pancasila dan UUD 45. Kedua, benang merah keberhasilan perjuangan Generasi 45 ialah ditetapkannya Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karena itulah sering dikatakan perampungan tugas dan tanggungjawab historis Angkatan’45 adalah terletak pada tercapainya kesepakatan nasional yang menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, ideologi nasional dan pandangan hidup bangsa.

Jadi sekalipun Generasi 45 seperti dikatakan Prof. Habibie tidak ada lagi di kalangan bangsa Indonesia, tidak ada alasan untuk meragukan kesinambungan pembangunan nasional. Memang salah satu warisan Generasi 45 yang paling berharga adalah amanat GBHN yang menetapkan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Apabila konsensus nasional ini dipegang teguh dan dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten, maka tepat sekali apa yang dikemukakan Prof. Habibie, sama sekali tidak ada alasan lagi bagi kita untuk mengkhawatirkan kesinambungan pembangunan pasca-Suharto.

Sumber : SUARA PEMBARUAN (05/12/1996)

__________________________________________________________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVIII (1996), Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2008, hal 25-27.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.