HAK HIDUP PARTAI [1]
Djakarta, Merdeka
Presiden Soeharto, telah memanggil parpol-parpol dan golkar untuk membitjarakan soal-soal jang menjangkut masalah kekuatan-kekuatan sospol jang paling wadjar bagi Indonesia. Sampai sekarang ini, belum ada soal-soal jang djelas, bagaimana jang dikehendaki oleh pimpinan Negara tentang kekuatan-kekuatan sospol di Indonesia. Ada gagasan jang mengatakan bahwa dikehendaki, adanja tiga golongan jaitu golongan ABRI, Golongan Karya dan Partai. Kalau hal ini benar, maka kesukarannja ialah, bahwa golongan-golongan diatas, tidak semuanja dapat disebut sebagai partai. Umpamanja ABRI tentunja bukan partai. Dan Golkar djuga tidak menganggap dirinja partai, sekalipun ia tidak luput dari perbuatan-perbuatan politik.
Ada lagi jang menjarankan, agar supaja Golongan Karya tetap memegang “kuntji” diparlemen dan MPR, dan disamping itu terdapat Partai Nasionalis, dari gabungan-gabungan partai-partai nasional dan Partai Islam dari gabungan partai2 Islam jang ada. Maka dalam hal ini akan tertjapai bentuk : Golongan Karya, Partai Islam jang bergabung dan partai nasional jang bergabung. ABRI tentu memegang peranan penting didalam kehidupan politik sekarang ini. Tapi ia tidak perlu digolongkan kedalam golongan partai ataupun organisasi sosial-politik tersendiri. Sampai dimana ketetapan atau saran-saran positif dari Pemerintah tentang perubahan kekuatan sospol di DPR dan MPR nanti itu, belum ada keterangan lebih landjut.
Kepartaian di Indonesia, pernah mengalami masa gemilangnja, ketika ia mendjadi pengawal positif daripada keinginan kemerdekaan bangsa, dimasa-masa sebelum perang dunia kedua. Partai-partai politik diwaktu itu telah mendjadi guru daripada rakjat untuk berpolitik dan beraspirasi kemerdekaan. Djepang jang menduduki Indonesia melihat bahaja adanja partai-partai dan membubarkannja. Kemerdekaan jang kita rebut pada tanggal 17 Agustus 1945, djuga bukan kemerdekaan jang disusun atau-direntjanakan dan dipikirkan oleh partai atau partai-partai. Tapi tidak boleh kita mengingkari bahwa, djikalau dahulu tidak ada partai2 jang mengadjarkan rakjat berpolitik, kita tentu tidak seberani seperti jang kita lakukan dalam tekad kemerdekaan bangsa. Tindakan itu adalah pertama tama tindakan politik. Dan dilakukan pertama tama, oleh karena pengetahuan dan kesadaran politik bangsa jang diasuh dan dibimbing oleh partai-partai politik.
Dr. Hatta dimasa revolusi kemerdekaan mengumumkan keterangan 3 Nopember 1945, jang membenarkan kembali didirikannja partai-partai. Dan semendjak itulah timbul partai-partai baru dan bergerak kembali partai-partai lama. Kembali kita diadjarkan oleh partai-partai bagaimana memperoleh lebih banjak kematangan politik. Kristalisasi pertama tentang kepartaian telah terdjadi pada waktu pemilihan umum pertama. Sehingga dari puluhan partai jang hidup di Indonesia ketika itu, hanjalah tinggal kurang dari 10 partai jang masih bisa berhak hidup.
Partai-partai jang lambat laun hanja tinggal tradisi baik dan bintang-bintang djasa dimasa-masa lalu, achirnja tidak menundjukkan kemampuan untuk meneruskan djasa-djasa dan bhaktinja kepada masa-masa perkembangan sosial dan pembangunan selandjutnja. Sehingga sebagian dari masjarakat tidak melihat lagi manfaatnja kehidupan partai atau partai-partai sekarang ini. Sementara itu orientasi pembangunan jang melepaskan diri dari permainan politik telah memegang peranan dikepala pemimpin-pemimpin kita dan Pemerintah. Sehingga tanah subur untuk kehidupan kepartaian sekarang ini sudah tidak ada lagi.
Bagaimana nantinja kepartaian akan dibagi dan diselenggarakan, belum dapat kita bajangkan. Kita hanja menjarankan, semoga kesadaran politik jang diadjarkan partai2 kepada rakjat selama ini, djangan sampai dikendorkan oleh organisasi-organisasi jang bentji kepada kepartaian. Sebab kesadaran politik diperlukan untuk membina suatu bangsa jang kuat. Dan kesadaran politik berbeda dengan berpolitik.
Djikalau partai-partai dalam pembangunan ini memang dapat menundjukkan baktinja tanpa tedeng aling2, tentulah ia akan dihitung kedalam daftar organisasi-organisasi jang berhak hidup. Tapi djika ia masih mendahulukan politik daripada pembangunan, tentulah reaksi masjarakat akan mendjurus kepada tidak memerlukannja lagi.
Pemerintah kita harapkan menempuh djalan dalam hal penjederhanaan kepartaian sekarang ini, jang bidjaksana. Sehingga tidak meremehkan kesadaran politik bagi rakjat kita. Tapipun tidak pula membiarkan partai-partai hidup dengan kegunaan jang sangat minim, dalam masa. dimana segenap oknum sekarang ini kegunaannja diperlukan dan dieksploiteer setjara maksimum, demi kepentingan suksesnja pembangunan besar jang kita hadapi. (DTS)
Sumber: MERDEKA (09/10/1971)
[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku “Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku II (1968-1971), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 839-841.