HAKIM HARUS BEBAS DALAM MENJALANKAN PERADILAN
Penegasan Presiden Soeharto
Pembinaan yang dilakukan Pemerintah sama sekali tidak boleh merupakan gangguan atau alat penyalur pengaruh kepada peradilan yang harus bebas. Para hakim harus tetap bebas dalam menjalankan peradilan.
Demikian ditegaskan Presiden Soeharto, hari Sabtu, ketika menerima para peserta rapat-kerja Departemen Kehakiman dengan para Ketua Pengadilan Tinggi se-Indonesia.
Rapat kerja itu diadakan sejak Senin 23 Maret sampai Kamis 26 Maret 1981 lalu, yang digunakan untuk menilai hasil-hasil pelaksanaan tugas di tahun-tahun sebelumnya serta untuk menentukan rencana dan program kerja bagi tahun mendatang.
Menurut Presiden Soeharto, campur tangan pihak lain yang mana pun dalam memutus sesuatu perkara, jelas tidak dapat dibenarkan. Ketegasan ini perlu dikemukakan untuk menghilangkan keragu-raguan pada hakim dan juga untuk mencegah tafsiran-tafsiran yang keliru, ujar Kepala Negara.
"Namun saya percaya bahwa para hakim sendiri akan menyadari bahwa kebebasan hakim itu adalah untuk menjamin putusan-putusan hakim yang benar-benar adil menurut keyakinannya, yang didasarkan kepada ketentuan hukum yang berlaku dan diharapkan sesuai dengan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Saya sungguh mengharapkan agar para hakim sendiri dapat menghormati dan menjaga Kebebasan hakim yang demikian agung itu”.
Agar Diterapkan
Kepala Negara kembali menegaskan Pemerintah menghendaki agar hukum diterapkan oleh aparatur penegak hukum dengan baik agar hukum ditaati oleh siapa pun tanpa kecuali dengan penuh kesadaran dan agar hukum diterapkan secara adil dan sama kepada setiap orang.
“Hukum harus menjadi senjata yang tidak mungkin dielakkan bagi siapa saja yang bersalah.”
Ia menambahkan hukumjuga harus menjadi pengayom yang menenteramkan hati siapa saja yang benar. Untuk itu para penegak hukum sendiri lah yang pertama-tama harus patuh dan taat kepada hukum.
Dengan demikian, maka masyarakat akan mendapat suri teladan yang baik. Apabila aparat penegak hukum telah menunjukkan kepatuhan dan ketaatan kepada hukum, maka masyarakat yakin bahwa hukum telah berada di tangan-tangan yang terpercaya.
Perlu Kerjasama
Presiden mengatakan kekuasaan kehakiman yang merdeka, dan terlepas dari pengaruh Pemerintah seperti yang ditegaskan UUD, tidak berarti bahwa keduaduanya lalu berjalan sendiri-sendiri, lebih-lebih lagi sama sekali tidak berarti bahwa kedua-duanya tidak perlu kerjasama. Justru sebaliknya, kedua-duanya harus bekerja sama dengan tetap berpegang teguh pada bidang tugas dan kewenangan masing-masing.
Dikatakan, dari sekian banyak segi pembangunan hukum yang harus ditangani, maka salah satu di antaranya adalah pembinaan peradilan. Pemerintah menaruh perhatian yang besar pada pembinaan peradilan sebagai bagian dari pembangunan dan pembinaan hukum.
"Dengan melengkapi badan-badan peradilan umum dengan sarana-sarana fisik dan non fisik yang memadai dan dilaksanakan bertahap sesuai dengan kemantapan keuangan negara maka apa yang kita cita-citakan bersama akan dapat menjadi kenyataan. Cita-cita itu adalah terwujudnya peradilan yang tepat, sederhana, dengan biaya ringan dan memenuhi rasa keadilan masyarakat”
Bertubi Tantangan
Sebelumnya, Menteri Kehakiman Ali Said SH melaporkan, diselenggarakannya rapat kerja ini adalah karena bertubi dan bertambah besarnya tantangan yang dialamatkan ke segenap jajaran penegak hukum pada umumnya dan badan peradilan khususnya, tantangan yang menantikan jawab tindakan tanpa boleh ditunda tunda lagi.
Dalam rapat-rapat telah disepakati dan ditetapkan penghapusan tata penyelenggaraan rapat-rapat sebelum ini yang selalu dilaksanakan terpisah-pisah antara Mahkamah Agung dan Departemen Kehakiman.
Sebab hal ini hanya membuka kemungkinan untuk menghasilkan putusan-putusan yang tidak serasi dibidang pembinaan dan pengendalian teknis serta akarnya dirasakan perkembangan badan peradilan yang kurang sehat, kata Ali Said (DTS).
…
Jakarta, Kompas
Sumber: KOMPAS (30/03/1981)
—
Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari buku "Presiden RI Ke II Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita", Buku VI (1981-1982), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal. 484-486.