HAKIM “KASUS SURABAYA” DAPAT DIPECAT DAN DIADILI

HAKIM “KASUS SURABAYA” DAPAT DIPECAT DAN DIADILI[1]

 

Jakarta, Antara

Menkeh Oetojo Oesman menegaskan, majelis hakim “kasus Surabaya” yang membebas-murnikan tersangka pemalsuan faktur pajak fiktif dapat dibebastugaskan, Ketika dihubungi wartawan di Jakarta, Sabtu-seusai menerima pengurus Australia-Indonesia Institute (AII)-ia mengatakan pihaknya telah mendapatkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung (MA) Purwoto Gandasubrata untuk secara bersama-sama memeriksa para hakim tersebut.

“Ada dugaan terjadi kolusi antara hakim dan tersangka, dan apabila terbukti benar maka yang bersangkutan dapat dikenakan tindak pembebasan sebagai hakim, pemecatan sebagai pegawai negeri, dan bahkan tuntutan pidana,” kata Menkeh.

“Kasus Surabaya”terjadi Sabtu pekan lalu ketika Pengadilan Negeri Surabaya menjatuhkan vonis bebas bagi tersangka HNM (dari PT. IA) dan Sg alias AK (dari CV MS) dari tuduhan pemalsuan faktur pajak fiktif.

Putusan bebas tersebut dijatuhkan ketua majelis hakim Suwito SH dengan didampingi anggota Nadi Reksodikromo SH dan EA Kalalo SH, sementarajaksa penuntut urnurn adalah Suroso SH dan dibantu Paembonan SH. Presiden Soeharto hari Kamis (24/3) melalui Menkeu Mar ‘ie Muhammad, menyatakan menaruh perhatian atas kasus-kasus penyelewengan pajak dan sekaligus cara penyelesaiannya secara hukum. Kepala Negara mengatakan, seperti dikutip Mar’ie, pajak merupakan “taruhan ” bangsa Indonesia dalam melakukan pembangunan. Menkeh Oetojo Oesman menyatakan pihaknya telah menghubungi Kejaksaan Agung untuk mengantisipasi kemungkinan perlunya tindakan hukum atas dugaan kolusi tersebut. Sekalipun demikian, ia mengingatkan bahwa azas praduga tak bersalah tetap dijaga selama pemeriksaan atas hakim-hakim “kasus Surabaya” tersebut dijalankan.

“Karena itu sifat pemeriksaan bukan mencari-cari kesalahan tetapi mencoba melihat mengapa hal itu bisa terjadi,” katanya.

Jurisprudensi Perlu

Ketika menyatakan keheranannya atas putusan vonis bebas itu, Oetojo Oesman merujuk kasus serupa di Pengadilan Negeri Tangerang yang menjatuhkan hukuman penjara kepada tersangka MJ dan PD, masing-masing tiga tahun empat bulan dan tiga tahun enam bulan. “Di Tangerang kena hukuman, tapi ‘kok di Surabaya bebas murni,” ia bertanya.

Peristiwa tersebut, menurut dia, semakin meyakinkannya akan perlunya penyebarluasan jurisprudensi kepada para hakim, pengacara, dan lembaga peradilan lainnya. Jurisprudensi adalah putusan-putusan hakim terdahulu tentang berbagai kasus yang dinilai baik, sesuai keadilan masyarakat, dan telah berkekuatan hukum tetap.

“Dengan penyebarluasan jurisprudensi itu, tentunya tidak berarti lalu hakim harus memutuskan sama dengan yang terdapat di dalam jurisprudensi tadi, tetapi paling tidak bisa dijadikan pedoman,” Menkeh menandaskan.

Menkeh juga mengatakan, kewenangan memeriksa para hakim “kasus Surabaya” itu dapat didekati dari dua sudut, yakni teknis-justisial dan administratif-kelakuan. Bila sifatnya teknis-justisial maka yang berwenang memeriksa adalah Mahkamah Agung, sebaliknya bila sifatnya administratif-kelakuan maka yang berwenang adalah Departemen Kehakirnan.

“Seringkali ada kasus-kasus  yang  sulit ditentukan batasan  bidangnya,  apakah teknis-justisial ataukah administratif-kelakuan, namun kasus Surabaya itu sudah sangat mencolok perhatian masyarakat sehingga akan ditindaklanjuti,” katanya . (U/PU17/12:  15/DN03/26/03/94 /13:18)

Sumber: ANTARA(26/03/1994)

_______________

[1] Dikutip sesuai tulisan dan ejaan aslinya dari Buku “Presiden Ke II RI Jenderal Besar HM Soeharto dalam Berita”, Buku XVI (1994), Jakarta: Antara Pustaka Utama, 2008, hal 564-566.

Kenapa tidak meninggalkan komentar?

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.